Batu
Di pintu ia berdiri mengetuk
“Hendak bertemu dengan siapa, Nak?” tanya bibir pintu bertukar getar
“Dengan Sepi. Bagaimana kabarnya, Ibu?”
“Lukanya telah kering.”
: peresmian Gereja pun usai
2014
Kunci
Hari Minggu, kata Ibu. Ini hari Tuhan di mana?
Mulut kami lapar mengunyah doa-doa panjang yang letih
Kepada entah. Beberapa penyair menyebutnya, sunyi
Kaum ateis menyapanya, kemanusiaan. Dan para mahasiswa
memanggilnya, guru.
Ekaristi kali ini sengaja dilamat. Cawan meluapkan uang
Lilin-lilin menghanguskan dendam. Keranda merangkul kembang kematian
Anak-anak berebut kemiskinan. Dan di koran mata pembaca mengeja
kaget, “Imam menjual Altar, Kunci, dan Kristus.”[1]
2013
[1] Larik ini dikutip dari salah satu satire ketika pada abad XVI Gereja Katolik terguncang akibat kerancuan moral, jual beli kekuasaan, politik uang, dan nepotisme di bawah pimpinan Paus Alexander VI.
Hilangku Mampus
Berapa langkah yang harus kukayuh
untuk sampai pada hadiratmu?
Telah banyak yang datang dan pergi
lantas hilang di tempat ini
Tanpa jejak
Tanda tiada
Berapa banyak subuh lagi harus tinggal aku
di tempat keraguan bagai kapal kehilangan nahkoda
Terombang gelombang
Terseret prahara
Bahkan satu-satunya hal yang kita cintai telah mampus
Bukankah sebelum kita
Sebelum Ada
Di belakang bahasa
sesungguhnya ketiadaan?
Pada pertemuan kedua
yang tak tahu kapankah itu menjadi seseorang
Mencintaimu membuatku benar-benar kehilangan
: diriku sendiri
2014
Sejarah
Ia gadis peramah
Melewati lorong gelap ia lemparkan
Berkas-berkas cahaya dari matanya
Yang didekap sedari lahir di luar rahim
Seusai waktu bergegas
Di depan makam
Ia mengetuk sepi
Dan sesudah pintu dibuka
Terlemparlah kita pada entah
Ia gadis pemarah
Di dalam kulkas diawetkannya rindu
Mencoba menyulam gelombang yang pecah
Dari setiap gemuruh mendera
Di dalam rahim
Ia masih telanjur setia mengetuk sepi
Sekalipun tiada harap dibuka pintu
Mengabulkan setiap panjat pergi
2014
Percaya dan Persoalan tentang Melihat
Ekaristi berlangsung gugup
Saat di mana gadis itu mengerang
Melafalkan syair yang ganjil
Tentang mengapa tabernakel
Seumpama hatinya
:kosong
2014
Perempuan-Perempuan Perkasa
Sepanjang musim yang garang
Kami memintal rahim-rahim ungu
Padahal hidup terlampau tak adil
Menjadikan segalanya gugur laksana abu
Begitu sepi hatimu
Seperti dahaga abadi pantai
Mendamba gelora amuk lautan
Busa sabun lekas pecah
Perempuan-perempuan perkasa
Adalah yang menenun hidup mereka sendiri
Adalah api yang berpijar dari penjuru mata angin
Adalah imaji liar para pemburu kawanan domba tambun
Adalah yang di mata lelaki tak lebih dari seonggok tahi kambing
Adalah pelacur bagi institusi perkawinan
Adalah pemimpin terbaik bagi penyesalan-penyesalan
Adalah kami
Adalah kita
Bukan puisi aneh
Jika kau dengar kami berseloroh ganjil
Bahkan ketika puisi ini aku baca
Pernakah terlintas dalam benakmu
Sedikit pengertian untuk memeluk hati kami yang luka
Sebuah tempat di mana kalian biasa menyodorkan persembahan terbaik
Kemudian murka menyala di matamu jika tak kami indahkan sesajianmu
Kesetiaan adalah kata benda yang gagal menjadi kata kerja
Sekalipun keringat gading kami kalian buat begitu murah
Menjadi sampah bagi pemilik pabrik-pabrik cerutu di Eropa
Pengusaha pemilik berahi paling sejati
Yang gemar mengobral celana dalam dengan dalil pertumbuhan ekonomi
Pertahanan, dan keamanan nasional
2014
Tuhanku yang Masih Pagi
Aku mencintaimu dengan embun yang tak lekas lenyap
sebelum terpanggang terbit fajar
Aku mencintaimu bersama arakan gulungan ombak
tempat sebuah kecupan ikhlas pantai
Aku mencintaimu dengan kesadaran:
Aku masih sebutir debu.
2014
Sumber gambar: imgkid.com
[1] Larik ini dikutip dari salah satu satire ketika pada abad XVI Gereja Katolik terguncang akibat kerancuan moral, jual beli kekuasaan, politik uang, dan nepotisme di bawah pimpinan Paus Alexander VI.
- Puisi-Puisi Hans Hayon - 4 October 2022
- Catullus, Lacan, dan Cinta yang Performatif - 28 March 2020
- Memikirkan Karl Marx dan Foucault dalam “In Time” - 18 January 2018
Lee Risar
Saya tunggu buku puisinya bro…
Lusi
saya suka kamu punya puisi