
Gerhana
Komputer memainkan Jon Rich dalam 36 desibel, seluruh
Jon Rich yang mendiami Underneath the Same Moon, dan
lelaki itu menelepon si perempuan.
“Apakah bulan sudah gerimpis?”
Dan si perempuan, di seberang sambungan, di balik
lautan, menjawab, “Kala sedang menelannya, sekerat-
sekerat.”
“Aku rindu Kala,” kata lelaki itu. “Sepotong kepala Kala. Kadang
kala.”
Dan ia ingat hari-hari itu: ibu-ibu hamil yang buru-buru meliwet,
suara gending campursari dari radio AM, aroma bakaran klobot jagung,
telur rebus dan sambal cowek pedas.
Tapi ia juga terkenang sebuah purnama
yang mengambang tenang di atas kapal
dan mengiringi jalan rantaunya
serta mengilati air mata si perempuan ketika
melambai dari tepi Tanjung Perak.
“Kau akan baik-baik saja,” kata si perempuan. “Toh, kita sedang
memandang bulan yang sama di bawah langit yang sama.”
Namun lelaki itu menggeleng, meski ia tahu si
perempuan tak sanggup melihatnya.
“Di sini,” katanya, “tak ada Kala. Tapi ada gerhana,
selalu ada gerhana. Dan seekor anjing dari Apau Lagaan,
seekor asu jahat bernama Asooq Waang, tak henti-
henti berupaya menelan rembulan.
Sebab ia ingin malam sempurna gelap,
dan ia akan dengan mudah menerkam para bocah
yang tak waspada.”
Perempuan itu mendesah panjang. “Aku senang kau
bukan lagi bocah,” katanya. “Dan asu jahat itu tak
akan menerkammu.”
Tapi bagaimana pun, si asu tak akan menerkam siapa-
siapa.
Sebab di luar, orang-orang mulai bergegas membunyikan
segala yang berbunyi nyaring: nyiru, panci, bambu, dan
sebagainya dan sebagainya.
Dan di langit, si lelaki melihat si asu yang ketakutan
perlahan memuntahkan rembulan.
Dan si perempuan berkata, “Bulan sudah mulai keluar
dari pangkal leher Kala yang terpenggal.”
Dan Jon Rich masih bernyanyi, 36 desibel yang
semi.
Setelah Sabtu
Ia mengalah juga, pada akhirnya. Toh, ia tak bisa berdaya pada
sebuah kutipan lama. Tentang hidup yang tak dipertaruhkan itu,
hidup yang tak akan dimenangkan itu. Ia pesimis, sesungguhnya,
ia seorang yang sering pesimis untuk banyak hal tanpa merasa perlu mencari-
cari alasan. Namun kali ini, sejatinya, ia punya alasan.
“Di sini,” ia berkata, “kau punya segalanya.”
Dan perempuan itu menggeleng. Sore mengeras di tiang kapal. Ada noda
waktu membekas di pintu pelabuhan. Ada berapa banyak perpisahan
dirayakan di sini? Ada berapa sajak yang pernah berupaya mengekalkan
air mata yang jatuh dan berujung pada kesia-siaan?
Lelaki itu tak ingin menulis sajak. Ia tak hendak menambah satu lagi
omong kosong di tempat yang rajin melepas warna sepia ke cuaca.
“Batu bara,” kata si lelaki, “sawit. Ke sini orang-orang datang
menggantang nasib. Dan kau malah pergi.”
Buih tipis
pecah di tepi.
Tak ada ombak, tentu saja,
selain gelombang kecil
di sungai maha besar ini.
Dan orang-orang mulai gaduh
sebab sebentar lagi kapal angkat sauh.
“Aku ingin jadi penyanyi,” perempuan itu berkata.
“Atau bintang film. Atau foto model.
Aku ingin Jakarta.”
Matahari pukul sepuluh pagi terik betul
di permukaan kulit yang kasar dan bertutul.
“Aku ingin sebuah kota yang lebih modern,” perempuan
itu kembali berkata.
“Gedung tinggi, jalan lebar, hal-hal semacam itu. Kota
di mana orang-orang berpikir dengan akal sehat,
dan tak akan ada lagi seseorang yang berkata
bahwa aku lahir bersama seekor buaya kuning
yang segera melata ke Mahakam. Dan setiap beberapa waktu,
aku harus datang dan melarung telur serta ketan.
Padahal aku tak pernah melihatnya. Padahal aku
tak pernah percaya ia ada.”
“Kau tak akan kembali?” lelaki itu bertanya lirih
dan si perempuan membisu.
Lantas detik berlari.
Dan si perempuan, begitu saja telah berada di atas kapal.
Melambai.
Si lelaki merasa itu bukan ucapan sampai jumpa
tapi selamat tinggal.
Itu semua terjadi pada sebuah sabtu.
Lantas pada hari minggu
ketika si lelaki yang tahu rindu sudah mencabik-cabiknya
pergi ke pelabuhan untuk menziarahi tilas perpisahannya,
ia melihat seekor buaya
kuning
berenang dari tengah Mahakam
menepi
ke arahnya.
Ia seperti melihat si perempuan.
Dan ia tersenyum.
Ia Mabuk
Ia mabuk ciu Acil Syarief dan jatuh duduk di sofa ruang tamu. Dan
ia dengar kepak enggang dalam kelepak kipas angin, raung beruang
dalam dengung kulkas di dapur, dan riuh badai hutan dalam
detak jantung. Dan yang tak ia dengar adalah bunyi tik-
tik maut, yang merambat kalem di lantai papan ulin, yang kelam
seakan genang kenangan:
seorang perempuan melompat ke keruh Sungai Mariam,
dan menjelma seekor buaya kuning, setelah memergoki sebuah affair
singkat yang tak pernah usai ia sesali.
Ia coba membuka mata
dan ia lihat perempuan itu
merentangkan tangan.
“Aku kangen,” perempuan itu berkata.
“Aku kangen dan aku memaafkanmu.”
“Aku kangen,” ia membalas.
Dan mereka berpelukan.
Dan maut tahu telah tiba saatnya.
Dan seekor buaya kuning merangkak pergi.
Apakah semua memang telah selesai
setelah ini?
- Telur Kepala - 27 December 2024
- Jagoan Super - 12 July 2024
- Hamil Berpuluh Tahun - 8 December 2023
Dalbo
Saya pikir Sungai Miriam ini metonimia ya, tidak secara harfiah Sungai Mahakam yang disebutkan, seperti Bapak menghisap Gudang Garam, entahlah, tapi bagus kok puisinya Mas Dadang.