
Di Hadapan Peniup Sarune[1]
Begitu tertarung angin bukit
ke getar air Danau Toba itu
kami telah jatuh pandang dahulu
sejurus napasmu yang sendu—
bergulung dengung sayap lebah.
Berlimpah di jantung kami
sekantung madu-darah
dipikul ranting ratapan hidup
waktu menandangi belulang ompung
bertahun terkungkung di peti batu.
Tersisa tawar air mata
habis sedu-sedan disesap
nasib buruk—perintang jalan
yang siaga-suntuk mengutak-atik
arah lolong doa kami jadi serong
hingga sanak keluarga berkubang
kenang di tanah orang, seimbang
utang di buka-tutup lubang.
Tindak-tanduk jemarimu bimbang
meski pandai kau menyuguhi kami
raung sunyi tonggeret di hutan rimba
di depan duduk tikar pandan ini
kami nyata tahu sendiri di satu sisi
kematian adalah rintisan jalan
ke pusat hening diri dan di lain sisi
biarlah misteri tersibak di luar kami.
2016
Andung-Andung Sordam[2]
Sekalinya aku tiba, di sana
dua biji matamu penyap
dalam desir angin,
dalam renung cahaya,
menahan lidahmu gugup
oleh selarik frasa: bunga majemuk
atau batu pusara di tengah bukit
tatkala langit meludahkan sebongkah
meteor, alunan murung
anjing gunung direngkuh
napasmu, melintasi kanal,
gema bunyi sepatu menguap
ditangkap gendang telingamu.
Kau buka pintu
barangkali bayangan itu
nyata masih kau lihat
seperti sebatang kayu
dan pipih pisau bertemu
pada jasad patung Sigale-gale[3],
terikat mantra tujuh lilit,
tersedu-sedu sordam
bagai dua ekor lebah
masuk-menyembul
di lubang-lubang kusen jendela,
sementara kau menunggu,
percikan bulir-bulir embun
dari daun kemangi
pun berakhir kau resapi,
tinggal putih hati.
2015
Cerita Kopi
Aku pahit nasib di tangan peracik
dari hijau biji-biji angan
anak peladang putus sekolah,
hingga merah wabah campak
yang memeras upah panen.
Namun pekat derita ini
dalam ceruk kuali hanya luapan
aroma bagi hidungmu yang serupa
kanak-kanak tergeming saat menciumnya.
Di mejamu aku bukan kenangan
sekelam bayang, atau bisu sumur tua
di luar perkampungan yang menelan
seorang bocah tercebur, mengendap
berhari-hari sebagaimana aku ampas
yang hanyut di dasar gelasmu.
Tiuplah kepul air rebusan ini
ibarat napas anak yang meronta itu
sebab perasaanmu pada nasib buruk
sekadar lidah yang berkata-kata manis
dua sendok gula untuk pahit kopimu
untuk puisi-puisi masa lalumu.
2016
Amnesia Paku
Waktu tak pernah menjanjikan kau tumbuh
sebagaimana kecambah yang diasuh akar
selain pertapaan bertahun-tahun memikul
bingkai potret keluarga pada sekat dinding.
Kau pun tak diibaratkan sebagai anggrek
yang menumpang di inang pohonan
kecuali bagi lembaran pamflet sedot tinja,
jasa pijat, bahkan iklan rumah sewa/dijual
di tepi jalan yang kian hari makin marak.
Tetapi begitu lurus niatmu menambatkan
batang-batang kayu yang tegak dan melintang
untuk hamparan atap di bawah siang dan hujan
lewat pukulan-pukulan palu membikin kau lupa
menanggung bercak karat dari hari-hari buruk.
2016
Nokturnal
Tidaklah penting ini malam
saat jam tanganmu terus berdetak,
sebab seekor ayam sekalipun
tak akan berkotek walau kau
geser jarumnya ke angka empat
atau enam. Kecuali kau
tertidur di tepi jalan, lalu
bermimpi duduk di restoran,
menguji gerahammu, setidaknya
masih berfungsi mengunyah
potongan daging lunak, atau
belulang yang mungkin
membuat copot gigimu.
Tidak juga penting kau berkata:
Suatu hari pasti akan lebih baik!
Sementara kau amat terharu
menatap kecoak mampus terinjak,
bahkan ketika seorang pengemis
rapuh menyodorkan tangannya.
Konyol, bisa-bisanya kau
terkesan oleh seroja biru
mekar di kening sepi, sedang nasib
begini tegang di otot betismu
kau umpat dengan lidah yang berat.
Tidak, tidak ada juga pentingnya
cinta dalam debat keras begini,
toh, ulat dalam sebutir mangga
bisa membikin seluruh daging buah
sia-sia dipetik. Namun, malam ini
sangatlah penting bagi kita mencari
jalan sejauh-jauhnya, untuk berlari
dari kenangan, dari segala kebencian.
2016
Jalan ke Mimpi
Sebab mimpi bisa terjebak bayang sendiri
maka kau ambil kiasan mawar di pekarangan
menelaah akarnya, menyingkap kelopaknya
dari warna kenangan memekarkan hasratmu.
Tak terima itu masa lalu, malah kau teringat
pada sebuah ngarai di utara dusun rumahmu
kau ikuti kehendak jalan setapak ke bukit itu
lagak nekatmu lunak karena relung curamnya.
Tak merasa terancam ngeri, kau pulang ke jalan sepi;
menyusuri puisi yang samar dan mengulur waktu
seperti mencari suatu alamat tanpa selembar denah
berjam-jam kau akan kehabisan cara dan kata.
Tak tahan mencegah kantuk, matamu menyerah
mengabur ke dalam tidur, seusai percikan embun
berangsur resap, kau terhisap ke degup mimpi.
2016
[1] Sarune: Alat musik tiup etnis Batak Toba dan masih satu jenis dengan serunai. Sarune dalam masyarakat Batak dibedakan menjadi sarune etek dan sarune bolon.
[2] Sordam: alat musik tiup etnis Batak Toba yang terbuat dari bambu. Alat musik ini dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara diagonal.
[3] Sigale-gale: Boneka kayu yang biasa digunakan masyarakat Batak Toba dalam upacara kematian. Boneka ini dipercaya memiliki kemampuan mistis dan berlatar legenda ratusan tahun.
- Puisi-Puisi Nermi Silaban; Cerita Kopi - 18 April 2017