Suatu Malam Melintasi Kuburan
Saat lewat di sebuah kuburan ranggas
tertegun aku melintas
melihat banyak guguran daun dan gelagah
sedikit pertanda tiada jejak ziarah
Tanpa senter, ujung kaki menerka jalan
bagai menimbang ruh dengan akal
tak ada setitik pun cahaya
bagaimana kuragukan gelap di dalam?
Takutku bukan pada danyang
tapi sepi abadi yang membayang
Kuburan ranggas, kulintasi, kutinggalkan
Dikepung zulmat, ia kembali sendiri
Suatu hari, akan datang sanak seberinda
membabat semak, menabur bunga, duduk berdoa
setelah berfoto dan pulang,
kuburan kembali sepi, ranggas kembali
diam dalam lupa, sepi dalam daim
di dalam sana, ada cemas berupa andai
sepi tanpa bersanding amal
tanpa nama disebut doa
tanpa jasa disebut kenang
Malam sepi, gelap juga
saat lewat di sebuah kuburan ranggas
aku berjalan tergesa-gesa lalu menoleh ke belakang:
menjauh secara jarak, mendekat secara waktu
17/05/2015
Menara Kudus
—Maulana Ja’far Shadiq
Server, kirimi aku banyak data
bahkan, hingga tubuh seperti limbung, overquota
Bagai tiang mercusuar menjulang
engkau bumbung aku melerum
di bawahmu aku mendanguk
tangkup menadah, menjolok cahaya
menyusuri leluri leluhur dengan doa
Maka, puisi-puisi pun bercucuran dari menara
membasahi beranda retina mata
memohon ampun atau meminta
dua hal yang di tempat ini tak kelihatan beda
Menara Kudus, hai Server
aku berdiri di sampingmu
menakar kecepatan perpindahan datamu
di antara cluster pada banyak perempatan jalanku
lika-liku silsilah yang harus kutempuh jauh, ke masa lalu
untuk membeli kesederhanaan sebagai pilihan
dengan harga yang sulit kubayar di masa sekarang
24/05/2011
Di Makam Johann Sebastian Bach
Tiga langkah masuk ke makammu
tiga nada pertama Toccata und Fugue
aku menghitung ketukan jantungku
Kupasang indera menangkap perirana
pada ubin dan langit-langit gereja
tiba-tiba, kesedihan dan kesunyianmu
menjadi suara dalam bahasa
Di bangku kayu aku berselingar
mengamati hal-hal kecil yang kutakjub
serakan bunga di atas epitaf
namamu: partitur yang berdenyut
“Bagaimana cara mempercayai doa
atau meyakini harum wangi bunga dan dupa
sampai ke haribaan di alam baka?”
Tiga langkah keluar dari makammu
tiga nada berulang Brandenburg Concerto
tertahan sebentar, aku menoleh ke dalam
Aku lalu pergi dengan tanya tertinggal
engkau memilih nada, aku memilih kata
engkau menulis simfoni, aku menulis puisi
ke alamat mana wangi bunga dan dupa terkirim?
seperti nada dan kata,
ia melakukan perjalanannya sendiri-sendiri
26/06/2011
Foramadiahi
—Sultan Baabullah
Aku tiba di tempat engkau berbaring
napas terengah, langkah tertatih
inilah puncak tertinggi di timur
bagi pasakmu yang menghunjam di barat
Menghirup angin hutan cengkeh
kutelan ludah, memangkas jarak
antara pahitnya pengkhianatan
dan manisnya kemenangan
Hari ini, aku telah tiba di sisimu, Sultan
menjejak dengan kaki telanjang
di atas tanah makammu
karena aku tahu
engkau, di dalam kesunyian Foramadiahi
tak pernah mati
Hidup lalu menggamit tanganku, pergi
meluncur ke arah entah
membawaku ke tempat yang lain
memberi nama, lalu berpindah-pindah
29/10/2011
Di Maqbarah Tebuireng
Aku mencium karamah di sini
wewangian yang tersedak
manakala aku terlalu dalam menarik napas
tapi terlalu menyengat
kalau kubiar saja melintas
Di maqbarah ini,
betapa tubuh jadi kaku
melihat senarai nama
ulama-ulama yang berjuang membela negara
ataupun yang gugur melawan kebodohan
Santri yang membaca dan menghafal al-Qur’an
para tamu, dan juga mereka yang hadir
di luar batas mata-penglihatan
berkumpul di sini, di maqbarah ini
Aku bergidik:
adalah ilmu sebagai tanju
merawat si empunya dari gelap waktu
aku menakik:
adalah istiqamah ‘ainul karomah
kemuliaanlah bagi seisi maqbarah
Tiba-tiba, serasa seseorang menepuk bahu
saat aku meninggalkan tempat itu
seolah melarangku pergi
“Hendak ke mana?”
aku tak menjawab dan terus melangkah
ke luar areal maqbarah
menjejak, tertunduk memandang ke bawah
“Alangkah bahagia engkau, Tanah
dipilih alim-ulama jadi maqbarah…”
23/8/2008
Mertajasa
—Syaikhana Muhammad Cholil Bangkalan
Apakah engkau mendengar salamku?
atau mencium wangi dupaku?
Aku datang
menabur bunga
menabur doa
tanpa benar-benar tahu
apa sesungguhnya yang terjadi di sana
Dalam hukum ruang-waktu, kami di sisimu
tanpa benar-benar tahu
karena dekat dan jauh
menyatu, menjadi satu, dalam rahasiamu
7/11/2009
Sumber gambar: muslim.or.id
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019
M Faizi
Terima kasih sudah dimuat. Saya senang lantas
Anonymous
Mantap keh..
Irul
Sapi kerapan puisinya gak di upload