Kegelisahan
Dua mataku sipit dan jenaka, selalu terjaga pada pagi
Dua tanganku mengepal penuh cengkeram, selalu murung menunggu mati.
Lamunan Lapar
Kubayangkan engkau, di meja makan, menungguku pulang.
Sedang aku masih harus jauh berjalan, tertatih-tatih dan
meraba-raba di banyak tikungan: angin dan musim dingin
menghantamku ke tebing-tebing curam, gelap menghambur
ke arahku dari semua penjuru. Kulihat jauh di depanku,
rumah-rumah berjendela terang. Perapian terkembang.
Tapi jauh, jauh sekali.
Aku kini tiada bisa bermimpi, aku kini tiada berani lagi.
Sebab masih tercium sampai di sini abu dan ludah bacin:
kaldu kebencian yang melumuri kotaku. Sebab aku
si papa ini, yang bekerja berhari-hari, selalu melihat langkah
tegap serdadu kemiskinan menderap ke arahku.
Aku tiada bisa merekahkan musim bunga dan
menegakkan seribu istana.
Ingin kulihat matamu, mata yang menaburkan seribu
matahari. Namun juga mata yang bisa jadi teduh, menjemput
sunyi yang teramat jauh, sunyi yang bengal dan gemar
bertualang, agar pulang ke celah telinga: rumah bagi
semua suara.
Tapi masih kurasakan gigil petualangan ketika aku tunduk kepada
panggilan-panggilan untuk kembali ke depanmu, ke sebuah meja
makan, ke sebuah santap malam yang kausiapkan, sementara
aku masih di tebing curam ini. Padaku cuma ada bekal
ingatan, catatan yang belum genap kutuliskan tentang
tikungan-tikungan dan jarak panjang sampai jauh rambu
terakhir perhentian!
O, betapa aku ingin pulang, ibu!
Angin dan musim dingin lewat, mendarat, dengan bau daging
panggang yang kubayangkan kausiapkan di meja makan.
Weton
Beri aku 270 malam
untuk menatap kebusukan pagi ini
Tangisku yang pertama
apa hanya menjadi sebuah pertanda?
Seekor katak menyelip di bebatuan
halilintar memecah menjelang kelahiran
alap-alap layang di ranting dahan-dahan
Di sini begitu pepat
gelap ini begitu menyengat
aku begitu sekarat!
Tetapi akan kukenakan kain yang membikinku
lebih tampan lagi
gemerlapanlah gemintang dini hari.
Aku akan dikekalkan para Padri
sebagai lagu penuh pujian,
sebagai seribu orkestra sepanjang masa
sebagai silabel dalam setiap kata
dan menjadi nyanyian murung para pendosa
Telah kusingkapkan langit dengan kata-kataku,
kubikin kecut udara dengan mimpi-mimpiku,
bintang begitu pucat di kemegahan mataku,
dan usia menghambur di gunung dan lautan
Esok akan bisa kusaksikan
memar pada wujud asing ini;
sepucuk cinta yang tumbuh mengalir
simbol merah jambu di kemarau jiwaku.
Aku akan menjadi bagian hari ini
aku akan menjadi seribu cermin
dalam bayang-bayang negeri
yang mati terpancung, menunduk
terapung dan tidak menemukan keagungan lagi
Jiwa yang terkutuk ini, yang melompat keluar
dengan seribu taring dan cakar tajamnya,
akan mencabik dunia hingga ke liang nyawa
Tetapi begitu sunyi mati
meski berwangi mimpi
ajal menjemputku di kemudian hari
langit berkabung menyambut
yang cantik dan mekar
yang jernih berkilauan.
Tuhan, Tuhan, mengapa Engkau mengirimku ke mari?
Matsya
/1/
Telah kusaksikan kemegahan batu dari
zaman lama yang kini bertumpukan
di hadapanku.
Telah kusaksikan laut hitam
menyemburkan bayang-bayang
yang berkilauan
Satyabrata, ijinkan aku bangkit kali ini,
sebelum mata kail menembus
mulutku,
sebelum datang kiamat dan derita;
di laut tengah murung, di gunung terjal rimbun,
di goa-goa keramat dan rahasia
di mana semua kemarahan
terkurung dalam setiap doa
Engkau mendengar nujuman itu,
engkau mendengarnya sekali lagi
lalu dengan wajah berkerut
engkau mengambilku dan
menempatkan aku pada sebuah
mangkuk kecil. Di situlah aku
tumbuh dan membesar
seperti janji-janji mulia yang kautitahkan,
sebelum menjadi raja,
untuk melindungi rakyatmu yang setia.
Mangkuk kecil telah menjadi
duniaku. Di sinilah
aku mencabik kesunyian,
mengubahnya menjadi ribuan suara,
sebelum air bah menyiksa daratan.
/2/
Aku ikan raksasa, dapat pula mengira
derita dan gempita yang akan melintas
di hadapanku, bagai kirab yang keburu jadi
lintasan penghabisan dalam hidup yang garang
Nujuman ini, wahyu ini
yang jeritannya bagai
gemuruh dan laut
telah setia membimbing jalanku
untuk menyelamatkanmu
Aku akan jadikan diriku lebih dekat dengan matamu
sebagai penyelamat, aku telah menjauhkan
satu jalan lurus kepada maut
yang akan mendabik dadamu.
Selamat datang; mimpi-mimpi lama,
sengsara dan bahagia,
rancangan-rancangan masa depan
Mari kita sambut bandang terkutuk ini!
/3/
Pada mulanya engkau tidak pernah paham
arti kedalaman. Air hijau yang tenang ini,
pohon yang berkembang ini,
akan menjadi mimpi paling aneh
di setiap catatan yang terpinggirkan
oleh puluhan agama.
Aku impikan pesta kerajaan laut di masa lampau
di mana pilar-pilarnya terbuat dari cahaya
mercusuar. Dingin. Laut ini berangin.
Raja, bangunlah sebuah bahtera
jadikan tali itu dari naga banda
kaitkanlah ke tandukku
desakkan kemurnian rakyatmu di dalamnya:
biar kugenapkan penjelmaan ini
Tujuh macam awan mencurahkan hujan lebat
satu penanda hari jadi kiamat
seusai masa kering yang panjang
Kepada engkau, sebentar lagi,
akan kutunjukan arti
cinta yang terbunuh ini.
Orang Rantai
: M. Valjean
Aku lepas, tetapi juga tak bebas.
/1/
Selamat tinggal, pilar-pilar baja! Kini giliran kemerdekaan
Menyiksaku.
Paspor kuning akan memastikan nasibku: kau adalah gelandangan
Yang lapar dari petang hingga petang, hantu gentayangan
Yang merintih-rintih dalam larut malam, kaum lepra
Yang mengetuk pintu dan tak pernah dibukakan.
Ah. Kurasakan siksaan pertama bagi seorang merdeka:
Peluru-peluru putih musim dingin yang mendesing,
Mendesau, mengamuk padaku dan membugili semua pepohonan.
O, peluru-peluru putih musim dingin,
andai bisa kuberikan kedamaian padamu dan bisa kutemukan
Kedamaianku sendiri: tetapi damai telah pergi dariku dan patah
Dan menyerpih bersama bulir-bulirmu di atas bumi.
Aku tak akan pernah
Mengerti tentang selimut dan pediangan: hanya dingin
Dan gigil – gigil senantiasa.
/2/
O, musim dingin keji,
kau yang bersekutu dengan lapar dan dengki,
dan telah berhasil membujukku jadi pencuri,
Lihatlah jiwa jalang yang jadi kuyu dan rumpang ini
Kini dibebaskan dari rantai dan jeruji.
Tetapi kini di hari pembebasanku
mesti kutanggung kutuk paspor kuning – tiket satu arah
ke pulau paling terpencil
di samudera manusia yang gemuruh.
O, musim dingin keji!
/3/
Apa yang kaucari, wahai serdadu
yang menggeledah ingatan, mimpi-mimpi
dan masa laluku? Bukankah paspor kuning
telah membukakan diriku: bekas orang rantai?
Lihatlah, isyarat yang kauberikan tentang
tiang gantungan kini tiada lagi menggentarkanku.
Karena aku memang tetap pencuri.
Kandil, sendok, garpu perak ini dan
seluruh dunia tiada pernah menjadi
milikku.
Maka bawalah kini aku kepada
algojo dan tiang gantungan yang
telah lama menungguku – telah lama.
Maka bawalah aku kini kepada
Padri saleh yang dungu dan tertipu itu
– janjiku kepadanya yang belum pernah
kusepakati telah lebih dulu kuingkari
/4/
Wahai, bagaimana mesti kupetakan
Lanskap cinta dan kebencian ini?
Ia yang kusangka musuhku
Selama ini ia mencintaiku.
Kini aku bangkit:
Aku telah dibangkitkan!
Telah kupinang ia yang membekaliku
Topangan perak dan kandil pesta serta wangi doa
O padri saleh, penyelamat jiwa dan jasadku!
Akan kukembangkan jiwaku kepada semua
Angin yang bergentayangan di udara malam ini
Ketika dosa rusuh dan kebebasan menyiksa daratan.
Inilah sesungguhnya hari pembebasanku
kandil perak dan meja perjamuan:
dosa-dosa liarku
kini meyakinkanku untuk
Menjadi santo.
- Puisi-Puisi Pranita Dewi; Orang Rantai - 7 February 2017