
Silsilah Jejak
Mesti kautinggalkan dusun, jelajah hutan Halimun
dalam aroma kabut. Lain kali, tubuhmu tercium serdadu.
Para pengintai tak henti memburu. Tersebab engkau pawang
seribu lelaki yang mengakhiri kesetiaan ke seberang pulau.
Malam yang dingin dan hari yang kilau, tak mampu
bungkam suara lantang teriak merdeka. Hidup terhina
atau mati terhormat tanpa riwayat luka.
Reremputan liar biarkan tubuh dibuai angin.
Ia seperti malam dalam tatap mata. Jejakmu gelap
di kerimbunan pohon, dirahasiakan belukar.
Seperempat abad kaubabat belantara. Kaupancang
sebatang juang, setiap kelahiran punya hak atas tuah bumi.
Juga berkah langit yang menampung desis hujan.
Tanah Luas, 2019
Ke Lain Kota
Ke tanahmu para serdadu mengirim ladam kuda.
Mencacah tanaman hijau, merampas kebahagiaan
di ladang subur. Sungai-sungai dicemari mayat
saban pagi.
Ke lain kota kau harus pergi, mengisi gelas kosong
dengan amunisi. Mengirim surat-surat berisi
pertahanan dan penyerangan pada malam buta,
bila tiba-tiba mereka datang mengokang senjata.
Di kota itu kauhanguskan kenangan. Membalut luka
dengan warisan mimpi kepada para lelaki yang bersembunyi
dalam tubuh gua, sesekali mereka menyesakkan diri ke kota.
Ke lain kota kautebar rahasia tanahmu dalam
cengkeram serdadu yang tiap malam menembakkan
ketakutan. Malam-malam adalah hantu yang mengejar
mimpi sampai ke dalam selimut. Ketika pagi,
para lelaki menghitung jemari, berapa lubang harus digali.
Tanah Luas, 2019
Surat Kematian
Berhari-hari, setelah membaca surat itu
kau mulai berpikir; apakah ini akhir atau awal
sebuah perjalanan. Perjalanan ke pulau yang lama
kautinggalkan, sebelum kotamu ditembakkan peluru.
Kaudengar para sahabat dan kerabat jauh
menyusun rencana. Rencana kepulangan yang tiba-tiba,
setelah sepertiga abad kaurambah belukar kota yang riuh.
Demi kebebasan bicara dan berpikir. Menyingkir segala praduga.
“Kau adalah seorang putra yang patut diberi amnesti.
Mereka takkan menangkap dan menghukum mati.
Percayalah kepada kami sebagai sahabat yang bertaruh nyawa
dari belantara sampai ke kota.”
Sehari setelah menjadi warga negara, kau tatap terakhir
langit kamarmu. Tangisan-tangisan, atau semacam kesedihan,
mengantarmu ke persinggahan. Kematianmu adalah jalan
yang memberi luang kebebasan cita-cita.
Tanah Luas, 2019
Bayang Pemburu
Kau takkan mampu menangkap ketakutanku.
Maut masih bersemayam dalam selimut takdir.
Kini bayangku menyelinap ke dalam kantung nasib
mereka yang kuburu. Satu per satu akan tumbang
dalam pandang mata. Kutebas seluruh kenangan
dan luka yang kaucakapkan.
Bila tubuhku masih terbalut malam, maka bayangku
yang mengejarmu. Tak ada perisai dan ruang persembunyian
yang menghadangku. Tak ada persimpangan dan jalan
berliku, di mana tubuhmu menghindar kejaranku.
Percayalah! Semua mata adalah bayangku,
akan menyeret tubuhmu ke lubang bantai.
Bayangku punya taring dan cakar mencabik tubuh.
Punya racun ular mematikan.
Dari jarak paling jauh kukirimkan sebutir peluru
menembus jantung. Meski aku bayang, punya cara
bidik tepat sasaran. Aku tak pernah meleset
melesatkan kematian dari busur panah.
Tanah Luas, 2019
- Puisi-Puisi Mahdi Idris; Silsilah Jejak - 27 August 2019
Soni setyo atmojo
Caranya upload puisi kayak gitu gimana ya?