CINTA RANDU ALAS
Cintaku padamu meniru akar randu alas
Melesak dalam sela batu bumi, mengikat
erat beribu hikayat. Di ranah Sebayu, kurawat
sumur dan tanah gembur
Kuingin anak cucu berkumur kenangan, mineral
yang membangun jiwa mereka subur
Cintaku padamu serupa pucuk ranting randu alas
Mencium ubun-ubun langit, memandang cakrawala
berbatas pantai dan bukit. Laut utara menanggung
lara, lereng Gunung Slamet menuang kasih sayang,
mengalir siang dan malam lewat Kali Gung
Jauh sudah bunyi letusan bedil, berganti
berondong mercon setiap awal Lebaran
Cintaku padamu ibarat batang raksasa randu alas
Tahun demi tahun menghimpun sari perasan
sejarah. Getah yang melahirkan para perantau,
kaum tahan banting, lengan-lengan yang bekerja
Laju permukiman, industri rumahan, tajuk
ranum kesenian: seriang arakan kapuk
dalam tarian angin
Balikpapan-Samarinda, 21 Juni 2014
NANGAPANDA SENJA
Kaukirim dari mana bebatuan warna-warni ini?
Tak kulihat pucuk gunung, mustahil juga dari palung
Menjelang petang, begitu rileks ombak bergulung
Dengan bunyi “kralak-kralak” seperti musik tenung
Berulang kali memandikan pasir dan hati yang suwung
Untuk siapa koral dengan aneka rona bertebar di sini?
Tak kunjung henti, bertambah jumlah setiap waktu
Tak kunjung mengerti, apa makna hijau, kuning, cokelat, dan ungu
Apakah ini upeti balas budi atau sesaji bagi sang penunggu?
Orang-orang tak menampik rezeki, dari batu berwindu-windu
Sejak kapan batu-batu cantik kauserakkan ke pantai ini?
Irama mistis hari-hari yang berganti dari sunyi ke sunyi
Desa yang tidur tenteram dalam dekap gelap dan selimut mimpi
Oksigen yang cukup selalu membuat segar saat bangun pagi
Kepada para penambang batu, tak seorang pun merasa iri
Ayat-ayat itu, berupa batu-batu, belum saatnya jadi buku
Ende Flores, 12 Maret 2015
MENJELANG PAGI
Pada sisa sepertiga malam kudengar jemari hujan
Mengetuk atap dan jendela tempat menginap di Parapat
Bermain irama dengan jantungku, di sela dingin dan ngilu
Angin tegak di ambang pintu, mengucap sapa tanpa suara
Lalu hujan meniru bunyi derap kaki-kaki kuda, melaju ke utara
Memercikkan cahaya ke atas teras, menghapus semua tilas
Gerbang hatiku terbuka kembali untuk cinta yang sederhana
Selamat datang keindahan, menyapu kesunyian pagi yang jauh
Langit masih gelap dan kuduga matahari akan terlambat
Kulepas doa: ujaran permintaan yang puitis dan sopan
Agar setiap kecemasan tak pernah jadi kenyataan
Sebelum seluruh janji kutepati dan rindu kutunaikan
Parapat, 10 Mei 2014
TENTANG AKU
Aku, si bajul kelas rendah, hendak mengunjungi para sepupu, komodo
yang keren di Pulau Rinca. Ini musim kawin mereka, menjelang September
yang telengas, ketika api gemar menjilat dan mengunyah batang-batang
kayu kering di perbukitan. Laut amat biru serupa beludru kusut, memisahkan
nusa demi nusa.
Aku, si petualang tanggung, tak punya nyali menyelam ke dasar laut
dangkal. Panorama ciamik menggoda dengan terumbu karang dan
satwa samudra yang koleksi warna mereka tak tertera pada nuansa bianglala.
Di balkon kapal berangin-angin menghirup udara yang mempertemukan
kabar musim semi di Aussy dan hawa kemarau Labuanbajo
Aku, si penyair musafir, menulis terus tanpa berpikir. Tak mahir membuat
syair satir, namun mencintai Nusantara dengan seluruh kekayaannya.
Kususun kebahagiaan dari peristiwa-peristiwa kecil, mengabadikan
setiap kisah yang nyaris punah, dan memperkaya ingatan dengan torehan
agar pikun tak mempan
Perairan Labuanbajo-Pulau Rinca, 30 Agustus 2013
DEWI HUJAN
untuk Eliana Donna
Jauh aku berjalan, untuk menjumpaimu, Dewi Hujan
Telah kukalahkan seluruh ingatan, jarak tak bertuan, demi
memandangmu: air murni yang membentuk paras rupawan
Tak sanggup aku menolak pelukanmu, Dewi Hujan
Tiada lagi batas antara tubuhmu dan tubuhku
Mencair sebenar-benar air, mengalir ke taman perawan
Alangkah indah pertemuan di antara gemawan, Dewi Hujan
Aku takut kehilangan, menjagamu dengan kedua tangan
Menyimpanmu dalam kenangan: akuarium kutub selatan
Jakarta-Purwokerto, 2014
- Puisi-Puisi Kurnia Effendi; Gerimis - 29 August 2017
- Puisi-Puisi Kurnia Effendi (Jakarta); Cinta Randu Alas - 10 May 2016