Hari-hari di Batanghari
masa lampau. di sebuah pulau emas
sayembara itu dimulai
di antara bayang-bayang harta karun
mana raja negeri ini?
lalu api berkobar disiapkan
rendaman sungai tiga hari
sampai digiling kilang besi
sesudahnya bendera putih berkibar-kibar
dari arah tujuh kuto, sembilan kuto,
batin dua belas
orang-orang lagu menyerah
ksatria yang putus asa
berbalik ingin pada angin
pulang sebab gelar tak mampu ditawar
kemudian jalan-jalan sulit, rimba belantara,
sungai dan perampok
ditempuhlah segala. ke mana raja dicari?
hingga matahari lengkung ke selatan
di sana cahaya jatuh
dipatut semua yang patut. dijumlah seluruh
yang lebih
dan dendanglah yang menuntun kepergian
berbalik pada kepulangan
berhari-hari. bersinggah-singgah
membawa raja yang dijumpa
maka di kepetangan hari. tegak silsilah dan ranji
tegak negeri jambi
tapi batang hari kini
ikan-ikan menjadi bangkai
dari hutan kayu-kayu dihanyutkan
di tepinya orang-orang saling menikmati
Amungme
sesepuh tua dan mantra-mantra
seorang gadis
mungkin dengan mata terpejam
merapal hari pagi dan malam
mendengungkan bahasa among dan dhamal
maka sebelum pintu terbuka bagi orang-orang gua
berangkatlah burung nuri dan murai. menuju rumput-rumput,
tanah, dan air
permukaan basah. dataran yang kemudian kering
orang-orang amungme berlagu sepanjang jalan
sepanjang lembah baliem
ke barat. ke arah matahari melepas sengatnya
“tanah adalah ibu kami!”
amungme manusia utama
amungme manusia pertama
bibit-bibit ditebarkan, binatang,
dan lalu kehidupan yang ditanam
matahari pun melintas gunung
membujur lembah-lembah
leluhur yang diagungkan
di belakangnya ekagi, moni, wolani, juga berlagu
dengan bahasa berderap
tentang segala asal mula. tentang mukim yang disucikan
juga tarian-tarian panen dan perburuan
“tanah adalah ibu kami!”
tapi ke mana burung murai
yang dulu di paruhnya mengulum lumut
kini rahim ibu dikeruk. kesucian menjadi tambang
o, gunung-gunung kelahiran orang amungme
gunung yang dirundung murung
ke mana tombak dan panah akan diarahkan
sebelum tiba juga kematian
“tanah adalah ibu kami!”
Banten Lama
beribu tahun setelah benteng rubuh
ia pun mencari-cari titah sultan
batas tanah yang murung
sungai dan bekas pelabuhan
utang serta rempah-rempah
di sana sejarah tersandar
antara kenang pos, barak, dan pabrik mesiu
ia terkepung luka-luka lampau
di surosuwon. anak panah buta di gerbang melengkung
tapi sebelum derap dan pasukan
burung-burung meninggalkan tempat mandi
membasuh paruh pada genang darah
“berikan kami seribu rakyat setiap hari untuk seribu mimpi
di ujung kulon
serahkan patih pada batavia
bawa keraton ke tanah anyer…!”
dan banten bersimbah
di pintu kebencian pedang diayunkan
utusan yang tak pulang
tiba-tiba matahari disergap gelap
pedih menghitam ke udara
mengubur setiap sudut jengkal. kejayaan yang rata
beribu tahun setelah sejarah menjadi kota lama
orang-orang menarikan walijamaliha
ia pun singgah sebagai seorang yang entah
burung-burung berkabung
tapi banten. adalah napas tak terlupakan
Iyut Fitra
Kota Pulau
dari gapi diungkaplah tarinata
diri yang diwariskan
turun-temurun
gunung gamalama hingga pelabuhan
cerita kesultanan sampai alun-alun
juga pulau-pulau tak berhuni
adalah jiwa yang terus tumbuh. jiwa-jiwa karang
serupa lahar yang membakar
menatap matahari. hidup yang percaya
seolah benteng-benteng kokoh yang setia
merawat degupnya
berkali langit tertutup. letus-letus yang berulang
bahkan desa yang tenggelam menjelma danau
tapi ternate adalah tubuh-tubuh teguh. tiada kan pergi
bertinggal rapuh
pada hari-hari muram lagu akan disampaikan
“kami kitari gunung ini
sebanyak cinta yang dilahirkan. meredalah!
takkan kami lepas segala yang bernama warisan.”
maka orang-orang pun terus mendaki dengan jumlah genap
menuju puncak kehidupan
kebun cengkeh dan pala
legenda danau dan kuasa yang murka
adalah dinding-dinding yang terus memagar
serupa batu-batu yang selalu kembali setiap dilempar
karena ternate adalah gapi. adalah tarinata
“di sini tak ada orang-orang menyerah!”
lalu kerumunan soya-soya
hentak bagai laskar
berkeliling-keliling irama ganjil
sorak-sorai perjuangan
taqua di kepala. semangat menyala-nyala di dada
o, ternate. awan dan kabut bergelimun tiada ragu
di hatimu gunung laut saling berpeluk dan bercumbu
Braga
ia telah berjanji di braga
perempuan itu
dalam sebuah pesan akan menunggu
dengan baju warna merah
serupa gedung-gedung tua
atau lukisan-lukisan lama
ia bayangkan malam akan sedikit nakal
di antara para pejalan yang entah datang
entah pulang
“bawakan semua yang selama ini kaupendam
di braga malam tak akan cepat dijemput pagi!”
seorang yang entah dari mana
bercerita tentang kota tua
toko musik
pedagang buku
juga muasal kota kembang
seraya mengisap rokok dalam-dalam
lalu pergi begitu saja
seorang tua
di trotoar
melukis hitam putih kota lama
bangunan eropa
atau barangkali bekas bioskop
lalu merobeknya tiba-tiba
hampir separuh malam
bulan merah
ia terima lagi sebuah pesan
“sudahkah kau di braga?
bila malam telah berlalu
kau akan mengerti makna menunggu!”
ia telah berjanji di braga
perempuan itu
tak kunjung datang
Lahilote
ada yang berumah di hulu
sebelum hutan
bersebelah mata air
tempat mengadu tatkala rotan-rotan tak didapatkan
“aku lahilote
laki-laki gorontalo!”
desir air. angin berbagi siur dengan daun
dalam sendiri
sepi tak berhasil menjerat
ia simpan hari-hari bersama putaran matahari
gadis-gadis datang
orangtua yang melamar
ia adalah pencari rotan belum kasmaran
untuk berahi
haruskah diintip bidadari mandi
pada hari yang lain itu
ada yang memanggil dari sungai
air bersimbur-simbur
tujuh perempuan terlihat badan
lahilote tiba-tiba telah dewasa
menyaksikan tubuh-tubuh putih
yang terbuka
“kucuri selendang bidadari
karena hidup perlu istri
aku lahilote pencari rotan
siapakah antara kalian sudi bermalam?”
ia alunkan lagu itu
dengan irama paling merdu. lalu bergegas
ke dalam hutan
“kucuri selendang bidadari
karena dengan perempuan hidup akan kuselami
aku lahilote pencari rotan
jadilah mempelai kudambakan!”
maka kembalilah mereka ke asalnya
maka tertinggal satu dalam luka
siang mendepa bayang
gubuk itu kemudian didatangi
naiklah!
jadikan lengang sebagai ranjang
bercerita mereka jalan-jalan kehidupan
sampai malam
sampai selendang itu tak juga ditemukan
“mari berlayar
di antara hutan-hutan rotan
hulu dan mata air
lihatlah cinta mengalir!”
“mari berlayar
lautan tak butuh selendang
yang kutanam di dada selama ini
kuberikan bila malam telah sepi!”
aduhai, dalam perjalanan itu
berkayuhlah mereka
meninggalkan tebing dan tepi
menyusur sampai ke muara
rebah di lenguh malam tak bersuluh
di gubuk tua
hasrat yang menjelma tumpak gelora
berlantun dalam irama rintih bersahutan
menjadi pengantin berpanggilan
tapi di sebuah tabung bambu
bungkusnya daun jati
selendang itu terlipat kuyu
selendang yang hilang dulu
di mana lahilote?
bidadari berlari-lari
mencari-cari tubuhnya
membuka semua selubung dusta
kemudian meninggalkan itu segala
bersama sayap yang dijumpa
“mata air
hulu sungai
o, rotan-rotan
bawa aku ke kahyangan!”
lahilote memburu segala yang hilang
menebus pura-pura
bahwa bidadari yang pergi
membunuh dirinya tiba-tiba
ia unjukkan tangan
ia ulurkan maaf
bersumpah atas nama rasa cinta
diam-diam. matanya terasa panas diam-diam
maka kemudian
di gorontalo orang-orang membuka legenda
tentang pasangan yang akhirnya saling percaya
- Puisi-Puisi Iyut Fitra; Lahilote - 3 July 2018
- Kota Beragam Wajah; Puisi Iyut Fitra (Payakumbuh) - 15 December 2015