Puisi-Puisi Nermi Silaban; Cerita Kopi

pinimg.com

Di Hadapan Peniup Sarune[1]

Begitu tertarung angin bukit

ke getar air Danau Toba itu

kami telah jatuh pandang dahulu

sejurus napasmu yang sendu—

bergulung dengung sayap lebah.

 

Berlimpah di jantung kami

sekantung  madu-darah

dipikul ranting ratapan hidup

waktu menandangi belulang ompung

bertahun terkungkung di peti batu.

 

Tersisa tawar air mata

habis sedu-sedan disesap

nasib buruk—perintang jalan

yang siaga-suntuk mengutak-atik

arah lolong doa kami jadi serong

hingga sanak keluarga berkubang

kenang di tanah orang, seimbang

utang di buka-tutup lubang.

 

Tindak-tanduk jemarimu bimbang

meski pandai kau menyuguhi kami

raung sunyi tonggeret di hutan rimba

di depan duduk tikar pandan ini

kami nyata tahu sendiri di satu sisi

kematian adalah rintisan jalan

ke pusat hening diri dan di lain sisi

biarlah misteri tersibak di luar kami.

 

2016

 

 

Andung-Andung Sordam[2]

Sekalinya aku tiba, di sana

dua biji matamu penyap

dalam desir angin,

dalam renung cahaya,

menahan lidahmu gugup

oleh selarik frasa: bunga majemuk

atau batu pusara di tengah bukit

tatkala langit meludahkan sebongkah

meteor, alunan murung

anjing gunung direngkuh

napasmu, melintasi kanal,

gema bunyi sepatu menguap

ditangkap gendang telingamu.

Kau buka pintu

barangkali bayangan itu

nyata masih kau lihat

seperti sebatang kayu

dan pipih pisau bertemu

pada jasad patung Sigale-gale[3],

terikat mantra tujuh lilit,

tersedu-sedu sordam

bagai dua ekor lebah

masuk-menyembul

di lubang-lubang kusen jendela,

sementara kau menunggu,

percikan bulir-bulir embun

dari daun kemangi

pun berakhir kau resapi,

tinggal putih hati.

 

2015

 

 

Cerita Kopi

Aku pahit nasib di tangan peracik
dari hijau biji-biji angan

anak peladang putus sekolah,

hingga merah wabah campak

yang memeras upah panen.

 

Namun pekat derita ini

dalam ceruk kuali hanya luapan

aroma bagi hidungmu yang serupa

kanak-kanak tergeming saat menciumnya.
Di mejamu aku bukan kenangan
sekelam bayang, atau bisu sumur tua
di luar perkampungan yang menelan

seorang bocah tercebur, mengendap

berhari-hari sebagaimana aku ampas

yang hanyut di dasar gelasmu.
Tiuplah kepul air rebusan ini
ibarat napas anak yang meronta itu
sebab perasaanmu pada nasib buruk

sekadar lidah yang berkata-kata manis

dua sendok gula untuk pahit kopimu

untuk puisi-puisi masa lalumu.

 

2016

 

 

Amnesia Paku

Waktu tak pernah menjanjikan kau tumbuh
sebagaimana kecambah yang diasuh akar
selain pertapaan bertahun-tahun memikul
bingkai potret keluarga pada sekat dinding.
Kau pun tak diibaratkan sebagai anggrek
yang menumpang di inang pohonan
kecuali bagi lembaran pamflet sedot tinja,
jasa pijat, bahkan iklan rumah sewa/dijual
di tepi jalan yang kian hari makin marak.
Tetapi begitu lurus niatmu menambatkan
batang-batang kayu yang tegak dan melintang
untuk hamparan atap di bawah siang dan hujan
lewat pukulan-pukulan palu membikin kau lupa
menanggung bercak karat dari hari-hari buruk.

 

2016

 

 

Nokturnal

Tidaklah penting ini malam

saat jam tanganmu terus berdetak,

sebab seekor ayam sekalipun

tak akan berkotek walau kau

geser jarumnya ke angka empat

atau enam. Kecuali kau

tertidur di tepi jalan, lalu

bermimpi duduk di restoran,

menguji gerahammu, setidaknya

masih berfungsi mengunyah

potongan daging lunak, atau

belulang yang mungkin

membuat copot gigimu.

Tidak juga penting kau berkata:

Suatu hari pasti akan lebih baik!

Sementara kau amat terharu

menatap kecoak mampus terinjak,

bahkan ketika seorang pengemis

rapuh menyodorkan tangannya.

Konyol, bisa-bisanya kau

terkesan oleh seroja biru

mekar di kening sepi, sedang nasib

begini tegang di otot betismu

kau umpat dengan lidah yang berat.

Tidak, tidak ada juga pentingnya

cinta dalam debat keras begini,

toh, ulat dalam sebutir mangga

bisa membikin seluruh daging buah

sia-sia dipetik. Namun, malam ini

sangatlah penting bagi kita mencari

jalan sejauh-jauhnya, untuk berlari

dari kenangan, dari segala kebencian.

 

2016

 

 

Jalan ke Mimpi

Sebab mimpi bisa terjebak bayang sendiri
maka kau ambil kiasan mawar di pekarangan
menelaah akarnya, menyingkap kelopaknya
dari warna kenangan memekarkan hasratmu.
Tak terima itu masa lalu, malah kau  teringat
pada sebuah ngarai di utara dusun rumahmu
kau ikuti kehendak jalan setapak ke bukit itu
lagak nekatmu lunak karena relung curamnya.
Tak merasa terancam ngeri, kau pulang ke jalan sepi;
menyusuri puisi yang samar dan mengulur waktu
seperti mencari suatu alamat tanpa selembar denah
berjam-jam kau akan kehabisan cara dan kata.
Tak tahan mencegah kantuk, matamu menyerah
mengabur ke dalam tidur, seusai percikan embun
berangsur resap, kau terhisap ke degup mimpi.

 
2016

 

[1] Sarune:  Alat musik tiup etnis Batak Toba dan masih satu jenis dengan serunai. Sarune dalam masyarakat Batak dibedakan menjadi sarune etek dan sarune bolon.

[2] Sordam: alat musik tiup etnis Batak Toba yang terbuat dari bambu. Alat musik ini dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara diagonal.

[3] Sigale-gale: Boneka kayu yang biasa digunakan masyarakat Batak Toba dalam upacara kematian. Boneka ini dipercaya memiliki kemampuan mistis dan berlatar legenda ratusan tahun.

Nermi Silaban
Latest posts by Nermi Silaban (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!