Pada Puncak Kebisuan
Pukul dua belas sudah tiba
Gelap merebak, lalu Ia memberontak
Terdengar serupa angin menggagap
Pelan-pelan selesat, hingga deru pun tak sempat
Di sekitar hening menggauli orang-orang
Rasa takut seakan melecut
Seorang berbisik: diam, diam!
Ini sudah malam!
Masih saja gelap, adalah sayap-sayap
Malam yang sayu merayu-rayu
Terdengar suara pecah dalam diam:
Eloi, Eloi, lama sabakhtani?
Itu suara! kata seorang penjaga.
Ia memanggil Elia, kata yang lain.
Baiklah, kita menunggu ia datang, kata mereka.
Mereka menunggu sampai payah
Begitu juga Dia,
Pada kayu yang tak lagi patah
Ia menunggu kebisuan yang amat
Aduhai Aba,
Langit cerah sudah membentang
Mengapa Engkau tak kunjung datang?
Semua diam.
Lagi-lagi pecah suara dalam temaram,
Sungguh, orang ini Anak Allah! kata seorang
Yang benar-benar jatuh cinta.
2014
Seekor yang hilang
masih diingat sampai di sini
pagi yang hilang
kita hilang sebelum Cahaya
saat lupa menengok matahari
masih, dingin ini merengkuh
sementara Dia mengeluh:
kembalilah, kembali
seekorku yang hilang!
2015
Campana
Kau sesuatu yang bunyi di biara.
Seperti merdu-Mu yang langkah,
Memanggil kami pulang rumah.
“Bangun, bergegaslah ke kapel,
Sejenak dahulu berbincang-bincang
Dan bergurau pada matahari
Di ujung kantukmu yang payah.”
Ya, pagi-pagi selalu Kau datang
Pada setiap musim di sisa tidur kami
Seolah membawa bala tentara surga
Menyergap mimpi kami yang masih bayi.
Orang bilang Kau pandai bicara
Sampai tak terkira itu nyaring-Mu
Merombak tubuh kami kembali
Pada-Mu. Teruslah bicara, ya?
Bicaralah tentang kami
Yang masih menggigil di kamar tidur
Sampai kami paham dan Kau tahu
Kami terlalu cepat untuk lupa
Dan terlalu manja untuk Kau lupakan.
2015
Predestination
Jauh-jauh hari aku lahir
Ayah merayakan kehilangan
Yang pecah di tengah derik tanah liat
Terpanggang matahari.
Kala itu angin pun kembali dari laut
Menengok desahan napas ibu. Kalut.
Ayah berdiri persis di kepala ibu
Mengelus-elus mimpi antara ada dan tiada.
“Apa bapa punya pesan? Aku mau pergi sebentar
ke seberang kota, yang sedang
menunggu ulang tahunku.”
Ayah mengeram sedih di hati
Tiada pesan, tiada kata, barangkali hanya
Keheningan yang risau.
“Apa bapa punya pesan?
Kalau tiada pesan
Aku mau memesan anakku padamu:
Biarkan anak ini tumbuh menjadi pencuri
Yang belajar mencuri segelas keringat
Suatu waktu ia akan ingat
Bahwa di ujung jalan ini
Dosa dibidik seperti mesiu
Meledak-ledak di hidupnya.
Itu takdir. Takdir bukanlah akhir
Yang didongengkan orang tua
Takdir adalah senjata-Nya melawan kehilangan.”
2015
Di balik Hujan
Di balik hujan
Ada yang suka bercerita:
aku mau kawin lagi malam ini
supaya besok pagi
ada banyak yang lahir lagi.
Sambil membawa anak-anak panah
Ia menikam dalam-dalam tanah.
Kemudian ia pergi tanpa pamit
pulang pun tanpa berita.
2015
Di Beranda Sunyi
Sore ini riang-riang ribut di luar kamar
Dan saya ribut di dalam kamar
Mengasah tajam-tajam sunyi di hati.
Sambil main-main dengan sunyi
Saya membuka jam minum kopi
“Ada kopinya, hanya perlu ditambah
Sebatang kata untuk berlebaran puisi.”
Riang-riang masih saja ribut
Diikuti teriakan orang-orang
Tanpa kecewa Ia mengajar isyarat keheningan:
“Bawalah aku kepada kepala dan hatimu
Jangan lupa menulis nama-Ku
Di seluruh puisimu.”
2015
Ziarah
Segala hari kami adalah ziarah
Kepada entah
Dan berapa lama jejak-jejak patah?
Kami seperti mimpi
Di tidurmu yang tidak tidur
Di malam kami layu
Kau tak dapat dirayu, kan?
Hidup kami hanyalah tanggal
Menuju tahun ketujuh puluh
Jika kuat delapan puluh
Hingga kami melayang lenyap
Pergi pun tidak, mati pun tak.
2015
Sumber gambar: putuindarmeilita2.blogspot.com
- Puisi-Puisi Eto Kwuta (Flores) - 23 June 2015