
Kesaksian Seorang Penyair
Aku sudah tulis apa yang aku bisa tulis
dengan berbagai gaya dan kiasan
arif membaca tanda-tanda
tidak melakukan dosa-dosa
tapi kalian tertawakan aku
(honorku pun kadang tak kalian bayar)
bagaimana aku bisa kaya
beternak rumah dan mobil mewah
jutaan hektar hutan terbakar
kayu-kayunya glondongan keluar
tinggal asap jadi wabah
terpaksa aku berkurung di rumah
sesak napas dan kurang makan
aku hanya penyair asongan
yang menjajakan kata-kata
tak laku diperjual-belikan
selaris lumpur
dibor dan digali
jutaan ton setiap hari
dari bawah tanah
dan dasar bumi
menghasilkan dollar dan kawah
ah, ah, menggiurkan sekali!
mulai hari ini bacalah puisi
sisihkan recehan setiap hari
Ada Marindal dan Paluh Nonang
i
Ada empat gudang senjata Jepang
mesin-mesin pesawat terbang
serta suku cadangnya
di kompleks perkebunan Marindal
Medan Area Selatan
Pemuda hanya punya
bambu runcing
berjuang
‘tuk tanah airnya
bagaimana merebutnya
marilah berunding
Rakyat dan pemuda bersatu
mereka menyerbu
pengawal gudang tak seberapa banyak
Nippon anggap lasykar kita masihlah kanak
dengan sekali gebrakan
mereka disergap
dilumpuhkan
bayonet, senapan mesin
dan kain-kain
bersih disikat
barisan pemuda bersama rakyat
marilah kita membuka topi
dan memberi mereka
segelas teh hangat
ii
di paluh nonang
bukan hanya bakau dan gelombang
ada senjata ditanam Jepang
di dasar penuh lumpur
dan kupang
di paluh nonang
tak ada beronang dan karang
memang
hanya ada pemuda
berani mati
menyelam ke dalam laut
tanpa atribut
bersahabat dengan semangat
melawan kabut
dari paluh nonang
arah belawan membentang
berton-ton senjata dan peluru
dapat diluru dan diselam
meskipun sekutu
terus menyeringai
mengintai
dan menggeram
bukan hanya gemeretuk gigi
punya tomong dan meriam
di paluh nonang
di manakah pemuda itu
sekarang
Di Jalan Bali Ada Tetes Bagai Hujan
(pension wilhelmina oktober 1945)
Lencana merah-putih
tersemat di dada
seorang pemuda
lewat di muka pension wilhelmina
di jalan bali
asrama para nica
disergap seorang knil
dengan kesetiaan seekor anjing
lebih belanda dari belanda
“verdommen” sergahnya terpatah-patah
dijembanya lencana dari dada
diinjaknya sampai lumat
berkobar api dari sana
“Hah! Ini warna apa!
Anjing Soekarno, ya! Mau merdeka?!”
(Dijahit Ibu Fatmawati
pertama kali
hening dinihari
di malam Ramadan
lalu berkibar pagi hari
Pegangsaan Timur 56
menatap penuh kenangan)
Para pedagang kaki lima
penuh di persimpangan Sutomo dan Bali
sedang mengais rejeki
tersengat melihat lencana
merah-putih
diinjak begitu rupa
tak lagi hirau dagangan lipu
sama menyerbu
pension wilhelmina
asrama nica
melawan dengan seadanya
tapi semangat menggebu
parang, pisau, dan palu
berhadapan dengan senapan dan sten-gun
peluru dan asap mesiu
pension wilhelmina di jalan bali
satu hari
tak ada tetes hujan
bulan oktober empat-lima
namun ada yang tetes bagai hujan
mengalir menggenang
basahi medan
tubuh-tubuh terbujur kaku
bersimbah darah
pemuda dan pedagang lemah
tak sempat tercatat dalam sejarah
tapi saksi tak pernah bisu
di persimpangan bali-sutomo
agak ke hulu
berdiri tugu peringatan di situ
- Puisi-Puisi Damiri Mahmud; Kesaksian Seorang Penyair - 19 March 2019
Blodot
Seperti membaca dialog dalam naskah teater
Anonymous
Keren
Chritis Ghaza
super
Ray bertuah
Terbakar semangat…
Alif
Al-Fatihah, untuk Pak Damiri Mahmud