Seorang Petani
di Sarang Paceklik
Langit kian terik berwarna bangsat
Sawah seperti hamparan jarum raksasa
Membuat ia ingin berbaring di atasnya
Untuk lelap dan tak harus siuman lagi
Tenggorokannya sekerontang selokan
Ia ingat arak hitam tapi juga ingat dosa
Ia ingat lumbung kecil penyimpanan
Yang telah keparat digasak kawanan tikus,
Tetangga, kolega, dan mertua
Seekor elang terbang lelah entah dari mana
Jeritannya samar mengabarkan bahaya
Sayapnya terbakar matahari jahanam
Sekilas terbayang wajah lapar anaknya
Wajah bengis istrinya di pintu dapur
Kehadiran elang itu membuat pikirannya
Kian berpusing—lalu bertaut—kepada Maut
: “Harga pupuk mahal. Harga diri murah.
Kamu yakin kamu masih mau jual mahal?”
Elang menukik cepat ke sekitar rumahnya
Ayam pejantan berkeruyuk
Di pelataran gersang dalam batinnya
: “Fuck-fuck-fuck … fuuuck!”
2020
Tuhan, Mengapakah Cinta
Terlihat Begitu Tolol
Sebab aku sering tersenyum kepadanya
Ia bilang aku lelaki tak tahu diri
Dan bertampang pilon
Aku bawakan seikat mawar ke rumahnya
Ia malah minta dikirim racun tikus
Rokok kretek dan senar gitar nilon
Aku tulis puisi-puisi romantis untuknya
Ia anggap bahasanya terlalu rumit
Menjengkelkan dan tak ada gunanya
Aku berpakaian rapi, necis dan mahal
Ia kira aku mau menagih utang
Aku memohon-mohon setiap malam
Ia bahkan tidak sudi membalas pesan
Aku marah
Ia malah meledek dan tertawa
Meledak-ledak
Aku mati karena sakit hati
Ia minum racun tikus untuk ikut mati
Tuhan, mengapakah
Cinta terlihat begitu tolol
2020
Kisah Cinta Kita
dan Sandal Jepit
Selamat pagi, mari kita sambut
sinar hangat matahari. Semua orang tahu,
kau dan aku jarang sekali bangun pagi.
Aku seduhkan dua cangkir kopi tubruk
dengan sedikit gula pasir; dengan ponsel
pintar kau memutar instrumen entah
milik siapa—aku tidak peduli—yang
penting melodi itu tidak mengandung
kata-kata yang bakal mengganggu
pikiran kita, mesti tenang dan lembut,
mesti rapi dan ritmis, selera khas
aristokrat (baca: bangsat berkelas).
Di halaman depan rumah, kita bicara
tentang matahari yang telah membunuh
Galilei, daun-daun manggis yang berkilat
seperti tatapan mata bangsa penjilat,
aroma kopi dan puisi cengeng atau
adiluhung. Semoga sebuah rudal
melesat dari Iran, melenceng menuju
tanah air kita, dan meledak di meja
perjamuan pagi kita yang terakhir ini.
Selamat pagi, mari kita sambut
sinar lembut matahari. Semua orang tahu,
kau dan aku selalu tidur menjelang pagi.
Setelah lelah bercerita dan bercinta,
menangis dan bercinta, berkhayal dan
bercinta, bertengkar dan bercinta,
sepanjang malam, setiap malam.
Memang malam telah jadi milik kita
sejak lama: kau adalah pelacur tengik
yang belum lama hijrah, sementara aku
perampok yang bertobat lantaran melihat
seberkas sinar Tuhan pada matamu.
Saat itu, malam itu, saat kumasuki
rumahmu untuk mencuri, tiba-tiba
aku kehilangan gelisah yang biasa,
malah kutemukan kedamaian, seperti
ketika aku menginjak kota Mekah
pertama kali, seperti ketika aku sampai
di Tibet yang suci, seperti ketika aku
berada di pedalaman Kanekes yang
dimuliakan adat. Pagi ini, setelah kau
menyesap kopi dua kali, setelah rokokku
terbakar separuh, semoga saja
musuh-musuh kita datang, polisi atau
para pendendam. Mereka menyuruhku
mencium bibirmu, memelukmu dengan
mesra, lalu meledakkan kepala kita.
Selamat pagi, mari kita sambut cahaya
tropis sekali ini. Semua orang tahu,
kau dan aku terbiasa abai pada pagi,
abai pada waktu, abai pada langit
dan bumi beserta segenap bajingan
dan seluruh penipu yang menghuninya.
Aku mencintaimu karena tidak ada
penipu paling penipu yang memikat
selain engkau. Kau mencintaiku karena
aku adalah bajingan paling bajingan
di antara semua bajingan yang engkau
kenal. Meski tak ada rudal nyasar
dari sebuah peperangan, tidak ada musuh
yang menemukan persembunyian kita
di kampung tertinggal dan terkutuk ini,
setelah dua cangkir robusta kita tandas,
aku yakin kita akan sama-sama pergi
ke kerajaan langit dengan jejak busa
di bibir masing-masing. Beberapa malam
kita telah sepakat bahwa cinta adalah
racun dan racun adalah cinta, yang
kedua-duanya tidak mungkin diciptakan
oleh setan atau Ifrit penunggu
beringin tua di belakang rumah.
Selamat pagi, kau dan aku, sepasang
kekasih, matahari dan hangatnya, dua
cangkir robusta yang belum dingin,
kursi dan meja kayu lapuk, mimpi
dan keinginan, hidup atau mati,
sepasang sandal jepit yang kau
hadiahkan untukku raib selepas isya
di halaman masjid tadi malam.
2020
- Sajak-Sajak Deri Hudaya - 7 September 2021
- Puisi-Puisi Deri Hudaya - 22 December 2020
- Sajak-Sajak Deri Hudaya; Sebuah Dongeng tentang Mimpi - 11 February 2020
Putra Hadinata Pratama
Geloooooo… Wedaaassslahhh
Novala Arum
Mantap hahahah
Deri Hudaya
Hehehe
Mutmainah qolbi
“Langit kian terik berwarna bangsat”
Mantep!
Deri Hudaya
🙏🙏🙏🙏
Ziana Fiqly Walidah
Keren