DARI DIDONG HINGGA SALUANG
di sepanjang jalan, kau membentangkan hijau hutan,
suara azan dari surau yang menyusul syair puji-pujian dari
diniyyah putri, cahaya bermekaran di kegelapan
menyala dari rumah-rumah gadang, di setiap tikungan,
ditingkahi bansi, saluang, gendang tabuik, hingga serunai
kita memanjatkan doa, katamu, kepada Tuhan Yang Satu
aku berdiri di belakang rumahmu, sambil membayangkan:
puisi seperti kembang api yang meledak di kabut gunung
menggantikan kokok ayam di kampung-kampung
pagi itu, aku menghadap ke Gunung Tandikek:
melihat seorang petarung mendaki dengan kaki telanjang
“aku adalah pijar-pijar lava di gunung api,” katanya.
setiap sore, kau membentangkan almanak dan menandai
satu per satu angkanya
ini adalah jalan kesunyian, katamu, hanya kekal di kegelapan
kita sempat bercakap sambil bermain bola di pagi buta
tentang pohon-pohon kopi yang tumbuh di rambutmu
mengekalkan syair didong, pmtoh, hingga seudati
terkadang di ujung malam, kau berdendang mirip seorang
pertapa yang merintihkan pepongoten di bebesan
tapi kadang mirip syeh seudati dari kampung usi
seperti laron, beranda selalu penuh coretan,
koran-koran tua, juga huruf-huruf yang bergerombol,
bermain petak-umpet dan menggigil di jendela
“kami adalah jalan berliku di Lubuak Aluang hingga
Lembah Anai dan Gua Batu Batirai,” katamu.
“Kau adalah perantau yang sekuat bakau.”
di kampung jambak, aku selalu melihat didong dan seudati
dimainkan dalam iringan bansi dan saluang,
dan kau menjadi teungku yang dipanggil engku!
Depok, Maret 2018
PENYAIR TANGGUNG
aku penyair tanggung datang dari kampung
yang koyak-moyak oleh batu-batu gunung
aku berkacak pinggang di tubir jalan
menantang angin malam
menyeberang pulau dengan riang
kampungku adalah hamparan yang landai
dikelilingi bukit-bukit dan ombak pantai
persis sebuah lukisan yang aduhai:
perempuan telanjang dengan gincu di tangan
memoles bibir hingga terbakar
di seberangnya kau menjadi arang
kampungku dibikin dari bilahan rencong,
daun ganja, ganas ombak dan bau mesiu,
dari tangis anak-anak kehilangan bapak
kau boleh saja menyebutnya dongeng
sambil mengarang cerita-cerita palsu
tentang orang jompo dan preman pasar:
seperti dirimu yang berdiri di trotoar
dan membayangkan sedang di atas gunung
membangun kerajaan kaktus
puisi dibangun dari air liur perempuan liar
yang gemar mengaveling malam
— ini malamku, itu malammu —
kau pasti tahu: bukan dari biji-biji emas, butir berlian,
apalagi kilau bintang
yang bisa membentangkan jalan menuju surga
lebih baik kau tak berjaga menunggu senja
agar encok tak membuatmu mengigau
tentang diksi-diksi lampau
puisi bukan jalan pedang
penyair bukanlah pahlawan
tak perlu bunuh diri walau ia buruk rupa
aku penyair tanggung datang dari gunung
dari mata rencong tanpa sarung.
Jakarta, 30 September 2017
KITA ADALAH POHON
kita adalah sebatang pohon
tumbuh di atas tanah pecah
dengan ranting-ranting patah
setiap pagi kita berselancar
di dalam gelas kopi
sambil menahan laju matahari
“aku adalah daun-daun randu
yang terjebak dalam mimpimu,”
katamu.
kau merimbun di jembatan,
aku tersuruk-suruk di trotoar
merambat ke batas dahan
“aku bukan layang-layang
yang terbang tanpa benang,”
kataku.
setiap sore kita menarik daun-daun
ranting kuncup seperti payung
lesap dalam kegelapan
kita adalah sebatang pohon
dengan daun-daun mengering
selalu tegak ketika pagi datang
Jakarta 22 Februari 2018
DARI SEBIJI PADI
dari sebiji padi kita menjelma pagi, sepotong sajak dan
secangkir kopi – tumpah di tepi
“kau pasti lupa pada pulot, timphan dan seudati.”
aku selalu membenci mulutmu yang sebiru mataku
meruapkan aroma Seulawah dengan rumah tua di pucuknya
dan kau pernah berpose di sana sambil membayangkan:
ada ribuan nisan tak kau kenal
nun di gunung, di pelosok malam paling dalam,
bersitatap dengan mulut anakmu tak bisa diam.
kau adalah perempuan kampung, inong balee
ditinggal pergi lelaki baja
menanami ladang dengan biji-biji padi.
“kita telah menjadi sunyi, iklan dan televisi.”
dari sebiji padi kita menjelma api, sepotong mata dan
sepiring nasi – yang pecah di kaki.
“apa kau masih ingat
Depok, Maret 2018
- PUISI-PUISI MUSTAFA ISMAIL;DARI SEBIJI PADI - 10 April 2018