Pohon Manggis Nenek
pohon manggis nenek sudah tua
batangnya mulai rapuh rantingnya ringkih-ringkih
tidak ada lagi perkara baik selain buah cantik
bergelayut di jari-jari para pemetik
mereka berduyun-duyun
sambil sesekali meraba tubuh sendiri
yang semakin membuyut
demi mengerti berapa jumlah anak dikandungannya
kau bisa mengira lewat kelopak bunga
yang mekar di bawah perut
kalau kau sudah puas mengetahuinya
maka sebaiknya cicipilah dengan segera
lewat robek tanganmu mengalirlah
darah manggis merah
di dalamnya ada keluarga
yang menunggu buaianmu satu adalah ibu
satu adalah ayah selebihnya adalah kau
dan segenap saudara-saudaramu
kami hidup karena magis manggis nenekmu
tapi magis tak pernah tinggal dalam tubuhnya
nenek adalah manggis yang jatuh sendiri
riwayatnya tertulis pada epitaf jejak kaki para nabi
dan saraf burung quddusi alpa pada musim
yang menjatuhkan kerinduan dari sebatang hayat ini
Banjarnegara, 2019
Amaya, Kita ini Siapa?
hati ini begitu gigil, amaya
kita ini siapa? menyusur jalan malam
mencari jejak yang bisa diikuti
mencari langkah kaki yang musti diharakati
dari rahim hujan engkau dilahirkan
kepada siapa engkau bertuhan?
demi meralat cinta
kau basahi semesta
demi menjadi cahaya
kau junjung wujud sabda
dan demi tersamar waktu
kau jelma doa ibuku
akulah pemilik malam
mezbah bagi segala keheningan
altar bagi hadirat untuk mempertanyakan
kalau sebenarnya ‘kita ini siapa?’
amaya, apakah kita
benar-benar ada?
Purwokerto, 2019
Pawon
telah kami bakar keheningan dalam dada
kayu yang semula pernah jadi tubuhmu
menabahkan nyala-nyala doa
segala peristiwa
Banjarnegara, 2019
Elegi Penyair
pada wajah lembah dan liuk tubuh sungai
ada yang mengutukmu lewat puisi
ratapan doa berjatuhan ke dalam dadamu
suaraku terbata-bata membaca luka
pelantun syair ketiadaan
Purwokerto, 2019
Prasasti
di dalam prasasti itu
kami hidup dalam nubuat penyair
yang meriwayatkan sejarah
sepanjang sungai mengalir
artefak waktu ini
belumlah berlalu
ke mana zaman akan diabadikan?
butiran air mata jatuh dari surga
merembes ke bumi yang fana
lewat selipan batu-batu
kesedihan yang jatuh
tempias di kedua matakakimu
aku rela membaca kitab paling alastu
demi menemukan cinta di hadiratmu
akulah aksara itu
jatuh ke dalam dadamu
tersungkur-sungkur
bacalah aku bacalah waktu
sebelum sunyi mengutukmu
menjadi sebongkah batu
Purwokerto, 2019
- Puisi-Puisi Bagus Likurnianto; Amaya, Kita ini Siapa? - 29 October 2019
Galuh Kresna
Seneng baca puisimu mas, 🙂.
Anonymous
Jadi senang bisa kenal Bagus
Cecep Hasannudin
Sukak
alya
Good
Abdul Wachid B.S.
Sajak-sajak yang original tingkat kebahasaannya, dan cara pandangnya terhadap realitas sungguh unik, keindahan bahasa sajak yang mengabarkan cara pandang terhadap realitas yang diindahkan.
Noname
Liat aja cara ngirim tulisannya
Anonymous
Masih sangat muda..keren!
Hera
Halo semuanya….Kalo nulis puisi, gambarnya bikin sendiri? atau ada situs yang nyiapin, dan kita tinggal pilih? Sy mau soalnya. Bantu please