Kata-Kata
Indah Menyihir
Kata-kata indah menyihir—itulah
yang kaupikirkan sejak kaulahir.
Sebagai takdir menjadi penyair
yang menikmati puisi-puisi basi
penulis lain. Kadang kau bingung
sendiri membedakan kata-kata yang
saling membentur, membaur mirip
ocehan orang gila. Lanturan orang gila
sekalipun punya makna. Sebab orang
sehat sedang sakit.
Kau ingin membuat puisi indah
dari kata-katamu yang terakhir. Tapi ajal
belum datang, hingga kau berpikir ulang.
Sejak kata pertama diciptakan, buah dan
bibir saling dipertemukan. Kitab suci masih
di angin, dan kekasihmu masih tulang,
mungkin juga air. Kau membaca baris
pertama di awan. Hujan menjatuhkannya
sebagai rintik. Kau terkikik.
Kata-kata indah menyihir akhirnya
kautemukan di Kamis malam akhir
tahun, saat kekasihmu mengucapkan
salam perpisahan. Air matamu jatuh satu-
satu, sebagai kata indah pertama puisimu
yang lahir kemudian. Setelahnya begitu
banyak kekasih yang terkapar. Bukan sebab
mabuk, melainkan lapar.
Orang-Orang Bergegas
dan Lainnya Menunggu
Orang-orang bergegas, sebagiannya
menunggu, dan aku ke kota untuk
membeli jam tangan baru.
Seperti kebelet hajat, di jalan, orang-
orang berkendaraan melaju kencang,
begitu tak sabar, saling mendahului,
memburu lesatan waktu yang menolak
untuk menunggu. Tapi mereka yang
lebih dulu tiba pun gagal menangkapnya.
Di genggaman tangan, mereka tidak
menemukan apa-apa.
Mereka yang nekat melesat tajam
memacu motornya gila-gilaan, langsung
mendarat di bulan—di bulan neraka.
Tanpa sempat mengucapkan selamat
tinggal pada kekasih cantiknya yang
menunggu di ujung jembatan surga.
Di tempat piknik, di tempat-tempat
hiburan, di kedai-kedai, dan di kafe-kafe,
waktu begitu banyak melimpah.
Terbuang serupa sampah.
Orang-orang duduk santai, mengobrol
seharian panjang-lebar tanpa pernah takut
kehabisan waktu. Waktu tak akan ada
habisnya, dan mereka akan hidup selama-
selamanya di dunia. Mereka tak percaya
ada kehidupan lain setelah mati.
Di kamar yang pengap aku tenggelam
sendirian, sibuk menulisi tentang waktu,
puisi, dan riwayat hidupku sendiri. Tanpa
terasa tiba-tiba usiaku telah tua.
Waktu begitu cepat bergerak di kamar kerja,
juga dalam diri. Di luar sana waktu belum
terlalu jauh beranjak, bahkan seperti tidak
bergerak. Semua masih berada di tempat
semula, di tempatNya.
Aku telah banyak kehabisan waktu,
terbuang sia-sia tanpa sempat memikirkan
diriku sendiri yang tak pernah bahagia,
tak pernah dimanja, dan tak sempat
menikmati kemewahan dunia, tidak ada
kesenangan, juga hiburan. Dan, aku tidak
pernah tahu tentang adanya keindahan
dunia selain dalam buku-buku yang
terabaikan di perpustakaan.
Kekasihku tidak tahan, tidak betah tinggal
lama bersamaku. Bahkan di awal bulan
pertama perkenalan dia sudah pergi.
Sekarang waktunya aku ke toko untuk
membeli jam tangan baru, karena yang
lama telah rusak. Aku membeli jam
banyak-banyak, berharap waktuku bisa
bertambah, menggantikan semua yang
telah hilang.
Ramai Sekali Orang
Mengajakku Berbincang
Akhir-akhir ini orang-orang sering
melihatku berbicara sendiri. Sama sekali
itu tidak benar. Aku tak pernah bercakap-
cakap seorang diri seperti orang gila.
Di dalam diriku ramai sekali orang yang
mengajakku berbincang macam-macam.
Mereka mengajukan berbagai pertanyaan
yang tidak semuanya kutemukan jawaban
sampai-sampai aku kerap melupakan
janji menemui kekasihku yang lama
menunggu di taman.
Dengan mereka aku membahas
banyak hal tentang hidup yang pada
akhirnya harus mati; kenapa keajaiban
hidup ini tidak menakjubkan lagi; kenapa
orang-orang enggan membaca novel, puisi,
dan buku-buku, seolah benda itu sangat
berbahaya dan bisa membunuh manusia.
Di dalam diriku, kami menelaah
soal agama, politik, sastra, dan tonggak
filsafat yang tersembunyi di balik celana.
Juga perihal benda sejarah yang tetap
kenyal mendekam dalam kutang.
Aku menulis puisi dari orang-orang
dalam diriku yang membisikkan kata
perkata ke telinga. Bila tak ada petunjuk,
sesekali aku memandang langit, berharap
awan dan hujan menjatuhkan ilham.
Ribuan puisi telah kumamah dari
berbagai buku para penyair hebat
dunia yang tak kuingat lagi namanya.
Mengingat nama-nama mereka membuat
pikiranku sakit.
Aku menulis puisi sebagai hiburan.
Bukan kerumitan yang membuat
pikiranmu tambah tegang.
Motormu Jatuh Cinta
pada Truk Kontainer
Setiap mahkluk hidup dan benda mati
punya kelamin, kata kekasihmu. Hewan,
tumbuhan, batu, bahkan besi sekalipun;
masing-masing berkelamin; laki-laki dan
perempuan. Mereka punya pasangan
sendiri-sendiri layaknya manusia. Mereka
kawin, punya anak, dan bahagia.
Motor yang kaupakai setiap hari untuk
bepergian memiliki pasangan. Ketika
kaukendarai, ia mencari-cari jodohnya
yang sedang berkeliaran. Matanya tak
henti berkeliaran, kadang menggoda motor
lain dengan tatapan atau lirikan nakalnya.
Kau tak tahu, motormu sedang sibuk
mencari-cari kekasihnya dengan rasa
yang telah lama mendamba. Seharusnya
kau paham kendaraan memiliki perasaan
halus dan dalam. Kadang mereka tak
mampu membendung luapan kebahagiaan
yang begitu besar untuk saling bertabrakan.
Tak jarang ada motor yang jatuh cinta
pada sedan, bus penumpang, atau truk
besar yang sedang melintas di jalan.
Saat bertemu jodohnya, kendaraan-
kendaran itu saling melaju kencang,
menyongsong kekasihnya untuk saling
berpelukan manja.
Sebagaimana manusia, mereka sering
pula terlibat cinta terlarang yang kadang
amat mencengangkan.
Begitu pula motormu yang terpikat
kejantanan truk kontainer raksasa,
membuat setangnya terlepas jauh dan
kedua pelaknya terlipat-lipat jadi angka
delapan saat mereka begitu menggebu
melesat tajam untuk saling berciuman;
begitu lekat dan menggairahkan.
Kau hanya sempat sadar sebentar
sebelum tubuhmu melambung tinggi
lalu terempas sangat kuat ke aspal,
dan akhirnya terkapar menggelapar-
gelepar dalam neraka.
- Rumah Panggung Tua yang Bergoyang - 27 November 2020
- Puisi-Puisi Arafat Nur; Ramai Sekali Orang Mengajakku Berbincang - 19 September 2017
- Munculnya Para Manusia Suci - 22 April 2017
Ai-Raaツ
Deep. Sukaaa skali puisinya♥