SUATU MALAM DI SEBUAH HOTEL
—hujan januari
mengantarkan kami ke sini
pada lekuk bibir perempuan rusia
masih mengalun nada nada pesta
bau wiski, gelayut sepi
dan kami terus terjaga
bulan karam di atas meja makan
sebuah hotel
malam bikin kota jadi sedih
lampu sepanjang jalan
menyeret musik ke dalam mimpi
antara kami dan pelancong tua
saling bertatap mata
ini darah kami ini tanah kami!
sepatu yang berat padamkan
nyala rokok di atas lantai
“apakah kau kenal hegel, al ghazali
atau cheng ho?”
seorang pemabuk berceloteh
sedangkan sunyi telah merayap
ke dinding kamar
dan dingin menyapu segala
ingatan tentang masa silam
di luar, jalan membentang
dari hotel ke pantai
esok siapa yang akan tiba lebih awal
kapal kapal atau matahari?
kubiarkan kota ini bergegas
dengan ransel berisi sejuta kenangan
menyeberang ke pulau pulau tak berpagar
“mari kutuntun ke kamar nomer dua lima
sebelum kau pulang dan sejarah
menghapus kisah ciuman kita”
dinding bercat tebal, lukisan marmer,
jendela tak berkaca,
kami saksikan lagi peperangan itu
diponegoro tuanku
dengan sebilah keris kau menyerah
menyeret ombak ke pembaringan
menyeret gunung ke pesakitan
kita mesti menyusun lagi taktik peperangan
di atas laut
di atas perahu layar nelayan madura
di ujung sirip ikan yang menuju muara
di sepanjang ranjang tak berbesi
pagi tak kunjung tiba
di luar musik semakin pelan
malam menampakkan istananya
dan pemabuk itu masih terdiam
samar samar di bawah lampu
semakin nyata wajahnya
seperti bayangan kita
lalu kami pergi seketika
dari kamar hotel ke pembaringan
pada tanah dan kesia siaan ini
yang tak lagi dikenal
PRELUDE BAGI MUSIK ROCK DI SEBUAH
KAFE
-bagiMu
di udara terbuka, kafe malam hari
musik membosankan
dan segelas kopi
kata kata membeku dalam buku
puisi bersampul biru
bibirmu, bibir kita mengapa bisu?
tiga tahun seperti misi suci
dalam sepi
dunia gelap dan menakutkan
fotomu dengan senyum penuh
menepisnya, tersimpan di bawah
bantal dalam kamar tempat puisi puisi
tercipta. tempat cemas aku olah
menjadi daya
di kafe terbuka.
pelayan kafe tiba. lelaki metro-klimis
memesannya: dua botol bir, sepiring potato
impor.
dengan sinis dan sedikit rasis
seperti kisah bangsa hitam vs kulit putih
amerika.
“hei miss, rambutmu sebagus bulu jagung!”
diam diam kau iba. aku tahu kau
cukup cantik dan tak cukup cerdik
menyembunyikan kesedihan. matamu yang
membuatku jatuh cinta tiga tahun silam
bening-terkaca.
ini kehidupan terbuka!
keindahan hari ini selalu sejalan dengan
global kekuasaan; eropa dan amerika.
eksotisme hanya sesuatu yang tak kau
jangkau dengan kakimu yang aduhai
come on baby light my fire!
ijinkan aku merokok sebentar sayang
‘kan kubikin sarang bagi bintang bintang
dengan asap para petani pedalaman
anak anak miskin yang tak sempat
mencecap buku dan kopi mahal sebuah kafe
—kopi yang dipetik tangan tangan lentik
ibu ibu yang tak paham politik dan debat
seputar kebudayaan
di kafe yang terbakar musik
bakar juga aku, bakar dengan tatapmu
yang ganas sekaligus sunyi
berilah aku harapan pada hidup ini
begitu rapuh
dengan sejuk alunan harpa yang kau
suarakan dari kedalaman jiwa
minggu kita cukup dingin
bagi kota yang kehilangan selera
kemanusiaan
jaring raksasa sengaja dicipta agar
manusia terperangkap di dalamnya
di panggung kecil pojok kafe, seorang
musisi tanggung memamerkan aksinya
mungkin juga kau bosan
lirik lirik picisan tentang cinta
dan kegundahan
tak seindah puisi penyair pujaanmu
yang berkisah tentang metropolitan, flat,
new york, apartemen dan barang barang
kantor dan alat alat kosmetik itu
pulang? bisikmu
amor platonicus!
amor platonicus!
ha.. ha.. ha.. lelaki dan perempuan
yang tak berani tidur seranjang.
dengan sedikit mengedipkan
mata dan senyum indah yang selalu
kubanggakan itu
aku paham, sayang
kau akan pulang pada kekasihmu
dan aku pulang pada kesunyiaanku.
“hanya di alam kematian tak ada
cinta segitiga!”
jam sebelas, dewa dewa mabuk
baru turun dari langit
mengajak berpesta
musik rock akan segera menggema
tapi kita harus pergi, kita mesti pulang
mari senyapkan sejenak
gemuruh yang selalu lahir dalam sua
agar hari hari berjalan wajar
agar hari hari semakin khusuk
mencintaiMu!
FRAGMEN MEDITASI
1/
menyendiri di tepi kali yang sepi
senja perlahan berdiri
di sekeliling – bukit bukit.
air di kedalaman tampak tenang
dalam hati terbersit pertanyaan:
mengapa aku di sini?
betapa, aku hanya ingin menjadi
pohon di seberang kali itu
diam dan kokoh dalam samadi
tak bergejolak kecuali
angin dan waktu menumbangkan
dengan cintanya
2/
sembahyangku, ibu!
selalu gemuruh angin laut
memberontaki sunyi
sembahyangku, ibu!
selalu kabut pagi
terombang ambing tak pasti
sembahyangku, aku ingin
hening – sepasrah pepohonan itu
menyerahkan langkah
pada gembur tanah
atau cadas batu batu perigi
3/
celaka, katamu
langkah yang tak menyentuh
tanah, sedangkan pepohonan
semakin ke atas juga ke bawah
menghisap saripati bumi, menampah
remah remah langit
o aku ingin jadi pohon
hidup sesuai kehendak alam
4/
aku tengadah dan sulit berserah
tujuh matahari yang mengitari
kepalaku, memaksa mataku
terpejam. sujudku
mengapa tak sesempurna sujud
batu batu?
- Puisi Kim Al Ghozali AM - 26 March 2024
- Puisi-Puisi Kim Al Ghozali AM; Yang Tertinggal - 6 November 2018
- Sajak-Sajak Kim Al Ghozali AM; Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto - 17 October 2017