Pelarian
“I buried my heart in a willow tree
You came along, gave it back to me
Now we’re creatures of the night,
we set each other free”
(Run Away – Sarah Jarosz)
Rahasia adalah sunyi ladang dan
ulangtahun yang telah berhenti
dirayakan sejak musim semi bermula.
Tubuhnya terkikis embusan badai
berisi ultimatum dan senjata kimia.
Ia ingin berlari menjauhi apa pun
yang serupa dengan waktu.
Serupa detik dan detak pada bom
dan jantung yang terkoyak.
Tapi malam yang dipuja telah
berhenti memberkati kedua kakinya.
Maka laut pun disihirnya jadi sayap
dan ombak jadi kata-kata.
Di pantaimu ia tiba sebagai lelah bocah
yang disongsong ketakutan-ketakutan asing.
Sungguh, siapa pun yang berhati jujur
dapat menyaksikan segalanya pagi itu
:pasir keruh, hening angin, dan konstitusi
yang rapuh mengecup keningnya yang dingin.
2015
Kenyataan Rumit
“But I picked that coin up
And I ain’t found no luck
Just wanderin’ and stuck
In the mud and the muck”
(Gypsy – Sarah Jarosz)
Apakah kenyataan ini terlalu rumit
untuk kau sadari? Gunung-gunung
yang terbelah cuma ada dalam kitab suci.
Atau dalam keinginan liar para pengingkar.
Surga bukan lumpur yang menyembul dari
celah dinamit dan mesin-mesin pengeruk tanah.
Bukan karnaval berbaris di jalanan yang
terbuat dari dongeng-dongeng tentang hutan.
Sebab kerelaan akan menemukan
batas pada akhirnya. Tak seperti
kata-kata yang kau kibarkan dalam
iklan-iklan apartemen dan perumahan
Sebab bagaimanapun, granit dan cadas telah
belajar keras pada hati perempuan-perempuan
tertindas, sementara kau asyik mencetak ribuan
peluru dan peraturan.
2015
Memenuhimu
“Sonic satisfaction
Holds my ears in sweet embrace
The endless chain reaction
Of what we give and what we take”
(Floating in the Balance – Sarah Jarosz)
Aku ingin memenuhi jiwamu dengan
gelombang-gelombang, dengan getar
senar dan getir yang disitir sajak
dari buku sejarah yang dibakar.
Hujan tak akan turun di musim ini
juga kata maaf. Sungguh, lupa
itu bukan penyakit. Dan kekejian
tak memiliki penawar.
Aku trubadur gadungan, limbung
menghafal lirik, payah meramu
gerisik lengan mandolin.
Sementara tawamu panjang berderau
Serupa suara pelantang di genting surau
yang belakangan jadi pangkal debat dan gurau
Aku menyanyi, kau tertawa
seolah sebuah hari adalah
demam dan epilepsi
di antara riuh lagu cinta.
Lalu kau mengeluhkan kulit jemariku
yang makin menebal bagai kebebalan
sebuah bangsa, tapi keluhan itu
tak bakal menghentikanku.
Aku akan terus menyanyi, menyanyi!
hingga nyanyianku memenuhimu.
2015
Menonton Horor di Bioskop
Terkutuklah mereka yang menyembunyikan
roh orang mati ke tubuh boneka
Juga mereka yang menjadikan anak
kecil sebagai antagonis dalam
mimpi buruk orang dewasa
Lampu akan dimatikan sebentar lagi
agar orang-orang dapat leluasa
menyusun rencana pembunuhan
rasa sepi
Layar putih telah dibentangkan
untuk menyerap jeritan, yang
lalu dimuntahkan kembali sebagai
berondong jagung dan minuman ringan
Jika kau mati, Anabelle, tamatlah film ini
Karena horor itu fana, dan rasa takut abadi.
2014
Dari Lukisan Rene Magritte
Sepucuk cahaya memanjat naik ke atas meja
tempat surga baru saja raib menyisakan jelaga
Ia berdiri di antara rentetan khotbah dan keinginan
memperbaiki dunia, sementara keremangan perlahan
mengerkah tubuhnya
“Surga yang berlumur minyak rambut sedang
bersembunyi di celah otak kecilmu, Tuan.”
Cahaya itu berujar seraya menjaga keseimbangan,
menahan kaki meja biar tak doyong dan menjadi profan
Cahaya itu menceramahi setiap wajah yang berpaling,
merambati amal yang mengharap imbalan, menggusah
empati setengah tulus, mencerca puisi yang ditulis
tanpa pendirian.
Pipa tembakau yang tak rela lepas dari mulutmu itu pun
tak luput dari kesinisannya, seakan itu tamsil paling pilu
dari kemunduran moral seusai zaman pencerahan.
Kau tahu, cahaya itu memiliki pertanyaan
yang enggan ia ajukan. Mengenai hidungmu
yang bengkak mengendus-endus wadah kosong
yang telah dijilati entah oleh api yang mana.
2015
- Sebuah Pertanyaan Terhadap Akal - 26 August 2017
- Tadi Tidur di Mana? - 18 August 2017
- Puisi-Puisi Jamil Massa; Kepergian Seorang Penari - 21 March 2017