Puisi-Puisi Damiri Mahmud; Kesaksian Seorang Penyair

Gerd Altmann

Kesaksian Seorang Penyair

 

Aku sudah tulis apa yang aku bisa tulis

dengan berbagai gaya dan kiasan

arif membaca tanda-tanda

tidak melakukan dosa-dosa

tapi kalian tertawakan aku

(honorku pun kadang tak kalian bayar)

 

bagaimana aku bisa kaya

beternak rumah dan mobil mewah

jutaan hektar hutan terbakar

kayu-kayunya glondongan keluar

tinggal asap jadi wabah

terpaksa aku berkurung di rumah

sesak napas dan kurang makan

 

aku hanya penyair asongan

yang menjajakan kata-kata

tak laku diperjual-belikan

selaris lumpur

dibor dan digali

jutaan ton setiap hari

dari bawah tanah

dan dasar bumi

menghasilkan dollar dan kawah

ah, ah, menggiurkan sekali!

 

mulai hari ini bacalah puisi

sisihkan recehan setiap hari

 

 

Ada Marindal dan Paluh Nonang

 

i

Ada empat gudang senjata Jepang

mesin-mesin pesawat terbang

serta suku cadangnya

di kompleks perkebunan Marindal

Medan Area Selatan

 

Pemuda hanya punya

bambu runcing

berjuang

‘tuk tanah airnya

bagaimana merebutnya

marilah berunding

 

Rakyat dan pemuda bersatu

mereka menyerbu

pengawal gudang tak seberapa banyak

Nippon anggap lasykar kita masihlah kanak

 

dengan sekali gebrakan

mereka disergap

dilumpuhkan

bayonet, senapan mesin

dan kain-kain

bersih disikat

barisan pemuda bersama rakyat

 

marilah kita membuka topi

dan memberi mereka

segelas teh hangat

 

 

ii

di paluh nonang

bukan hanya bakau dan gelombang

ada senjata ditanam Jepang

di dasar penuh lumpur

dan kupang

 

di paluh nonang

tak ada beronang dan karang

memang

hanya ada pemuda

berani mati

menyelam ke dalam laut

tanpa atribut

bersahabat dengan semangat

melawan kabut

 

dari paluh nonang

arah belawan membentang

berton-ton senjata dan peluru

dapat diluru dan diselam

meskipun sekutu

terus menyeringai

mengintai

dan menggeram

bukan hanya gemeretuk gigi

punya tomong dan meriam

 

di paluh nonang

di manakah pemuda itu

sekarang

 

 

Di Jalan Bali Ada Tetes Bagai Hujan

(pension wilhelmina oktober 1945)

 

 Lencana merah-putih

tersemat di dada

seorang pemuda

lewat di muka pension wilhelmina

di jalan bali

asrama para nica

 

disergap seorang knil

dengan kesetiaan seekor anjing

lebih belanda dari belanda

 

verdommen” sergahnya terpatah-patah

dijembanya lencana dari dada

diinjaknya sampai lumat

berkobar api dari sana

 

“Hah! Ini warna apa!

Anjing Soekarno, ya! Mau merdeka?!”

(Dijahit Ibu Fatmawati

pertama kali

hening dinihari

di malam Ramadan

lalu berkibar pagi hari

Pegangsaan Timur 56

menatap penuh kenangan)

 

Para pedagang  kaki lima

penuh di persimpangan Sutomo dan Bali

sedang mengais rejeki

tersengat melihat lencana

merah-putih

diinjak begitu rupa

 

 

tak lagi hirau dagangan lipu

sama menyerbu

pension wilhelmina

asrama nica

 

melawan dengan seadanya

tapi semangat menggebu

parang, pisau, dan palu

berhadapan dengan senapan dan sten-gun

peluru dan asap mesiu

 

pension wilhelmina di jalan bali

satu hari

tak ada tetes hujan

bulan oktober empat-lima

namun ada yang tetes bagai hujan

mengalir menggenang

basahi medan

 

tubuh-tubuh terbujur kaku

bersimbah darah

pemuda dan pedagang lemah

tak sempat tercatat dalam sejarah

tapi saksi tak pernah bisu

di persimpangan bali-sutomo

agak ke hulu

berdiri tugu peringatan di situ

Damiri Mahmud
Latest posts by Damiri Mahmud (see all)

Comments

  1. Blodot Reply

    Seperti membaca dialog dalam naskah teater

  2. Anonymous Reply

    Keren

  3. Chritis Ghaza Reply

    super

  4. Ray bertuah Reply

    Terbakar semangat…

  5. Alif Reply

    Al-Fatihah, untuk Pak Damiri Mahmud

Leave a Reply to Chritis Ghaza Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!