Seperti Fiksi
Ia telah terbiasa mengubah protes
menjadi terima kasih, pada pagi buta itu
—tanpa nyanyian, tanpa gema suara azan.
Subuh adalah lengang dan dingin aspal
yang menunggu.
Suaranya tak tergambar dalam kata.
Ketika lidi mulai menggaruk sampah,
notasi ungu itu bangkit tanpa pendengar.
Seperti menyayat lupa.
Atau bunyi engsel pintu, ketika anaknya
diam-diam pergi—dan tiga bulan kemudian
pulang sebagai sehembus angin;
yang mengubah denyutnya menjadi ombak.
Aku tak mampu menulis tangisan laut
dalam puisi ini. Tapi bisa kalian bayangkan;
adik perempuanmu, atau dirimu sendiri,
adalah seorang ibu—dengan vagina
yang mengidap amnesia.
Dan hampir setiap malam, suamimu
menuang 7 gelas tuak ke dalam nganganya.
Kaulah pemilik ingatan yang mabuk.
Perempuan yang telah terbiasa mengubah
protes menjadi terima kasih di gigil pagi.
Seperti do’a yang tiarap di palung luka.
Semesta terbenam di pejam matamu.
- 2016
Ulang Tahun Kehilangan
Kaulihat wajahku terbaring di koran pagi
—kau hampir menangis; tanganmu gemetar,
“tidak, tidak!” Kau tak mengucapkannya
tapi kau mendengarnya.
Jantungmu diperah selembar berita.
Lalu kautemui matahari; tak ada
—dan kamulah mendung tua.
Kauamati tembok rumah, kalender itu
masih 1997. Kau berdiri di ambang pintu;
sejumlah foto mendelik & poster-poster puisi,
memanggilmu; cukup satu… “Sudah tidak!”
umpatmu dalam gumam. “Kita butuh Sipon,
perempuan seperti Sipon.”
“Tak cukup kata-kata lagi!”
Terdengar sendok dan cangkir beradu;
kau mengingat sebuah subuh, ruap kopi,
dan pipi yang kutampar pertama kali.
Udara mulai terendam gerimis, ruang
Menggelap, dan hari seakan tertukar.
Sipon lalu menyalakan lampu.
Pada jarinya, gunting sudah terpegang;
diambilnya wajahku dari halaman koran.
Hanya wajahku! Tiba-tiba listrik padam.
Di pintu kamar, gelap perlahan temaram.
Kau datang membawa nyala cahaya,
dan Fajar bertanya lauk sarapan.
Sipon hanya mendengar rontokan hujan,
makin keras—semua suara nyaris terbenam.
Kau lalu mengintip pagi di jendela, Fajar
menatapku, “Sudah besar kau, Nak!”
aku bergumam.
Sumbu lilin yang terbakar, seperti api
yang menangis—untuk nasib kalian.
- 2015
Interuspsi
H:
Maka berhentilah memilih tuju—dan kau akan tahu: laut tak pernah membuatmu tersesat, di manapun kauberlabuh. Bahkan saat kapalmu terdampar, sungguh, tak ada yang terlunta dari perjalanan. Atau, melanggar arusmu! Angin kencang yang kauhadiahi dendam, justru telah menyelamatkan kita dari yang tenggelam, dari jangkar yang tak bisa tahan di hadapan gelombang.
B:
Tidak! Bukan itu yang kusebut tuju. Sebab di teluk mana saja langit memanggil tubuh, wajah angkasa tetap sama: Biru! Aku hanya ingin pergi dari diri sendiri yang semakin palsu; melupakan nama-nama hari—“Mutilasi Waktu”—yang kau pun tahu: sang pelaku tak pernah dicaci, apalagi dibunuh! Percayalah, pura-pura tertipu akan merayu masa paruh baya kita dengan perasaan wajar berbahagia dari cara hidup yang keliru.
H:
Bukan, sama sekali bukan! Maksudku tidak seperti yang kaupikirkan. Kita hanya tak mungkin bisa mengelak, kelak, akan tiba saatnya; tubuh membentang menjadi setapak—dan sebuah tempat, atau sebuah rumah, mendapat giliran jadi petualang yang meminjam kaki-kaki kita untuk sampai di pucuk-pucuk tanah. Mungkin kita tak bisa betah, tapi jangan bilang kaulupa, bahwa dalam hidup yang salah, bahkan selalu ada yang tetap berharga dengan cinta.
B:
Cinta? Ya, benar, tapi maafkan: kita memang tak perlu memaksa bersama. Seperti yang kaubayangkan, aku cuma berharap bisa menjadi sebentang jalan—dan bukan jurang! Sebuah tempat melewati tubuh kita tak untuk menemui masa depan yang memberinya penyesalan. Mungkin tidak sekarang, tapi kaupasti mengerti: seorang lelaki sepertiku, sungguh tak pernah memilih. Hanya hendak berlari untuk selamat dari perang yang tak becus memenangkan makna kekalahan.
- 2014
Dari Langon
Dari Langon; tempat gelap akan memberi langit
yang lebih bercahaya.
Lalu tubuh menjadi batu.
Dan sungai mengalir—membawa seluruh ingatan
tentang akhir dari setiap kelahiran; sejak puting susu
ibu yang senantiasa luput kita rindukan, hingga seucap
maaf yang terlambat kita antarkan pada seseorang.
Lalu batu menjadi tubuh.
Di sekitar dingin udara yang tak seberapa, rebah
perlahan terbenam ke dalam tanah; seperti sunyi mayat
dalam liang lahat—ketika resap hujan tiba.
“Di sini, mungkin kita akan benar-benar sendiri,
dan kelewat sabar, menanti, melunasnya sebuah janji.”
Lalu tubuh menjadi batu.
Dari Langon: tempat gelap akan memberi semesta
yang lebih bercahaya.
HB.2014
Reruntuhan Rahim
Setelah kutulis sebuah nama di hampar pasir,
ranting patah dalam genggaman. Di sepi pantai ini,
akulah; tubuh yang berlibur dari cangkang.
Debur di pucuk karang, menebar gaib; napasku
dibuatnya terseok, dipaksa menunggu—seolah ada
yang akan tiba. Kadang, seorang yang pergi
bisa lebih duri merasa ditinggalkan.
Kenapa, sebenci ini aku mencintaimu?
Ribuan kelelawar berlepasan kepada langit
yang kelam. Terdengar pula orkestra serangga,
seperti nyanyian roh yang berisik.
Rona senja di atas laut, mengucap perkabungan;
untuk para janin yang terlahir jadi reruntuhan rahim
dalam suaka ingatan yang tercabik-cabik.
Denyutku ambruk, lalu mengambang
seperti siul camar.
Anakku, maafkan ayahmu gagal merayu
—di antara waktu, dosa, dan ibumu; cinta
tak bisa kutebus sendiriran.
Malam mulai menyulam gigil pada tulang,
angin menggores kekosongan. Di dekat unggun,
mata menyadap bara.
Mula-mula hanya gelagat pupil berucap kata,
“Ah, kita!”—tapi diam-diam, jatuh juga; air mata.
Jahanam! Jahanam!
Aku tak bisa mencintai lain perempuan!
HB. 2013
- Puisi-Puisi Halim Bahriz; Pada Matamu - 2 April 2019
- Sebuah Cara Menceritakan Diri Sendiri - 29 July 2017
- Puisi-Puisi Halim Bahriz; Pidato Dedaunan - 25 April 2017