Puisi-Puisi Ratna Ayu Budhiarti; Kisah Sarapan Pagi

avifahve

Kisah Sarapan Pagi

 

Kau tahu, bagaimana sepi melulu mencoba bertamu,

Tapi ketika sampai di pintu, ia malu-malu menampakkan diri

Barangkali ia enggan.

 

Melihat wajahmu pun daun-daun di pohon

Bahkan lupa cara menjadi tempat bernaung,

Keteduhan gagal melekat di sulur-sulurnya

 

Sementara di sini, di meja yang penuh kisah

Nastar cake dan cinnamon roll

Berlomba menceritakan petualangan

Menuju lambungmu

 

Masuk ke tubuhmu, kata mereka,

Adalah dengus napas, decak gembira, sesekali sendawa

 

Jarak ke hatimu mungkin tinggal sejengkal sampai

Tapi detak jantung memantul-mantul pada dada

Beberapa nama digumamkan,

Banyak dari masa lalu, satu dua masih menyangkut di masa kini

Daftar nama itu dimuntahkan oleh lidahmu pula sesekali

 

“Apa peduliku?”

Segelas air hangat segera menenggelamkan rasa pahit

Yang bukan dari kopi

 

Ini buku lama yang kubarukan, jawabku.

Biar saja kubaca pelan dari halaman pertama

Demi debar petualangan sejak awal,

akan kuselesaikan sampai akhir

 

Kau tahu, lagi-lagi sepi melulu bertamu

Tapi ia hanya berdiri di pintu

 

Melihat rumah hatiku yang penuh,

Ia tak sanggup masuk, dan kerap pergi dengan kekalahan

 

Sedang kita, cukuplah berbagi

Masa, saling menyesap manis-pahit rindu

dari cangkir latte itu berdua

 

Berdua.

 

#RAB, Bandung, 2018

 

 

Lelaki Kopi

 

Ia, lelaki yang muncul

Ketika senja enggan tiba

Menemani makan malam yang ramai kata-kata

Pada pesta di Utara sana

 

Uar aroma kopi menyeruak dari telapak tangannya

Yang terbuka pada jumpa pertama

 

Ia, lelaki yang lewat suaranya

Mengabarkan sejumlah detik yang terserak

Saat menunggu sebuah pertemuan

 

Di meja bundar, akhirnya ia, lelaki itu

Menating secangkir kopi

Dan menyerahkan matanya

Untukku membaca hal-hal baru

Semacam ketabahan

 

Ditingkah Sasando dan alunan lagu The Reason,

Perjalanan Cheng Ho, Yi Jing, dan Wallace,

sampai pula ke masa kini setelah abad-abad

lampau diabadikan catatan para peneliti

 

Ia, lelaki yang menjauhkan diri dari gerimis

yang kuyup di jantungku,

Merekam percakapan dalam

catatan purba

 

Katanya, “tidak semua relief bisa dibaca,

juga yang ini.”

 

Jarinya menunjuk dada imajinasi.

 

 

#RAB, Yogya-Magelang, 2018

 

 

Dari Tepi Jembatan Dompak

 

Kubayangkan di tepi jembatan ini,

Engkau memanggil-manggil masa lalu

dari tanah Melayu

 

Kubayangkan suatu hari engkau menceritakan kembali

Perjalananmu saat menyusuri tepi pantai

Mengumpulkan banyak risalah

Nenek moyang yang mengalirkan darah di tubuhmu

 

Amis laut, hangat kota, nona-nona:

Begitu isi suratmu padaku ribuan purnama lalu

 

Kemudian aku menyisiri kota ini dengan puisi

Mencari apa saja yang masih tertinggal

Di makam raja-raja, di reruntuhan tembok istana,

Di tepi bandar Sungai Carang, tempatmu mungkin bertolak di sana

Hingga ke jembatan yang menghubungkan ingatanku padamu

 

Tetapi bahkan saat kutelisik cangkang gonggong,

Dan ketam menyerah dalam sepakat rempah,

Aku menjumpai sisa nyeri dari peperangan

batin dan harapan yang ditambatkan kenyataan

 

Seperti begitu sejarah sudah ditakdirkan

Lahir karena perjumpaan

Sekaligus untuk mengantarkan perpisahan

Pada perjumpaan lainnya.

 

#RAB, Tanjung Pinang, 2018

Ratna Ayu Budhiarti
Latest posts by Ratna Ayu Budhiarti (see all)

Comments

  1. WagiyoKresna Reply

    Dari tepi jembatan Dompak…apik tenan

  2. Nofa Trifanto Reply

    Sangat nyaman,
    Paduan bahasa terjujur tanpa mengukur

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!