Puisi-Puisi M. Faizi (Sumenep)

kuburan

Suatu Malam Melintasi Kuburan

 

Saat lewat di sebuah kuburan ranggas

tertegun aku melintas

melihat banyak guguran daun dan gelagah

sedikit pertanda tiada jejak ziarah

 

Tanpa senter, ujung kaki menerka jalan

bagai menimbang ruh dengan akal

tak ada setitik pun cahaya

bagaimana kuragukan gelap di dalam?

Takutku bukan pada danyang

tapi sepi abadi yang membayang

 

Kuburan ranggas, kulintasi, kutinggalkan

Dikepung zulmat, ia kembali sendiri

 

Suatu hari, akan datang sanak seberinda

membabat semak, menabur bunga, duduk berdoa

setelah berfoto dan pulang,

kuburan kembali sepi, ranggas kembali

diam dalam lupa, sepi dalam daim

di dalam sana, ada cemas berupa andai

sepi tanpa bersanding amal

tanpa nama disebut doa

tanpa jasa disebut kenang

 

Malam sepi, gelap juga

saat lewat di sebuah kuburan ranggas

aku berjalan tergesa-gesa lalu menoleh ke belakang:

menjauh secara jarak, mendekat secara waktu

 

17/05/2015


Menara Kudus

—Maulana Ja’far Shadiq

 

Server, kirimi aku banyak data

bahkan, hingga tubuh seperti limbung, overquota

 

Bagai tiang mercusuar menjulang

engkau bumbung aku melerum

di bawahmu aku mendanguk

tangkup menadah, menjolok cahaya

menyusuri leluri leluhur dengan doa

 

Maka, puisi-puisi pun bercucuran dari menara

membasahi beranda retina mata

memohon ampun atau meminta

dua hal yang di tempat ini tak kelihatan beda

 

Menara Kudus, hai Server

aku berdiri di sampingmu

menakar kecepatan perpindahan datamu

di antara cluster pada banyak perempatan jalanku

lika-liku silsilah yang harus kutempuh jauh, ke masa lalu

untuk membeli kesederhanaan sebagai pilihan

dengan harga yang sulit kubayar di masa sekarang

 

24/05/2011

 

Di Makam Johann Sebastian Bach

 

Tiga langkah masuk ke makammu

tiga nada pertama Toccata und Fugue

aku menghitung ketukan jantungku

 

Kupasang indera menangkap perirana

pada ubin dan langit-langit gereja

tiba-tiba, kesedihan dan kesunyianmu

menjadi suara dalam bahasa

 

Di bangku kayu aku berselingar

mengamati hal-hal kecil yang kutakjub

serakan bunga di atas epitaf

namamu: partitur yang berdenyut

“Bagaimana cara mempercayai doa

atau meyakini harum wangi bunga dan dupa

sampai ke haribaan di alam baka?”

 

Tiga langkah keluar dari makammu

tiga nada berulang Brandenburg Concerto

tertahan sebentar, aku menoleh ke dalam

 

Aku lalu pergi dengan tanya tertinggal

engkau memilih nada, aku memilih kata

engkau menulis simfoni, aku menulis puisi

ke alamat mana wangi bunga dan dupa terkirim?

seperti nada dan kata,

ia melakukan perjalanannya sendiri-sendiri

 

26/06/2011

 

Foramadiahi

—Sultan Baabullah

 

Aku tiba di tempat engkau berbaring

napas terengah, langkah tertatih

inilah puncak tertinggi di timur

bagi pasakmu yang menghunjam di barat

 

Menghirup angin hutan cengkeh

kutelan ludah, memangkas jarak

antara pahitnya pengkhianatan

dan manisnya kemenangan

 

Hari ini, aku telah tiba di sisimu, Sultan

menjejak dengan kaki telanjang

di atas tanah makammu

karena aku tahu

engkau, di dalam kesunyian Foramadiahi

tak pernah mati

 

Hidup lalu menggamit tanganku, pergi

meluncur ke arah entah

membawaku ke tempat yang lain

memberi nama, lalu berpindah-pindah

 

29/10/2011

 

Di Maqbarah Tebuireng

 

Aku mencium karamah di sini

wewangian yang tersedak

manakala aku terlalu dalam menarik napas

tapi terlalu menyengat

kalau kubiar saja melintas

 

Di maqbarah ini,

betapa tubuh jadi kaku

melihat senarai nama

ulama-ulama yang berjuang membela negara

ataupun yang gugur melawan kebodohan

 

Santri yang membaca dan menghafal al-Qur’an

para tamu, dan juga mereka yang hadir

di luar batas mata-penglihatan

berkumpul di sini, di maqbarah ini

 

Aku bergidik:

adalah ilmu sebagai tanju

merawat si empunya dari gelap waktu

aku menakik:

adalah istiqamah ‘ainul karomah

kemuliaanlah bagi seisi maqbarah

 

Tiba-tiba, serasa seseorang menepuk bahu

saat aku meninggalkan tempat itu

seolah melarangku pergi

“Hendak ke mana?”

aku tak menjawab dan terus melangkah

ke luar areal maqbarah

menjejak, tertunduk memandang ke bawah

 

“Alangkah bahagia engkau, Tanah

dipilih alim-ulama jadi maqbarah…”

 

23/8/2008

 

Mertajasa

—Syaikhana Muhammad Cholil Bangkalan

 

Apakah engkau mendengar salamku?

atau mencium wangi dupaku?

 

Aku datang

menabur bunga

menabur doa

tanpa benar-benar tahu

apa sesungguhnya yang terjadi di sana

 

Dalam hukum ruang-waktu, kami di sisimu

tanpa benar-benar tahu

karena dekat dan jauh

menyatu, menjadi satu, dalam rahasiamu

 

7/11/2009

 

Sumber gambar: muslim.or.id

M. Faizi
Latest posts by M. Faizi (see all)

Comments

  1. M Faizi Reply

    Terima kasih sudah dimuat. Saya senang lantas

  2. Anonymous Reply

    Mantap keh..

  3. Irul Reply

    Sapi kerapan puisinya gak di upload

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!