
Tugu Perpisahan
Jaket coklat telah meraup waktu
yang tak sengaja kususun bersamamu.
Aku mengejarnya sampai negeri asing lalu menjumpai lelaki asing
meraih kembali kehangatan yang hilang di matamu
untuk menyelimuti sepi, utuh setiap kata
bahkan kian dalam maknanya
Engkau menunggu di antara bait-bait waktu
yang belum selesai kau susun
dengan separuh tubuh asing menggerogoti dirimu
sebentar lagi peluit akan memisahkan kita
sambil menunggu tubuhmu sempurna
Gerimis tipis menambah warna dalam perjamuan terakhir
warna yang belum sempat kita jadikan lukisan
sebab khanza sudah memanggilmu kembali
Tugu perpisahan pun belum terlintas dalam pikiranku
tatkala kedua matamu mengirim misteri
Aku ingin membangun prasasti di kedua pipimu
tapi rantai tradisi sudah membelenggu
sampai engkau berlalu ditelan gerimis.
Yogyakarta, November 2018
Reuni
Seusai Ubud basah enam tahun silam
kita menyulap kenangan menjadi kayu bakar
yang mengabukan masa lalu menjadi puing-puing rindu
kini Borobudur menyiram kenangan dengan air mata
yang diam-diam kau peras di bilik senyap
Entah puisi apa yang engkau embuskan di atas ranjangku.
Tak sepotong makna singgah dalam ingatan.
Sebab percintaan yang penuh hasrat
urung tercipta dari kenangan yang tersesat.
Tapi kehangatan yang dialirkan burung merak Malioboro
telah membawaku ke puncak waktu.
Untuk sekejap melupakannya
dalam beberapa entakan liar,
sebelum karam dalam tumpukan salju
Yogyakarta, November 2018
Sayap Singa
Kali ini goresan pena tanpa taburan berlian
maka engkau kirim singa bersayap merah
sebagai bekal tetirah perjuangan
mulai dari Cheng Ho, Ibnu Batutah, Pangeran Diponegoro,
sampai pemahat kata yang berjaya dalam senyap
Lalu engkau berharap kenangan kian berkilau
pada anak tangga terakhir
Engkau berharap sayap-sayap singa merah
mengabarkan pada dunia
tentang goresan guru besar dalam peradaban
meski itu hanya sepotong senja dengan pena pinjaman
kau ingin tetap tegak dengan lautan cahaya di atas kepala
Sayap-sayap singa merah telah patah
jauh sebelum pena tergores
Yogyakarta, November 2018.
Magma Relief
Seperti pesan yang terpahat di tulang rusukmu
aku membaca tanda yang memancar dari merah bibirmu
ketika puncak stupa berada di ujung kaki
lekukmu sempurna di bawah matahari
magma pun meledak,
menjadi air mata pada pagi pertama
dan menjadi tanya di akhir senja.
Yogyakarta, November 2018
- Puisi-Puisi Ayi Jufridar; Tugu Perpisahan - 29 January 2019
Nailiya Nikmah
Aku suka yang pertama. “Tugu Perpisahan.”
Nice poem but so blue read it.
Araya
I love your poem! Good job!
Saiful Amri
UPAYA MENIMBUN KENANGAN
TERANGKUM PENUH DALAM PUISI “TUGU PERPISAHAN” MILIK AYI JUFRIDAR
Kalau tidak tertarik, tentu saya tidak melakukan upaya apresiasi terhadap puisi ini. Maka, alasan utama saya menelisik puisi ini adalah karena tertarik.
Di awal ini, saya membaca teka- teki atau misteri pada judul “Tugu Perpisahan”. Andai puisi diibaratkan sebuah tulisan, maka judul adalah pusat informasi dari tulisan yang dipadatkan dalam bentuk prasa atau klausa.
Penyair memilih diksi tugu. Saya bernalar, tugu merupakan penanda sesuatu yang monumental. Ada hal penting, hal berharga, atau hal yang sangat berkesan bagi seseorang atau bagi sekelompok orang terhadap suatu peristiwa, terhadap kejadian, atau mungkin terhadap kenangan, sehingga pada hal semacam itu didirikanlah tugu. Pada “Tugu Perpisahan”, saya menjabarkan, tentu sebuah pengalaman batin yang istimewa telah terjadi pada penyair. Atau bisa juga tuturan pengalaman orang lain yang juga istimewa dan berkesan, kemudian dibungkusnya dalam wujud puisi. Penyair mengikrarkan “Tugu Perpisahan”. Ini membuahkan penafsiran: Ada keinginan yang kokoh untuk melakukan perpisahan. Perpisahan yang harus disengaja.
Penyair mengukuhkan pendirian bahwa perpisahan adalah yang terbaik untuk ditempuh agar dapat menyusun langkah lebih baik pada kehidupan hari depan.
jaket coklat telah meraup waktu
yang tak sengaja kususun bersamamu.
Aku mengejarnya sampai negeri asing lalu menjumpai lelaki asing
Ini kenangan yang miris. Tapi penyair mengemasnya dengan diksi yang menarik. Sangat sulit ditelisik. Tak ada kosakata ‘air mata, sedih, duka, atau pilu’ digunakan penyair dalam mendeskripsikan pengalaman batinnya. Ini adalah salah satu penanda kepiawaian penyair merangkai diksi. Sepintas lau, paruh bait ini hanya gambaran perjalanan biasa.
Tapi , saya menangkap kesendirian pada penyair. Sebab dia menulis: jaket coklat telah meraup waktu. Pengalaman khusus yang telah ditempuhnya itu, tidak disaksikan oleh seorang personal pun; tapi oleh jaket coklat, yang bukan personal. Meraup waktu: menginformasikan sebuah periode yang berlangsung lama.
Mungkin saat pada masa ketidakmatangan, ada hal spesifik yang dialami penyair. Membuatnya berharap dan mengejar . Berharap dan mengejar terus, sebelum datang kedimpulan untuk membuat : Tugu Perpisahan.
Semoga penggalan apresiasi ini menjadi salah satu penghargaan untuk penyair.
Salam Santun.
Saiful Amri, S.Pd.
# Fb: Sai Saiful