Puisi-Puisi M. Helmy Prasetya

 

Dhin Ajuh

Kaulah segala umpama itu

Dan benar, engkaulah perempuan

dengan segala umpama itu

 

Tubuhmu karya, telingamu pandu

Alismu sungai ratu ibu

 

Bahasa-bahasa yang kau laksa

betapa sungguh-sungguh

mencipta tatap mata

 

Sungguh benar,

engkaulah perempuan dengan

segala umpama itu

 

Buku-buku yang kau ajak bicara

takkan sanggup menganggu

degup ilmu di jantungmu

 

Jendela di dekatmu pasti mati rasa

Sementara angin kian abstrak

 

Jam malammu ngantre menjaga

Juga tempat tidurmu, ia pasti susah

terpejam, karena tersihir bau tubuhmu

 

Kalau kau ke pantai, laut melihatmu

akan berbelok seketika

Karena hendak mencapaimu,

menjadi laluan kapalmu

 

Kau pasti leluasa memeriksa

setiap bahagia di seluruhnya itu

 

Dan benar, memang benar

Engkaulah perempuan dengan

segala umpama itu

 

Bangkalan, 2021

 

 

Ketika Sidingkapal

Rebah Bersimbah Darah

di Pangkuan Istrinya

 

Boleh aku rebah di pangkuanmu

sambil memandang langit malam,

malam yang dalam

 

Aku ingin tidur sebentar

bersama halal tanganmu yang tak gemetar,

sepenuh cintamu

 

Agar aku lupa pesta

Agar aku lupa luka

 

Aku ingin tidur di pangkuanmu

sebelum malam yang dalam

benar-benar berlangsung tidak sebentar

 

Agar bersih aku memikirkanmu

Sebelum benar-benar tak bisa lagi

memikirkanmu

 

Bangkalan, 2022

 

 

Pawisik Jari: Istri Cakraningrat IV

– Gusti Ayu Made Rai (Siti Khotijah)

 

Kepada kejujuranmu hamba ingin berbisik:

“Jari terbesar adalah pengakuanmu

kepada Maha Pemberi.”

 

Kepada sikapmu hamba ingin berbisik:

“Jari telunjuk adalah ketegasan

yang harus kau bawa saat zaman

dalam segala urusan telah saling

menghanguskan.”

 

Kepada jati dirimu hamba ingin berbisik:

“Jari tengah adalah saka

sebagai pihak yang memberitahumu

bahwa perasaan dan pengetahuan itu

jernih dan adil, meski ia seburuk-buruknya

kotor dan ketimpangan.”

 

Kepada pikiranmu hamba ingin berbisik:

“Jari manis adalah indahnya bukti

semesta milik kita, yang punya cinta

lebih baik dari pelukan antara

air dan ikan-ikan.”

 

Kepada pilihanmu hamba ingin berbisik:

“Jari kelingking adalah teguran penting

bahwa mufakat hati kecil menyimpan

kesetiaan dengan kebenaran-kebenaran

yang terpendam di dalam harapan.”

 

Bangkalan, 2020

 

 

Sandur: Sikap

yang Tak Mundur

 

“Ilham… Kalam…

sejarah Slabadan

Dan pijak tanah kami

tak mungkin tenggelam!”

 

Lukislah sandur itu,

pantang mundur

 

Sebab kejantanan

adalah abstraksi bagi taji

laki-laki yang tak butuh

salam mimpi

 

Ia berhadap-hadapan

—searah Alif:

(gerakan yang tinggi

adalah hadapi, hadapi,

ada Ilahi)

 

Seikat itu huruf Lam

—manakala nama-nama

tentang saudara dilabutkan,

maka gemakan mereka

hingga derak:

menuju Mim, dan alim

 

Lalu panggil mereka rentak

Dengan dendang salak;

sebuah realita yang tak mungkin
kalah dari gertak

 

Sebab pula mereka jalu

Karena sedarah,

karena sedirah dalam

mengumpulkan kejayaan

yang merah

 

Mereka penyembah iftitah

segala yang diganjarkan

para embah:

 

Ilmu sah, pengusir durkah,

hingga sikap bagaimana seharusnya

menjaga nafsah tak jadi trah penjarah

 

Bangkalan, 2020

M Helmy Prasetya
Latest posts by M Helmy Prasetya (see all)

Comments

  1. ST Atmosentono Reply

    Bahasanya renyah saat dikunyah. Ada legit yang menggigit, pahit yang melilit, kadang yang manis terasa mistis..
    Madura tak selamanya kering dari jiwa yang memuja indah dan derita.
    Maju terus ….. !!!

  2. Mr. Jay Reply

    Metamorfosis dari doa Penyair, Tuhan jangan beri aku cinta paling indah, beri aku sakit paling indah.

  3. Ibnu sya'nah Reply

    Salam ibnu sya’nah kepada komunitas basabasi dan penikmat sastra.
    Memang benar, bahwa untuk bisa menggerayangi kandungan puisi harus dibaca secara utuh dan dihayati secara betul.
    Saya pribadi baru paham dan sampai salting dengan 2 puisi paling awal. Sangat-sangat bucin. Gue gemeter!!!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!