Puisi-Puisi Eto Kwuta (Flores)

large

Pada Puncak Kebisuan

 

Pukul dua belas sudah tiba

Gelap merebak, lalu Ia memberontak

Terdengar serupa angin menggagap

Pelan-pelan selesat, hingga deru pun tak sempat

 

Di sekitar hening menggauli orang-orang

Rasa takut seakan melecut

Seorang berbisik: diam, diam!

Ini sudah malam!

 

Masih saja gelap, adalah sayap-sayap

Malam yang sayu merayu-rayu

Terdengar suara pecah dalam diam:

Eloi, Eloi, lama sabakhtani?

 

Itu suara! kata seorang penjaga.

Ia memanggil Elia, kata yang lain.

Baiklah, kita menunggu ia datang, kata mereka.

 

Mereka menunggu sampai payah

Begitu juga Dia,

Pada kayu yang tak lagi patah

Ia menunggu kebisuan yang amat

 

Aduhai Aba,

Langit cerah sudah membentang

Mengapa Engkau tak kunjung datang?

 

Semua diam.

Lagi-lagi pecah suara dalam temaram,

Sungguh, orang ini Anak Allah! kata seorang

Yang benar-benar jatuh cinta.

 

2014

 

 Seekor yang hilang

masih diingat sampai di sini
pagi yang hilang
kita hilang sebelum Cahaya
saat lupa menengok matahari

masih, dingin ini merengkuh
sementara Dia mengeluh:
kembalilah, kembali
seekorku yang hilang!

2015

 

Campana

Kau sesuatu yang bunyi di biara.

Seperti merdu-Mu yang langkah,

Memanggil kami pulang rumah.

 

“Bangun, bergegaslah ke kapel,

Sejenak dahulu berbincang-bincang

Dan bergurau pada matahari

Di ujung kantukmu yang payah.”

 

Ya, pagi-pagi selalu Kau datang

Pada setiap musim di sisa tidur kami

Seolah membawa bala tentara surga

Menyergap mimpi kami yang masih bayi.

 

Orang bilang Kau pandai bicara

Sampai tak terkira itu nyaring-Mu

Merombak tubuh kami kembali

Pada-Mu. Teruslah bicara, ya?

Bicaralah tentang kami

Yang masih menggigil di kamar tidur

Sampai kami paham dan Kau tahu

Kami terlalu cepat untuk lupa

Dan terlalu manja untuk Kau lupakan.

 

2015

 

Predestination

 

Jauh-jauh hari aku lahir

Ayah merayakan kehilangan

Yang pecah di tengah derik tanah liat

Terpanggang matahari.

Kala itu angin pun kembali dari laut

Menengok desahan napas ibu. Kalut.

 

Ayah berdiri persis di kepala ibu

Mengelus-elus mimpi antara ada dan tiada.

“Apa bapa punya pesan? Aku mau pergi sebentar

ke seberang kota, yang sedang

menunggu ulang tahunku.”

 

Ayah mengeram sedih di hati

Tiada pesan, tiada kata, barangkali hanya

Keheningan yang risau.

 

“Apa bapa punya pesan?

Kalau tiada pesan

Aku mau memesan anakku padamu:

Biarkan anak ini tumbuh menjadi pencuri

Yang belajar mencuri segelas keringat

Suatu waktu ia akan ingat

Bahwa di ujung jalan ini

Dosa dibidik seperti mesiu

Meledak-ledak di hidupnya.

Itu takdir. Takdir bukanlah akhir

Yang didongengkan orang tua

Takdir adalah senjata-Nya melawan kehilangan.”

 

2015

 

Di balik Hujan

 

Di balik hujan

Ada yang suka bercerita:

aku mau kawin lagi malam ini

supaya besok pagi

ada banyak yang lahir lagi.

Sambil membawa anak-anak panah

Ia menikam dalam-dalam tanah.

Kemudian ia pergi tanpa pamit

pulang pun tanpa berita.

 

2015

 

Di Beranda Sunyi

 

Sore ini riang-riang ribut di luar kamar

Dan saya ribut di dalam kamar

Mengasah tajam-tajam sunyi di hati.

Sambil main-main dengan sunyi

Saya membuka jam minum kopi

 

“Ada kopinya, hanya perlu ditambah

Sebatang kata untuk berlebaran puisi.”

 

Riang-riang masih saja ribut

Diikuti teriakan orang-orang

Tanpa kecewa Ia mengajar isyarat keheningan:

“Bawalah aku kepada kepala dan hatimu

Jangan lupa menulis nama-Ku

Di seluruh puisimu.”

 

2015

 

Ziarah

 

Segala hari kami adalah ziarah

Kepada entah

Dan berapa lama jejak-jejak patah?

 

Kami seperti mimpi

Di tidurmu yang tidak tidur

Di malam kami layu

Kau tak dapat dirayu, kan?

 

Hidup kami hanyalah tanggal

Menuju tahun ketujuh puluh

Jika kuat delapan puluh

Hingga kami melayang lenyap

 

Pergi pun tidak, mati pun tak.

 

2015

 

Sumber gambar: putuindarmeilita2.blogspot.com

Eto Kwuta
Latest posts by Eto Kwuta (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!