Puisi-Puisi Iin Farliani

 

Hutan Lambang

ke hutan lambang

merayap bahang

ke pelukmu tercium

bekas luka bakar itu

dan di hadapan menggenang danau

seperti sup dalam mangkuk ibu

seumur hidup berbisik

dari terjal kedalaman

mengumpulkan asin dan tawar

apakah ia?

selain biji bakau yang memukul air

tanganmu memegang

sebatas jaring plankton

di luar itu ialah

nyala terik

getah tapak

belantara lumpur

seluruh yang memisah

seluruh yang menggelar

upacara di darat

darah menetas

memecah di etsa tua

bara mengatup

punggung membungkuk

menuju pulang

menyilakan aroma dari

kolong yang serupa

sejauh kesunyian

sepanjang pengaburan

Teluk Nara, 2021

 

 

Piknik

ke jalan estuari

terhuyung menjaring jejak

lepuh eraman oleh terik sinar siang

kepada yang bersarang

di tanah ini

pemamah bubuk daun

yang berbisik di pasir

yang terluka disadap udara

kita bagi

sungkawa ini

mana yang terpahat

mana yang dibiarkan

meleleh hangus

dipagut linang

angin memukul sisi perahu

rumah yang tenggelam

dalam hutan

ke jalannya masih tumbuh tanjakan

meliuk berbelok

tak terukur penjuru

tak terukur

umpama aksesori pagi

ialah keriangan ini

meski masih menyisa

selubung di tengah

hening muara

tak terjarah

mendentam

hari ruah

menyingkir

prahara

Teluk Nara, 2021

 

 

Herbarium

meleleh lumpur

di mata kaki

mengukur dalamnya

pemungut daun

menunda pelapukan ini

siapakah penghuni sebenarnya

batang pohon yang menyerupai jarum

menyuruk masuk

ke sebidang raga hutan

meninggalkan pahatan

pecah

menganga

menjerat pulang

yang tertawan urat tanah

kepadanya

didirikan rumah papan

seturut harum humus

menjadi baka

bersama sejumlah nama

mengisahkan berapa kaki

dari permukaan laut

di ketinggian ini

sedalam dekapan

riuh pameran

bunga-bunga beku

menjalanya di satu sumbu

gerak diam kambium

sederas ranum

gurat patah bersahutan

sengat tertancap

merengkuh bagai cagar

merengkuh bahkan yang bersembunyi

membusuk

Teluk Nara, 2021

 

 

Mengukur Ombak

dengan koktail di tangan

seorang pelancong memandang

dari tepi

dan nyanyian pemabuk

yang meruang

sebelum gelap turun

mengukur ombak

mengukur derasnya

yang patah

pada papan pasut

remuk sisi

penglihatan mundur

jadi segala hanya berupa angka?

sebuah takzim telah dipagut

menjarah apa-apa

yang berbisik dari dalam

di papan pasut ini

di sebidang jerat ini

laut mengecil

seteguk koktail

lagi,

akan dituang

anyir, asing, dan busuk itu

ke raganya yang berlubang

mekar

terbakar

gelap telah turun

di tengah, angka yang tertimbun

di tepi, mata yang merengkuh

pemandangan terakhir

Teluk Nara, 2021

 

 

Ruaya Pulau

ke dalam pasir

kaki menyuruk

segaris tali tambang

arah sampan

arah perkabungan

pecahan karang

sebagai bunga

yang bertabur di atasnya

meniru serasah yang membusuk di tanah

kami ingin tersesat

ke pulau tak berpenghuni

bersama bangkai serangga

yang ditumbuk udara

sepasang mata

mengumpulkan luka dari

duri-duri bulu babi

tiga ekor kematian

tiga keheningan

perempuan bertopi

menyarungkan tangan

agar tak lekas lesap

kenduri yang dibangun daun-daun

agar masih mendengar

nyaring batu es bersulang

sampan memanggil,

“aku menjemputmu pulang”

tapak terpahat

urat-urat berdenyut

memulangkan hanya

gema sisanya

Teluk Nara, 2021

 

 

Nyanyian Pemabuk

di tidurnya

prahara memukul

dari mimpi yang terbalik

yang menggema perih

menyisa takik

malam tropika

melayang sengaunya

sepanjang dentam ombak

di paruh pejam dan jaga

ada yang dibisikkan umpama:

masa kecil tak pernah ingkar

seperti bulan mengikuti arah

ke mana akan melangkah

juga suam ciummu

ibu!

dekapan lelap di pudar hari

masih akan mengelilingi

mengelilingi lagi

menyuruk peluk

air mata yang dalam

akan teringat lagi

seluruh kesakitan ini

kerinduan yang terkubur

manakala pergantian musim

menebalkan pendeknya hari

memanjangkan jarak

pada satu keheningan jaga

pada tiap pagi yang bersalin rupa

Teluk Nara, 2021

 

 

Tonggak

ke tengah titian

melihat ombak

diukur hempasnya

tali mengulur, gerak menggulung

dibentangnya lagi seakan ada

angka dibubuhkan di sana

ke tiang lapuk

menyangga kesadaran

manakala penantian

seperti tercerabut

tapi pijak tetap diam

tertawan dalam bunyi keretak

papan dermaga ini

setengah pasang

telah melimbungkan

apa yang kasat dan

apa yang tiba dari mimpi

tapi,

pengukur ombak itu

hanya menempuh cara rumit

untuk mencintai

kehampaan laut

yang purbani

sarat tak teraba

selubung sungkawa

di akhir kerja

yang mengapung tinggal

tali ringan, pucat pasi

ke tepi akan kembali

langkah mundur

terhitung debur

Teluk Nara, 2021

Iin Farliani
Latest posts by Iin Farliani (see all)

Comments

  1. Ujianto Sadewa Reply

    Puisi-puisinya bagus. Saya suka puisi Ruaya Pulau, terutama pada bagian diksi: bangkai serangga yang ditumbuk udara.

  2. Dee Reply

    Puisi ini lebih bagus dari puisi pascakontemporer apalah itu.

  3. @aditpyusuf Reply

    Herbarium membawa saya kepada rasa resah yang manis, menghujat imaji membawa ke sana.

    Wow. Teruslah menulis mba Ifa.

  4. ferdi afrar Reply

    puisi yang layak dibaca.

  5. Alaric Reply

    Bagus bgt puisinya, diksinya penuh imaji

  6. Prakon Temporer Reply

    Iin, terasa puisi-puisimu sangat tulus .Karya-karyamu memiliki kualitas yang mencerminkan sisi artistik bernilai tinggi. Teruslah engkau menulis, teruslah engkau melangkah, janganlah patah semangat. Segala peristiwa yang menimpa dirimu pasti akan membuat proses kreatif terasa lebih membahagiakan hatimu, walau tentu tidak mudah menerima sikap seorang redaktur bergelar doktor yang pernah merendahkan pertanyaan tulus darimu. Iin, engkaulah cahaya dari Timur yang sesungguhnya. Janganlah rasa kebencian menaklukkan dirimu. Dirimu akan menjadi penulis legendaris sejati, dirimu akan semakin besar dan semakin besar, dirimu akan terus berkarya dan lebih semangat dalam berkarya. Semoga suatu hari nanti karya-karyamu akan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Semoga kelak seluruh puisimu dikaji oleh para doktor di Moskwa (Moskow atau Moskov, atau Moksov, atau Movskow).

  7. aris bin kandi Reply

    Duh indahnya

  8. Yose Bataona Reply

    Syahdu.

  9. Mendena Reply

    Puisi-puisinya sangat indah. Sejuk, masuk sampai ke hati.

  10. Iin Farliani Reply

    Terimakasih yang sudah membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!