Mengelus Perut Istriku
Mengelus perut istriku
yang sedang menggembung seperti roti
dan berdenyut laksana surga
kurasakan panah-panah waktu
menumpul merambati kepala.
“Teruslah mengelus agar
kakak tak pernah berduka,”
ujarnya di antara jeri dan jaga.
Antara keluh kontraksi
dan rengsa plasenta.
Kuelus perut istriku
tatkala malam makin alum
dan sobekan hujan terhambur di halaman.
Kuelus sebab kudengar napasnya patah
bagai dilukai mimpi;
mimpi yang jadi bisik;
bisik yang jadi gema.
Di permukaan perutnya, urat-urat membayang
tak ubahnya peta Sulawesi yang perlahan
dijalari jalur kereta.
Rahimnya adalah ceruk suci
bagi segala serat suara.
Sungai tempat janji-janji dicuci,
dilipat, sebelum disimpan
dalam memori rahasia.
Di sanalah kau menggeliat
memeluk Beethoven dan kegelapan
menunggu pinangan cahaya
dan nasib buruk dunia.
Sementara di luar sini
aku senantiasa berseru kepadamu:
“Jangan takut, jangan takut, jangan takut,
dan jangan takut!”
Aku berseru meski memiliki suara
tak selalu membuatku mudah merasa lega.
2015
Kepergian Seorang Penari
“Aku menari untukmu, Siwa
Seperti menari di sempit
candi tanah Jawa.”
Begitu ia berkata
dengan membusungkan dada
pekat bisa menjalari nadinya
sejak Antwerp menghilang
di ujung jalur kereta.
Hujan salju telah berhenti,
tetapi ia masih tak berani
melirik garis tangan sendiri.
“Aku ingin tuliskan
surat untukmu, Vladimir
namun kuku-kuku jariku
telah habis dicabuti.”
Ia berbisik, tapi hantu-hantu
itu bisa mendengar.
Hantu-hantu itu selalu tugur
terutama di Saint-Lazare
—tempat dugaan-dugaan
atas hidup dan kematian adalah
keropeng yang mesti disingkirkan
Jika jenderal-jenderal itu
masih membayangkan, perang dunia
berkecamuk di sabuk dan pinggulnya,
apa yang bisa ia harapkan
selain kematian yang puitis
tanpa kain penutup mata?
Pagi itu, ia mengenakan baju biru,
topi kaku; sebuah gejala
Burung-burung gagak berkoak di tembok
seolah berseru, “Hindia! O, Hindia!”
Maka ia pun melambai ke arah kerumunan orang
lalu ke arah kegentaran yang telah terkokang.
2015
Ia Sedang Keluar
Ia sedang keluar, ke arah taman,
katakan itu jika ada yang bertanya,
ke mana pergi seleret duka dan sengau
tibia yang dimainkan kemarin malam.
Ia sekuntum mawar yang bersedih
nyaris seperti bintang mati.
Seorang pemuda telah membungkuk
dalam-dalam kepadanya dua hari lalu.
Ketika itu, samar ia lihat bibir
sang pemuda berubah jadi ungu.
Lantas ia ingat warna kegundahan,
warna langit Oktober di atas kota.
Kapel-kapel sunyi. Getar doa yang
tak lagi mengenali lidah pemadahnya.
“Pulanglah, jika yang kau
terima bukan berita gembira,”
begitulah ia berpesan
kepada siapa pun yang
berkeras menunggu.
Ia adalah seorang Capulet
—jerit rindu yang dicoret.
Dahinya dingin. Tidurnya
gurau kematian.
Meskipun begitu ia tampak gembira
sebab barangkali, sebentar lagi,
ia bakal jadi anonim –merdeka
dari gunjing orang-orang yang
selalu sibuk mempersoalkan nama.
Menjelang pembacaan eulogi
pemuda itu kembali
Membawa satu ampul kegetiran
yang kental bak nyala api.
“Dosisnya terlalu tinggi.”
“Ciumanmu terlalu pagi.”
Maka tanpa berkemas mereka pun pergi
Meninggalkan orang-orang Verona
membuat tanda salib di dada.
2015
Aku Izinkan Kau Membunuhku
Aku izinkan kau membunuhku dengan sedikit suara;
misalnya lagu pengantar tidur atau cerita
tentang bajak laut yang menguntit di Selat Malaka.
Demi sejumput rempah, dan mimpi-mimpi yang murah,
percayalah, tak ada apa pun di udara
selain ancaman skorbut dan rencana yang
kurang sempurna
Kita keliru, William,
karena itu kita dilupakan.
Namun kita pernah lebih keliru kala mengira
Tuhan menggelar dunia di atas nampan
—Dan memiliki rasa penasaran adalah
cara paling mudah menepuk pundak kematian.
Di pantai-pantai Hindia akan kau jumpai
jerat hujan, lipatan surga, dan orang-orang
kulit putih santun dari Company yang dikepung
desing malaria.
Di Agra, seorang gadis lugu Armenia
telah mencintaiku dengan dagu terluka
lantas apa yang salah, kawanku,
jika ingatan adalah kusam belacu
sementara kesendirian merupakan
cobaan terburuk di negeri jauh.
Ah, barangkali kita memang berdosa
Sekerat roti berjamur dan seiris
keju berbau kencing tikus belanda
telah kita kunyah tanpa berdoa.
Maka aku izinkan kau membunuhku, kawan
lakukanlah saat ombak sedang bosan
—sebelum angin hidup dan layar terjaga.
Barangkali aku sungguh berdosa
telah lupa pada warna kupu-kupu
dan cuaca menggelikan di negeri kita.
2015
- Sebuah Pertanyaan Terhadap Akal - 26 August 2017
- Tadi Tidur di Mana? - 18 August 2017
- Puisi-Puisi Jamil Massa; Kepergian Seorang Penari - 21 March 2017