kwatrin pararaton
tuhan, siapa pun engkau, bahkan bila bukan tuhan
dalam kisah panjang ini, restui hamba,
sempurnakan ini karangan
seperti hamba sempurnakan sujud, semampu hamba
kwatrin singasari
mulanya adalah berahi
brahma turun ke bumi
takdir membawa ken endog ke ladang ani-ani
dan sang batara berkata, “terimalah mani ini, air suci ini”
“tapi batara, aku bersuami,” perempuan itu berujar
“namanya gajahpara, dan ia lelaki baik,” tambahnya
“maka tinggalkan dia,” brahma membuka tubuhnya yang bersinar
“segala kehendakku mesti jadi, hamba, sebab aku dewa”
sembilan bulan ken endog menyimpan bara dalam rahim
panas, begitu panas, panas yang menghanguskan
gajahpara setelah menyumpah batara lalim
panas yang memaksa ken endog meninggalkannya di kuburan
agar bara itu, janin itu, jatuh ke tangan lembong
yang mengajarinya jalan hidup seorang pencuri
lalu ke sarang bango samparan, gembong
yang mengujarinya cara berjudi
sebelum ia, yang dinamai arok
tersesat di sagenggeng, tenggelam dalam kitab-kitab
yang memberinya kemampuan mengeluarkan kelelawar dari batok
kepala, dan memulai perampokan-perampokan paling biadab
sedang di langit, atau yang kita kira langit
dewa-dewa berembug tentang jawa yang goyah
“adakah satria yang wingit, satria piningit
untuk menguatkan pulau yang sebegitu lemah?”
maka brahma berkisah tentang sebuah hari di pangkur
“sebab aku tahu hari ini akan tiba, maka kutinggalkan benihku
di sana,” katanya, “berahiku berahi yang luhur,”
tambahnya, awan tampak kelabu
dan begitulah wahyu diturunkan
pada seorang brahmana dari jambudipa
“temui arok, si berandalan
di taloka”
di taloka, lohgawe, sang brahmana
keliru menyebut wisnu di sebuah rumah judi
“namaku arok, bukan wisnu, bapa,”
“tapi aku tak mungkin salah, aku orang suci”
ke tumapel kemudian mereka pergi
kepada tunggul ametung arok pura-pura mengabdi
dan ia dengar cerita tentang sang akuwu
yang suatu ketika mencuri putri seorang mpu
“namanya mpu purwa, seorang buddha mahayana
dan ia telah menjatuhkan kutuk
tiga jam setelah dedes, putri kinasihnya
dibawa lari sang akuwu yang berkelakuan seperti beruk
: semoga yang melarikan anakku
tak lanjut mengenyam kenikmatan
semoga keris merobek hatinya yang membatu
dan melarikan istrinya seperti yang telah ia lakukan”
di taman boboji, suatu kali
sang putri, dedes namanya
turun dari kereta kencana
jariknya tersingkap, betisnya terbuka, dan arok jatuh pada berahi
“akan kupenuhi kutukan mpu purwa, bapa”
sumpah arok, sore itu, sepulangnya dari taman
lohgawe tahu, bisikan wahyu akan segera terlaksana
“ya arok, untuk itulah kau dilahirkan”
ke lulumbang arok beranjak
menempuh ribuan kilo jarak
“sebab ametung hanya akan mati oleh sebilah keris
dan gandring adalah penempa paling bengis”
“ini keris yang terlalu haus darah, arok,” kata gandring
arok tahu meski tidak diberitahu
sama seperti gandring tahu, dengan kuduk merinding,
ia akan mati di ujung keris itu
“mau apa lagi, takdir ada
untuk dijalani begitu saja
aku memang harus mati
agar bisa kujatuhkan kutuk, meski tak benar-benar aku ingini”
kutuk itu merentang begitu panjang
dari kebo ijo hingga apanji tohjaya
“tujuh kematian, arok yang malang
termasuk kau, putra brahma!”
tumapel, mungkin tak lebih dari meja judi
arok tahu kapan mesti melempar kartu
ia pandai menahan diri
dari pertaruhan (dan pertarungan) yang tak perlu
maka ia beri kebo ijo, si tukang pamer
keris dari lulumbang
“kau akan menunjukkan itu ke semua orang, ngger?”
“tentu saja, keris ini sangar dan garang”
malam itu, seekor kelelawar menyelinap
ke dalam keraton, menyaru dengan gelap
ametung damai dalam tidur
dan si kelelawar berbisik, “jangan lagi bangun dari tidur”
esok harinya orang-orang berkata
“akuwu mangkat, dan keris kebo ijo bersarang
di dada beliau yang mulia”
“tapi aku tak tahu apa-apa,” lirih kebo ijo sebelum nyawanya teregang
“ya, ngger, kau tak tahu apa-apa,
aku yang tahu segalanya, tapi kau harus mati
sebab akuwu mati
dan aku hendak jadi raja”
arok berbisik,
dalam kuasa dua kutukan,
sebuah nujum baik
dan kisah cinta yang menggetarkan
kisah cinta yang membawanya memasuki
dedes, memasuki keraton, memasuki
sejarah, memasuki kediri
sebelum singasari berdiri
sebelum dandang gendhis dari daha
memerintahkan penganut siwa dan buddha
menyembahnya sebagai batara,
sebab ia mampu duduk di ujung tombak yang mendongak ke langit sana
dan ia berlengan empat, dan ia bermata tiga
dan ia membuat lohgawe murka
“kirim balak ke daha, arok, kirim balak!”
dan arok menjadikan daha pesta makan para gagak
1144 saka
ketika daha sempurna tak ada
dan arok menjelma sri radjasa batara sang amurwabumi
dan tumapel jadi singasari
dan seorang anak yang kehilangan bapa
membalas dendam 24 tahun setelahnya
“namaku anusapati, putra ametung
dan aku membawa pati, membawa keris yang di lambungmu mesti bersarung”
di kagenengan, pada kamis pon minggu landep, dan matahari
surup, dedes ngungun bersama madunya
“umang, umang, aku mencium bau luka, bau duka,”
“bau dendam tak sudah, yunda, bau mati”
bau itu tinggal dalam keris yang sama
yang kini dibawa apanji tohjaya
dan di kidal, sewaktu anusapati dicandikan
ia berujar, “aku memang anak selir, kanda, tapi dendam tetap mesti dituntaskan”
di kidal itu pula, 1171 saka
samar-samar, dedes dan umang kembali meratap
“setelah ini apa, dinda?”
“mungkin anakmu, mahisa wonga teleng, yunda, yang giliran menyelinap
atau ranggawuni, putra anusapati
aku tak tahu lagi
aku tak tahu lagi
anakku dan anakmu, turunanku dan turunanmu, akan terus saling membunuhi”
mereka memang tak tahu lagi
dan kematian terus terjadi
juga pada mereka
sampai masa kertanegara
yang silau pada ambisi nusantara
mengirim pasukan ke pamalayu
ketika ia terlena dalam arak dan ilusi belaka
dan di kediri, jayakatwang menyiapkan upacara lelayu
untuk singasari
untuk warisan amurwabumi
dan seorang pujangga, kelak, akan menggubah sebuah kakawin
“dari sinilah sejarah agung majapahit dijalin”
kwatrin majapahit
sesungguhnya, ini lakonmu belaka, wiraraja
“aku tak tahu kenapa aku diusir,” ia berujar
“ia bukan sang hyang siwa-buddha, itu, si kertanegara,
ia hanya raja celaka,” tambahnya
maka ke kediri, ke daha,
ia berkirim surat, dendam membuatnya dahaga
dan jayakatwang, terlalu lama
merawat kesumat sejarah yang diwariskan leluhurnya
“tuanku, jika paduka hendak berburu ke padang lama
inilah waktu yang tepat untuk berangkat
tak ada bahaya, tak ada jerat
hanya seekor harimau tak bergigi, ompong dan tak berdaya”
raganata, harimau tua itu
tak mampu membendung banjir darah dari utara
sedang kertanegara tenggelam dalam arak bau
dan tak tahu sejarah akan mencatatnya dengan penuh nista
setelah perang usai
jayakatwang bertanya tentang siapa yang mati
siapa yang selamat, “dari singasari,
paduka, hanya wijaya dan sejumlah pengawalnya yang berhasil lari”
dan kebo mundarang bercerita tentang wijaya
: ia bertarung layaknya batara
ia memakai cawat dari kain ikat berwarna
merah, begitu juga pasukannya
kadang ia menyaru sebagai kegelapan
kadang ia menyilaukan bagai sinar mentari
namun sora telah melihat dewa kematian menari-nari
di atas kepala pasukan
jumlah mereka terlampau sedikit, paduka
dan begitulah mereka memutuskan pergi
setelah menyelamatkan satu dari dua istri
wijaya yang kita sita”
ke sumenep, ke sarang wiraraja
wijaya meminta perlindungan
“kenapa harus ke sini, nak mas, kenapa?”
“sebab begitulah kehendak dewa, paman”
dan wijaya berkisah tentang pelariannya
: kutinggalkan gajah pagon di pandakan
sebab tombak melubangi pahanya
tapi telah kubekali ia sebutir kelapa yang menyimpan keajaiban
: tiap dibelah, beras tak habis-habislah yang ada”
dan sora menyahut, “benar-benarlah batara, raden ini, paman”
“duh, sora,” wijaya berkata, “jangan berlebihan
tanpa kau, tak tahu lagi aku apa jadinya
tak tahu aku membalas budimu
bahkan kau relakan tubuhmu sebagai alas
aku duduk, istriku duduk, ya sora, hambaku
satria yang sekuat padas”
di sumenep, wiraraja yang penuh misteri
mengurai strategi
“pergilah ke kediri, raden, menghambalah pada jayakatwang
dan mintalah hutan tarik, di sana, kelak, kita siapkan gelar perang”
wijaya tiba di kediri ketika galungan dirayakan
dan jayakatwang yang terlena oleh kemenangan
menggelar sayembara olah keprajuritan
antara senopatinya dengan wijaya beserta kaum pelarian
kebo mundarang menghadang sora
panglet menyerang lawe yang cekatan
dan nambi bermuka-muka dengan mahisa
“lihatlah para pengawal raden mengalahkan mereka,” wiraraja berujar pelan
“namun jayakatwang tak akan menyadarinya
tak akan, selama raden tak jenuh menjilatnya
hanya sementara, hanya sementara
sampai hutan tarik jatuh ke tangan paduka”
di tarik, berbulan-bulan kemudian
seorang prajurit, mungkin dari madura
terjebak haus dan lapar dan sebutir buah hijau berkilatan
“pahit sekali ini buah,” teriaknya, dan seorang menyahut, “itu buah maja”
di sumenep, wiraraja menulis muslihat
: aku kenal raja tatar, dan ia gampang terjerat
putri cantik, maka biar kukabarkan padanya
di jawa, hidup dua putri yang berasal dari surga
dan ia boleh mengambil mereka
hanya bila tatar bersedia menyerang daha dari utara
dan kita, majapahit dan madura
akan menyerbu dari timur sana
maka begitulah yang terjadi
sora mengirim panglet kepada mati
nambi mengirim mahisa kepada mati
dan lawe mengirim kebo mundarang kepada mati
dan serdadu tatar mengirim jayakatwang kepada penjara
dan wijaya mengirim dirinya sendiri ke dalam istana
demi istri yang dulu gagal ia selamatkan
yang ia tinggalkan sebagai putri pampasan
di majapahit, wiraraja menyusun siasat sangar
: tentang bagaimana semestinya laskar tartar
menjemput dua putri di wilwatikta
“katakan pada mereka untuk tidak membawa senjata
sebab putri-putri itu gentar dengan senjata”
orang-orang tatar itu tak tahu
sora yang perkasa telah menunggu di balik pintu bayangkara
dan di luar, lawe siap berburu hingga pelabuhan canggu
1216 saka
rasa rupa dua bulan
wijaya menjelma sri kertaradjasa
namun singgasananya tak pernah benar-benar aman
tahun kuda bumi sayap orang
seseorang tanpa sejarah
menyelundupkan namanya dalam kitab terang
“aku datang memberi ujian, agar cerita kejayaan semakin sah”
namanya mahapati
dan kepada ranggalawe ia susupkan niat pemberontakan yang kecut
ia sitir kitab partayadnya, di mana ranggalawe pernah bersaksi
“jangan banyak bicara, tak ada tempat bagi para pengecut”
dan pada tahun itu pula, setelah lawe ketemu pati
wiraraja pergi ke lumajang dan bersedih hati
sora menjadi demung
dan mahapati mengiriminya aji linglung
aji linglung yang pada tahun baba tangan orang
menjadikan sora bagian dari kaum pembangkang
dan mengundang bala perang
dan menenggelamkan sora dalam darah yang menggenang
16 tahun dari penobatannya
sri kertarajasa mangkat
mahapati tetap ada
kalagemet naik tahta dan ia buta pada jerat
dan mahapati terus bekerja
meludahkan bisa pada nambi, membikin wiraraja
mati dalam murung, menumpas gajah biru, juru demung, pelenyapan orang mandana,
pembunuhan patih pengasuh, tumenggung jaran lejong, dan sekian satria
dari masa awal majapahit
juga tujuh orang darmaputra raja,
para petarung sengit
: ra kuti, ra wedeng, ra yuyu, ra tanca, ra banyak, ra semi, ra pangsa
semi yang mati di bawah pohon kapuk
tahun ular menggigit bulan
kuti yang mampu mengusir jayanegara ke bedander yang sumuk
sebelum gajahmada tiba, memulai sejarahnya, atau mitosnya, atau sekadar rerasan
dan mahapati tiba-tiba tak ada
dan kalagemet kembali sebagai jayanegara
yang berahi pada semua yang beryoni
juga adiknya, juga istri para abdi
mada tahu, meski tak ada wahyu jatuh padanya
bila seorang raja dengan lingga tegak melulu
tak layak terlalu lama bertahta
“jayanegara harus segera jadi masa lalu,”
maka ia datangi tanca, satu dari tujuh ra
yang tersisa, dan berbisik,
“prabu celaka itu mendatangi istrimu, setiap kau tak ada
pantatnya kini bengkak karena bisul, dan kau tabib paling cerdik
kau tahu apa yang mesti kau lakukan”
dan hari itu, di kamar sang raja
dengan pintu tertutup, tanca menuntaskan
dendam, di luar mada berjaga
“maafkan aku, tanca,” mada berkata
tiga menit setelah jayanegara jadi mendiang
“ini demi negara, demi negara,”
di dada tanca, mada membuat sebuah liang
pada tahun sunyi keinginan sayap bumi
sri ratu di kahuripan, istri cakradara, jadi
perempuan penguasa pertama di majapahit
wajahnya bercahaya, auranya begitu wingit
tiga tahun kemudian, arya tadah, si patih tabah
yang telah beranjak renta, yang pandai membaca tanda-tanda
berujar kepada mada, “kaulah mada, hanya kaulah
yang mesti menggantikanku menjadi patih, itulah kehendak dewa”
“eyang, siapalah hamba sehingga mesti menanggung beban
sebegitu berat, sedang menjadi mangkubumi saja hamba belum,”
mada berkata, sesungguhnya ia berpura-pura, seperti yang sering ia lakukan
“sadeng sedang menghimpun kekuatan, bikin mereka alum
mada, maka tak satu pun akan sanggup meragukanmu”
namun selagi mada mengatur gelar perang,
ra kembar telah berangkat lebih dulu
“aku lebih tahu teknik mengepung,”
dan mada yang murka menghadiahinya bilur
bilur cambukan, sebelum sadeng tumpas
dan ra kembar kembali sebagai menteri araman, matanya lamur,
mada pulang dan menjadi mangkubumi dan ia belajar berkata keras
sekeras kepalan tangannya sewaktu di wilwatikta
ra kembar bersama jabung terewes dan ra banyak dan lembu peteng
meracau tentang betapa lemahnya mada yang konon perkasa
“kuenyahkan mereka, eyang tadah, kukirim ke semesta peteng”
mada berujar
arya tadah tersenyum dengan bibir bergetar
“kitab-kitab akan ditulis untukmu, mada,
untukmu belaka, meski kau tidak akan pernah menjadi raja”
tiga petir bersahutan
seekor jago cerdik dilahirkan
(kelak kita memanggilnya hayam wuruk, atau raden tetep, atau batara prabu,
atau pager atimun, atau gagak ketawang, atau mpu janeswara, atau tritaraju
atau, setelah ia bermahkota,
sri baginda sang hyang wekasing sukma
atau ketika dinobatkan para tetua,
si rajasanagara)
sewaktu mada bersumpah di makam panggung
“sira gajah mada patih amangkubhumi tan ayun
amukti palapa, sira gajah mada: lamun huwus kalah nusantara
isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seran, tanjung pura
ring haru, ring pahang, dompo, ring bali
sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
dan begitulah ekspedisi dan penakhlukan dimulai
kapal-kapal bergerak ke pulau-pulau, menciptakan desawarnana
tapi sunda adalah apa yang tak tertembus
gelar perang, tak tumbang oleh pengepungan
dan mada tahu, yang tak mempan dikerasi, baiknya dielus
dengan halus, “pernikahan, batara prabu, pernikahan”
kabar itu memang telah lama sampai
tentang putri sunda dengan kecantikan ilahi
dan ke sanalah mada pergi membawa lamaran
“hayam wuruk yang agung belum berpermaisuri, dan beliau ingin bersandingan
dengan paduka putri,”
memang layaklah, memang layaklah,
dan lamaran itu tak tertampik, segala puji
diluncurkan, mengiringi sang putri, madah-madah diunggah
dan rombongan itu tak tahu
di bubat, dewa kematian telah menunggu,
tiga ribu gagak mencium bau darah
dan mada berujar, “putri itu tanda takluk, tanda sunda menyerah”
itulah saat larang arung, tuan sohan, tuan gempong,
orang-orang tobong barang, rangga cahot, tuan usus, orang panghulu, dan panji melong
meradang bersama baginda mereka, raja sunda
“kami kerajaan merdeka, dan kami selamanya kerajaan merdeka!”
dan mada, beserta arya sentong, patih gowi, patih margalewih
patih teteg, dan jaran baya, menyambut mereka dengan pedang haus getih
1279 saka, tahun sembilan kuda sayap bumi
sang putri dari sunda belapati, jauh dari negeri sendiri
“kenapa mada?” raja lajang itu bertanya
dengan paras pasi dan bibir getir
“padahal aku telanjur mencintainya,”
“jangan terlalu sentimental, paduka, cinta macam itu terlalu sumir,
akan selalu ada putri untukmu, untuk jadi permaisuri,”
lanjut mada, dan putri itu berasal dari benih prameswara
“namanya paduka sori, paduka, paduka sori
dan ia tampak seperti bidadari dari nirwana”
setelahnya, catatan hanya berisi nama-nama
seorang pangeran atau raden lahir tahun ini
seorang pangeran atau raden mati tahun ini
seseorang menjadi raja dan pengantin dan berputra
dan mengambil sebuah nama dari leluhur
“agar kelak ia seperti itu, agung dan luhur,”
selanjutnya, seusai srada agung 1284 saka
dan mada mangkat 1290 saka
dan majapahit memerlukan tiga tahun untuk
menemukan pengganti sang patih dalam wujud gajah enggon,
dewa kematian tiba seolah petani dalam musim panen yang tidak buruk,
ia lepas gendewanya, dan ia bernyanyi seperti bocah angon
seri ratu di daha mangkat, seri ratu di kahuripan wafat
1307 saka, pada minggu madasia, gunung meletus, gunung entah yang mana
sebelum baginda di tumapel mangkat, baginda prameswara mangkat
pada tahun langit rupa menggigit bulan, lalu seri ratu di matahun, di pajang, juga
paduka sori, baginda paguhan, dan 1311 saka
tahun bumi rupa ayah itu, menyusul hyang wekasing tiada
dan hyang wisesa naik tahta, gunung kembali membawa prahara
dan gajah enggon pindah ke alam baka
dan hyang wekasing suka (mungkin ia hyang yang berbeda)
pada 1321 saka, setahun setelah kepergian gajah enggon, mangkat
dan dicandikan di tanjung, dan hyang wisesa menjadi pendeta
tahun mata sayap api bulan yang gawat
dan naiklah sri ratu batara istri ke tampuk kuasa
dan arak-arakan kematian terus menyala
: sang ratu di kahuripan, sang ratu di lasem, baginda di pandan salas
lalu hyang wisesa (benarkah ia yang telah menjelma pendeta cergas?)
bersengketa dengan wirabumi,
saling diam mendiamkan, hingga ajal menjemput
setelah sebelumnya, perang antara mereka terjadi,
dan raden gajah, sang narapati, merenggut
kepala wirabumi di pinggir kali
tahun ular sifat menggigit bulan
kemudian gunung meletus kembali
dan sri ratu daha wafat, sri ratu matahun, juga sri ratu mataraman
dan wabah kekurangan makan menjangkit
1348, ketika seekor ular menggigit orang
maut terus menguntit
sang ratu prabu istri, 1351, jadi mendiang
lalu tuan kanaka, sri ratu di lasem, baginda
di pandan salas lagi,
pembunuhan raden gajah, yang mulia sri daha
naik tahta dan memegang kendali
yang segera digantikan baginda tumapel
di mana baginda di paguhan melakukan pelenyapan
orang-orang tidur galating, dan musibah menempel
: gempa bumi dan lebih banyak lagi kematian
begitulah terus menerus, hingga rajasawardhana wafat
dan tak ada raja selama tiga tahun, tiga tahun yang singun
dimulai tahun 1375 saka, tak ada mufakat
hingga baginda di wengker datang dengan segala yang agung dan anggun
ia bergelar sang hyang purwa wisesa
dan akan wafat pada 1388 saka
baginda pandan alas, yang telah jadi raja
di tumapel, naik tahta hanya untuk mengerti betapa
sengitnya sengat kuasa
dua tahun bertahta
1400 saka,
zaman sunyi dan orang tak ada
sebuah gunung kembali berjumawa
lalu segalanya seperti tak pernah ada
tak pernah hadir
dan begitulah kitab sampai pada akhir
***
inilah kitab omong kosong tentang para datu, para raja,
aslinya ditulis 1535 saka, selesai pada sabtu pahing
minggu warigdayan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua,
dan tahun 2016 hingga 2017 masehi, seorang asing
menggubahnya dalam kwatrin-kwatrin,
menambah ini membuang itu sedang tahun-tahun dibiarkan kacau
sejarah dan cerita, fakta dan dusta saling berpilin
sebelum tuntas ini tulisan, ia berpesan, “ini sekadar derau”
- Jagoan Super - 12 July 2024
- Hamil Berpuluh Tahun - 8 December 2023
- Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono - 24 January 2023