BIBIRMU LAUT
aku ingin menciummu
tiga kali sehari
biar dahagaku sirna
tapi bibirmu laut…
KEHILANGAN
batu karang, perahu layar
dan jeritan angin teluk brumbun
bersandar di senyum matahari
sedang air laut merintih di senyap perbincangan kita
seperti irama sajak
tubuh mulusmu meliuk lalu hilang
di himpitan hutan bakau
kemanakah gerangan langkahmu?
selalu hilang saat kukejar
sedang desah napasmu masih melingkar di leherku
berkisah tentang rambut wangi, dusun sunyi
dan lelaki bermata biru
sebaris sunset menampung detak jantungku
ketika kau kuantar ke tepi sore hingga malam tiba
tak kutemukan lagi air matamu
juga hatimu
bali, 16 nopember 2009
SAJAK MENGENANG SAJAK
-wan anwar-
jiwaku nyaris penat memikirkan sejarah
demikian kau mengawali perbincangan sunyi, dan kita tetap lahap menyantap nasi sumsum di tepi jalan
selahap ceritamu tentang hidup dan mati
angin kota Serang melewati kita, menyelinap di antara hangat matamu
sesekali meremas sudut mataku juga, yang perih oleh dongeng lukamu
mari kuantar kau ke terminal
tuturmu sebelum aku pamit meninggalkan kata-katamu yang berserakan di sana
sepanjang jalan kau masih meneruskan kisah Banten yang pernah terjajah
aku terus khusuk memungut kepingan sejarah yang kau lapalkan tanpa partitur
seperti sedang berkisah tentang luka yang kau sembunyikan wan
dan kini kau telah bersujud di tanah merah menjumpai Tuhan yang kau rindukan
mungkin kau sedang berjalan lurus ke utara, seperti sajakmu yang melintasi rimbun asam dan masa silam
kau akan tahu darat dan laut seperti bibir sepasang kekasih saling memagut, seperti maut yang tiap waktu terus beringsut
wan,
damailah disana!
nopember 2009
RUTINITAS BERABAD–ABAD
dari cijerah melaju ke pajajaran
angin menatapku curiga
lepas wastukencana menuju dago
pikiran mulai kelimpungan;
dinding-dinding kota ini telah menjadi vendor impian
dari politisi busuk hingga kaum miskin kota
aku merasakan jeritan menyayat
dari lukisan sunyi sepanjang pasopati
langit tertusuk dusta
dan wewengkon sunda nyaris sirna
sepanjang braga dan merdeka orang-orang saling menatap curiga:
dari kopo sampai dewi sartika orang-orang
merapihkan topeng;
aku menemukan lagi luka lainnya
di setiap keringat pengemis kecil
di jalan diponegoro, supratman, antapani,
kosambi, asia afrika
air mata berdesakan dengan harapan
andir, jamika, caringin, pasirkoja, astana anyar
lingkar selatan
para sopir bis kota, taksi dan angkot melipat senyuman dalam bagasi
aku kembali ditampar lamunan rutinitas yang
semu!
TONGGERET
tonggeret masih nyaring terdengar
di senja belukar kota. tiba-tiba hujan
merebut makna dan geliknya ditikam
angin, musim makin tak menentu di
kotaku. matahari menggigil, kusam.
kalian di mana?
aku kesepian menatap friedrich wilhelm nietzsche
memikirkan bayangan masa depan dan
300 buku puisi yang juga menggigil, kusam.
tiga gelas kopi dan 7 batang rokok
tak mampu merapihkan napasku.
tonggeret berhenti bersuara, tinggal genangan air dan daun mahoni berserakan
cepatlah kalian datang. sebelum malam tua.
bersemedilah di sini, di paraduan doa
yang jarang kita lapalkan, setelah atau sebelum hujan
suatu hari nanti, kita adalah suara tonggeret
yang akan kerap terdengar
saat datang atau pergi
- Puisi-Puisi Matdon; Bibirmu Laut - 18 October 2016