Puisi-Puisi Deddy Arsya; Di Rumpun Betung

bamboo_forest_by_alexlinde-d4t6hem
deviantart.net

Membangun Kota

Memang ada kota yang didirikan dari gerutu
dari derap omong-kosong tak sudah-sudah!

Lalu mereka berkata: kita mesti atur itu siasat,
masa depan hanya dapat diraih dengan gelegak hasrat
harus kau pilih jembatan antar selat atau kapal pengangkut segala
pesawat-pesawat semakin sering jatuh dan orang-orang takut terbang
padahal kelak oto dan sepur akan diberi sayap
“tapi maaf, ya, penyair partikelir seperti Anda susah dibawa serta!”

Penyair-penyair mabuk menguping dari biliknya yang pengap
sebab tak punya bini, hanya bisa menggerutu pada diri sendiri:
mereka kira kata-kata seperti sak-sak semen
dan setumpuk batu-bata yang bisa bangun gedong bersusun
mereka kira puisi bisa menyelamatkan kita dari amok-murka?

Memang ada kota yang dibangun dari lentingan kata-kata?

 
Di Rumpun Betung

Daun-daun betung diam-kaku
seperti sunyi bibirmu menembus sepi bibirku
dan kita berpeluk haru

aku mencium sesuatu
dari gelai kepalamu
yang terkulai ke bahuku:

buah kapulaga, kau menyebutnya begitu
tapi aku tidak ragu, itu semata bumbu dari dapur ibuku,
menggelinding lalu dari atas pagu, pagu rumahmu

tepat ketika daun jendela berhenti
mengelepak dan kau sontak berteriak:

“tidak kutahu apa yang akan segera tiba
bagai berkelebat kelewang mentetak batok kepala

atau bisik mantra yang bergetar pada pangkal telinga?”

Tapi, kau yang piawai menggerutu, beri aku jawab satu:

batang-batang aur rontok daun
tapi tak ada berkesiur angin pun!

Aku tidak penyuka teka-teki
tidak kutahu hari bagaimana nanti
revolusi atau hujan kapan berhenti?

“aku merasa hanya ada yang akan rebah seperti biasa!”

Maka mari kau kupeluk lagi
dalam haru yang baru
daun-daun betung biar lurus-kaku
sebab buah kapulaga dari dapur ibumu
tetap akan tercium harum selalu.

 

Mantri Cacar

Tiba mantri cacar
dengan topi bundar
bersepeda angin
kencang lesat
bagai sepur dia melaju
beberapa saat sesudah
sebuah batu besar
gelinding ke lembah
gedebum di bawah
menyibak sungai
dalam arus lemah

“adakah tuan selamat
dari letusan dahsyat?”

katanya menyapa
setiap yang berpapasan lewat.

Dan berkata lagi dia
dengan nada jengah:
“yang tersisa hanya
gemerincing gelang baja
dan rantai besi pada kaki
kering ini!”

Tiba mantri cacar
dengan topi bundar
menyapa siapa saja
dengan Melayu pincang
logat Utara:
“adakah di sini
yang mesti kami beri
semacam ‘vaksin’?”

Tapi peluit kereta
tiada terdengar lagi
hanya derit rantai ini
dan nyiut sadel
sepeda anginnya
yang kencang lesat
menuju muara
berair hitam
tempat tuan
para kawula
membangun benteng
dari batang-batang ruyung.

Lalu berkata lagi dia
sambil bersilengah:
“yang tertinggal hanya
putih pada mata
dan langit
pudar warna!”

 

Kura-kura yang Tengkurap

Kura-kura yang sedang tengkurap
di atas cangkangmu aku bisa memandang pantai Losari
nyiur-nyiur melambai dan ombak kecil-kecil membuai
“begitu banyak benteng di kota ini, dulu ada sebelas
tapi yang tersisa kini hanya dua ini,” kata tukang becak.

Asli Makassar? aku tanya
Bugis, katanya, ketus.

Tapi aku ke sini bukan untuk melihat benteng,
aku ingin makan coto yang terkenal sangat enak
maka aku duduk di cafe besar di depan Fort Rotterdam
terkangkang pada laut Ujung Pandang
orang-orang di sini kadang menggerutu kenapa laut harus didam,
“tapi Makassar seperti sebuah salon kecantikan yang buka tiap hari
ada saja yang terus bersolek diri di dalamnya,” kata seorang penyair setempat
pulau buatan, gedung-gedung tinggi, tol-tol baru
yang didam dengan semen dari Tonasa.

 

Sitti Nurbaya di Pasar Gadang

Di Pasar Gadang, aku bertemu Sitti Nurbaya yang dulu juga
rambut panjang berkepang dua, baju beludru putih dan rok kembang
zamanku berkata padanya lantang: betapa bodoh kau, Nona
sudah sekolah tinggi-tinggi, di sekolah Belanda pula lagi,
mati lebih yang kau pilih!

Aku bayangkan ruh Nurbaya berkata:
pengarang celaka telah mendorongku ke jurang neraka!

Waktu ke Jawa, aku kunjungi makam Marah Rusli
aku kata pada mejannya: betapa mudah Engku bunuh dia
tidak Engku tahu, betapa memupuk nyawa
alang-kepalang susahnya?

Sebab ketika itu aku ingat anakku
yang akan jadi gadis juga macam Sitti Nurbaya.

 

Penyair Revolusioner

Kau berpuisi di zaman yang naif
dengan puisi-puisi yang juga naif

kau menuduhku telah menjadi fanatik
tapi aku benar-benar tidak menemukan
kebenaran apa pun dalam puisi-puisimu

kau bicara tentang revolusi agraria
sambil menjentikkan abu rokok ke asbak

kau minum kopi tanpa gula di cafe-cafe
lalu merasa nasib betapalah pahit

kau melihat seekor keledai
seperti melihat sekawanan singa…

Deddy Arsya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!