RORO DARI GUNUNG
Bilamana di tanah tetangga adalah Jonggrang,
maka di sinilah keberadaan Tumengkang.
Seorang puteri dari putera Giri.
Pinangan segala arah tertuju pada Sari.
Namun, ia tetap teguh berdiri sendiri.
Berkehendak hindari pertikaian lagi,
ia pun turun dari bukit ‘tuk berbakti,
dan pada warga ia berbagi.
Namun, ia tak lepas dari pandangan Majapahit.
Dari seorang pangeran yang mengintai.
Segala bijak dan jelita mengundang hati.
Pangeran pun berangkat menyusuri lereng giri.
Hingga padanya sampai ke hadap pujaannya.
“Nyai Ageng Tumengkang Sari,” panggilnya.
Namun, perempuan itu pun berlalu pergi.
Ia terus mengikuti hingga Sari pun berhenti.
Mereka bercakap menawar syarat.
Pangeran pun siap, Sari pun berucap:
“Buatlah sepuluh sumur dalam satu malam ini!”
Seketika Pangeran segera menunaikan.
Tumengkang pun gelisah bilamana tak gagal.
Bagaimana bisa ia hidup dengan beda agama.
Meski pangeran sakti mandraguna.
Baginya kepercayaan adalah tiang utama.
Benar pangeran bukan sembarang orang.
Sebelum fajar telah ia tuntaskan.
Sepuluh sumur dengan airnya yang segar.
Tumengkang pun datang dengan paras yang sudah terias.
Ia duduk di salah satu yang dibangun Pangeran,
lalu ia memintanya untuk menghitung:
“Sji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu,
songo …”, ucap Pangeran berulang.
Raut mukanya pun seketika heran dan muram.
Gelagap ia mencari sumur yang ke sepuluh.
Namun, ia hanya mampu menatap mata cantiknya.
Berat hatinya meninggalkan,
runtuhlah ia di hadapan.
Ia kembali pulang
tanpa Tumengkang.
Sari hanya menghaturkan maaf pada semesta,
telah mengelabui Pangeran dengan pesonanya
hingga sumur yang dia tempati tak dihiraukan
oleh sang pemujanya.
“Wahai, Yang Mengatur segalanya.
Telah kudiam menutup mata.
Segala budi baik memang miliknya,
siapa yang tak jatuh hati padanya.
Ia tak kan mengerti caraku
dan tak menahu kuterlalu
menyintainya penuh malu
dan nafsu.
Dan segala rasa telah kuserahkan pada semesta.
Mengawininya tanpa takhta
melainkan jiwa
yang nyala.”
Gresik.
PUSAKA PINATIH
Telah usang tubuhku
dari pelabuhan ke pelabuhan.
Harta dan tahta menjadi tulangku
sebagai syahbandar tanpa peluh.
Orang-orang memanggilku: Pinatih.
Janda karang tanpa kekasih
tanpa buah hati.
Hingga datanglah sebuah peti:
mengetuk asaku yang mati.
Aku pun menghening sangka.
Di dalamnya adalah pusaka,
berkelip lautan matanya,
Dan ia tersenyum dalam pangkuan,
lalu kupanggil ia: Samudra.
Gresik.
LAHIRNYA SAMUDRA
Sebelum ia menjadi gunung,
aku pun mengarung
segala raung.
Tubuhku menggempa
melepaskannya ke muara.
Telapak-telapakku membiru
dengan jantung menahan maut
Aku beradu dalam Sekardadu
atau sebagai seorang ibu.
Kusadrahkan pada Kuasa,
nadiku mengalir ke samudra.
Bawalah ia:
menuju tanahnya.
Gresik.
PUDARNYA KIDUNG FATIMAH
Syahdan,
datanglah seorang gadis di tepi Leran.
Ia lihat perahu-perahu terikat pada randu.
Lalu, menghadaplah ia ke masyarakat sindu:
bersenandung keyakinan baru
dari Timur Tengah yang luhur.
“Fatimah! Fatimah! Fatimah!”, orang memanah.
Ia pun berjabat empat dayang:
Seruni, Kucing, Keling, dan Kamboja
sepanjang tahun penyebaran.
Namun, jalan tak selalu padang.
Sebuah sampar menghalang.
Ia pun pudar
dalam makam yang panjang.
Gresik.
- PUISI-PUISI DEWI R. MAULIDAH - 9 August 2022
- Puisi-Puisi Dewi R Maulidah - 29 December 2020
Faiz
Bagusss…
Apa email basabasi.co ganti yaa
cak jajang,maulyana
puisi
BIRU’NYAH CINTA
B,ila’ku,rindu padamu,hanya ada bayangan wajah,mu yang selalu,menghiasi,hati’ku,yang selalu merindu,kan mu,wahay’kekasih ku,
I,stana,cinta yang ku,bangun ter,’buat dari rasa,rindu’dan cinta’ku,padamu wahay,ke’kasih ku,
R,indu,nyah’hati,ku sa’at,engkau pergi,dari’hidup,ku,’terasa,sunyi,dan terasa,tak,berarti,hidup inih,tan’pa ada,nyah cinta dari,mu
U,sah,pernah’engkau,ragu’dalam,cinta,ku inih,padamu,kerana cinta,inih’hanya miliki,mu’se’ oeang,wahay puja’an hati,ku