Puisi-Puisi Halim Bahriz; Reruntuhan Rahim

a2483268278_10

Seperti Fiksi

 

Ia telah terbiasa mengubah protes

menjadi terima kasih, pada pagi buta itu

—tanpa nyanyian, tanpa gema suara azan.

Subuh adalah lengang dan dingin aspal

yang menunggu.

 

Suaranya tak tergambar dalam kata.

 

Ketika lidi mulai menggaruk sampah,

notasi ungu itu bangkit tanpa pendengar.

Seperti menyayat lupa.

 

Atau bunyi engsel pintu, ketika anaknya

diam-diam pergi—dan tiga bulan kemudian

pulang sebagai sehembus angin;

 

yang mengubah denyutnya menjadi ombak.

 

Aku tak mampu menulis tangisan laut

dalam puisi ini. Tapi bisa kalian bayangkan;

adik perempuanmu, atau dirimu sendiri,

adalah seorang ibu—dengan vagina

yang mengidap amnesia.

 

Dan hampir setiap malam, suamimu

menuang 7 gelas tuak ke dalam nganganya.

 

Kaulah pemilik ingatan yang mabuk.

Perempuan yang telah terbiasa mengubah

protes menjadi terima kasih di gigil pagi.

Seperti do’a yang tiarap di palung luka.

 

Semesta terbenam di pejam matamu.

 

  1. 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ulang Tahun Kehilangan

 

Kaulihat wajahku terbaring di koran pagi

—kau hampir menangis; tanganmu gemetar,
“tidak, tidak!” Kau tak mengucapkannya
tapi kau mendengarnya.

 

Jantungmu diperah selembar berita.

Lalu kautemui matahari; tak ada

dan kamulah mendung tua.
Kauamati tembok rumah, kalender itu
masih 1997. Kau berdiri di ambang pintu;
sejumlah foto mendelik & poster-poster puisi,
memanggilmu; cukup satu… “Sudah tidak!”
umpatmu dalam gumam. “Kita butuh Sipon,

perempuan seperti Sipon.”
“Tak cukup kata-kata lagi!”
Terdengar sendok dan cangkir beradu;
kau mengingat sebuah subuh, ruap kopi,
dan pipi yang kutampar pertama kali.

Udara mulai terendam gerimis, ruang

Menggelap, dan hari seakan tertukar.
Sipon lalu menyalakan lampu.
Pada jarinya, gunting sudah terpegang;
diambilnya wajahku dari halaman koran.
Hanya wajahku! Tiba-tiba listrik padam.
Di pintu kamar, gelap perlahan temaram.

Kau datang membawa nyala cahaya,
dan Fajar bertanya lauk sarapan.
Sipon hanya mendengar rontokan hujan,
makin keras—semua suara nyaris terbenam.
Kau lalu mengintip pagi di jendela, Fajar

menatapku, “Sudah besar kau, Nak!”

aku bergumam.
Sumbu lilin yang terbakar, seperti api

yang menangis—untuk nasib kalian.

 

  1. 2015

 

Interuspsi

 

H:

Maka berhentilah memilih tujudan kau akan tahu: laut tak pernah membuatmu tersesat, di manapun kauberlabuh. Bahkan saat kapalmu terdampar, sungguh, tak ada yang terlunta dari perjalanan. Atau, melanggar arusmu! Angin kencang yang kauhadiahi dendam, justru telah menyelamatkan kita dari yang tenggelam, dari jangkar yang tak bisa tahan di hadapan gelombang.

 

B:

Tidak! Bukan itu yang kusebut tuju. Sebab di teluk mana saja langit memanggil tubuh, wajah angkasa tetap sama: Biru! Aku  hanya ingin pergi dari diri sendiri yang semakin palsu; melupakan nama-nama hari—“Mutilasi Waktu”—yang kau pun tahu: sang pelaku tak pernah dicaci, apalagi dibunuh! Percayalah, pura-pura tertipu akan merayu masa paruh baya kita dengan perasaan wajar berbahagia dari cara hidup yang keliru.

 

H:

Bukan, sama sekali bukan! Maksudku tidak seperti yang kaupikirkan. Kita hanya tak mungkin bisa mengelak, kelak, akan tiba saatnya; tubuh membentang menjadi setapak—dan sebuah tempat, atau sebuah rumah, mendapat giliran jadi petualang yang meminjam kaki-kaki kita untuk sampai di pucuk-pucuk tanah. Mungkin kita tak bisa betah, tapi jangan bilang kaulupa, bahwa dalam hidup yang salah, bahkan selalu ada yang tetap berharga dengan cinta.

 

B:

Cinta? Ya, benar, tapi maafkan: kita memang tak perlu memaksa bersama. Seperti yang kaubayangkan, aku cuma berharap bisa menjadi sebentang jalan—dan bukan jurang! Sebuah tempat melewati tubuh kita tak untuk menemui masa depan yang memberinya penyesalan. Mungkin tidak sekarang, tapi kaupasti mengerti: seorang lelaki sepertiku, sungguh tak pernah memilih. Hanya hendak berlari untuk selamat dari perang yang tak becus memenangkan makna kekalahan.

 

  1. 2014

 

 

 

 

 

 

 

Dari Langon

 

Dari Langon; tempat gelap akan memberi langit

yang lebih bercahaya.

 

Lalu tubuh menjadi batu.

 

Dan sungai mengalir—membawa seluruh ingatan

tentang akhir dari setiap kelahiran; sejak puting susu

ibu yang senantiasa luput kita rindukan, hingga seucap

maaf yang terlambat kita antarkan pada seseorang.

 

Lalu batu menjadi tubuh.

 

Di sekitar dingin udara yang tak seberapa, rebah

perlahan terbenam ke dalam tanah; seperti sunyi mayat

dalam liang lahat—ketika resap hujan tiba.

 

“Di sini, mungkin kita akan benar-benar sendiri,

dan kelewat sabar, menanti, melunasnya sebuah janji.”

 

Lalu tubuh menjadi batu.

 

Dari Langon: tempat gelap akan memberi semesta

yang lebih bercahaya.

 

HB.2014

 


 

 

Reruntuhan Rahim

 

Setelah kutulis sebuah nama di hampar pasir,

ranting patah dalam genggaman. Di sepi pantai ini,

akulah; tubuh yang berlibur dari cangkang.

 

Debur di pucuk karang, menebar gaib; napasku

dibuatnya terseok, dipaksa menunggu—seolah ada

yang akan tiba. Kadang, seorang yang pergi

bisa lebih duri merasa ditinggalkan.

 

Kenapa, sebenci ini aku mencintaimu?

 

Ribuan kelelawar berlepasan kepada langit

yang kelam. Terdengar pula orkestra serangga,

seperti nyanyian roh yang berisik.

 

Rona senja di atas laut, mengucap perkabungan;

untuk para janin yang terlahir jadi reruntuhan rahim

dalam suaka ingatan yang tercabik-cabik.

 

Denyutku ambruk, lalu mengambang

seperti siul camar.

 

Anakku, maafkan ayahmu gagal merayu

di antara waktu, dosa, dan ibumu; cinta

tak bisa kutebus sendiriran.

 

Malam mulai menyulam gigil pada tulang,

angin menggores kekosongan. Di dekat unggun,

mata menyadap bara.

 

Mula-mula hanya gelagat pupil berucap kata,

“Ah, kita!”—tapi diam-diam, jatuh juga; air mata.

Jahanam! Jahanam!

 

Aku tak bisa mencintai lain perempuan!

 

HB. 2013

Halim Bahriz

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!