In The End, 2001
Untuk Chester Bennington
ini dunia makin rumit, chester
seperti tato di tubuhmu
melingkar-lingkar
labirin demi labirin
dibangun
untuk kerumitan lain
pengetahuan diciptakan
untuk bekal akal
ke arah tak kekal
manusia berjalan tanpa
menjejakkan kakinya
menyapa tanpa suara
atau bersuara
tapi dari kejauhan
dari inti kehampaan
manusia mengembara
tanpa beban di punggungnya.
kepalanya
kulitnya
pakaiannya
membenci matahari
dan bulan dan gemintang
dan angin pepohonan
ketika ruh di tubuhmu
kau usir sendiri
kau terbangkan ke langit tertinggi
seperti para darwis
menerbangkan alunan musik
dari seruling
dengan suara patah-patah
barangkali kau telah
membunuh kerumitan dunia
dari penjara kepalamu
barangkali kau telah
menjauh dari segala
dan lelap dengan ketenanganmu
tetapi, chester
bagaimana jika kematian
hanya bagi mereka yang dilupakan?
kau hidup, dikenang
bersama kerumitan-kerumitan
atau, chester
bagaimana jika ternyata
tak ada yang benar-benar mati
dari penciptaan ini?
semua adalah hidup
dan suntuk
dan sibuk dengan labirin
yang akan terus dibangun
untuk sesuatu yang ternyata kekal
bagi setiap akal
harusnya kau tahu
seperti kekecewaanmu
surga dibangun dari kerumitan
begitu juga usaha membuat kematian
Perjalanan Puisi
Untuk Muhammad Ali Fakih
sejak puisi ini ditulis lalu dibaca
tak ada yang berhak menentukan
ia mesti berjalan ke arah mana
segala telah ia tanggung di punggungnya:
sepi berjelaga, dendam menghitam
seperti karat pada logam
atau hantu mencintai gelap hutan
juga tuhan yang pandai
mereka-reka adegan demi adegan
kaki-kakinya lebih kuat ketimbang pasak
dan tubuh yang ia miliki tegak seperti tombak
aku biarkan matahari mencuci kepalanya
kepala penuh harapan panjang
melebihi usia penulisnya
sebab menjadi dirinya sendiri
adalah mimpi setiap puisi
La Nuit*
aku ingin bercermin
dan berharap tidak ada
bayanganku tegak
di sana
hanya kosong
sebab inti jiwa ini
adalah kekosongan itu sendiri
di cermin
aku ingin hilang bentuk
sebagaimana gambar-gambar di pasir
tersapu deru angin laut
atau gelombang air
aku ingin tidur
tapi tidak untuk melupakan siapa-siapa
sebagaimana aku ingin mati
tapi tidak kehilangan segalanya:
jiwa yang mengembara
terus mengembara
derita, kehampaan,
kau, puisi
dan hal-hal yang bakal abadi
aku ingin memejamkan mata
justru ketika hendak
memandang segalanya
aku ingin pergi
mendaki
ke puncak paling rumit
ke bukit mahasakit
menyelam ke samudera derita
wahai ketakutan
pergilah sebelum darahmu
membasahi sejarahku!
aku ingin inginku
bentuk lain
dari anganmu
*Puisi ini merujuk pada karya Ellie Wiesel, La Nuit.
Sepi
Untuk Eko Triono
padahal telah kuramaikan kepalaku dengan
tokoh-tokoh rekaan:
lelaki dalam peperangan
gadis manis memandang gerimis
pertemuan ikan-ikan, dan pohon-pohon
yang tumbuh begitu monoton
yang seumur hidup dihantui pertanyaan paling penting di dunia:
agama apa yang pantas bagi mereka
tetapi sepi tetap jadi garam
di lautan kepalaku
itulah kenapa akhirnya aku percaya
sepi lebih candu daripada agama
Di Tepi Jalan Pantura
Untuk Alfarisi
ke arah timur, suatu pagi di tepi jalan ini
kau bertanya, di mana ujung sebuah matahari?
di belakang, bayangan lebih panjang dari tubuh kita
diam-diam menyembunyikan kata-kata
di mana ujung matahari itu?
aku tak tahu
kita jalan beriringan
di kananmu, kendaraan lalu lalang
di kiriku, berjajar pagar
dan pada trotoar yang kotor
terlihat jejak samar-samar
kenapa mesti ada jejak kaki?
aku tak mengerti
di utara kita pantai
berdebur tak kunjung usai
dari ombak laut hancur
mengentak karang-karang terpacak
matahari meninggi
katamu, ia tak sungguh-sungguh meninggi
aku paham benar
bumi yang berputar
kita tetap berjalan ke timur pada suatu pagi
yang sejenak beranjak pada suatu siang
untuk apa kita di tepi jalan ini, tanyaku
seperti kau tanya untuk apa kita di dunia, katamu
- Puisi-Puisi Daruz Armedian; In The End, 2001 - 20 February 2018
- Pelacur dan Tumpahan Kopi dan Microsoft Word dan Kepergianmu - 26 January 2018
- Bagaimana Kalau Kita Saling Membunuh Saja? - 29 December 2017