Jalan Buntu
Aku ingin mengetuk pintu rumah teman-temanku
yang bermukim di pinggiran kota
dan berharap seluruh hari adalah Sabtu.
Meninggalkan kamarku sendiri
yang kerap menerorku dengan suara tangisan
seorang lelaki yang bergaung di dalam kepalaku.
Kadang-kadang ia melafalkan
kata-kata seorang filsuf,
“Manusia mati dan tidak bahagia.”
Lalu aku sibuk mencari antidepresan
di kotak obat, laci, atau lemari es.
Tetapi aku tak pernah menemukannya.
Aku hanya bisa menghalau ancaman
dengan menghitung domba
dan berharap fajar segera tiba.
Di atas loteng, televisi menyala
tanpa seorang pun menontonnya.
Aku terbaring di lapisan terpisah;
dunia yang terlalu jauh, ingin kujangkau,
namun tak sanggup kurenangi.
“Kemarilah, kemarilah,” kata temanku
sambil menawarkan aroma ranjangnya
yang asing, yang kerap membuat insomniaku
kambuh.
“Kemarilah, kemarilah,” kata Tuhan
yang sudah lama pudar di atas sajadahku
yang berdebu.
Di kamar mandi, aku menanggalkan
jasadku yang usang dan menyembunyikan
isak tangis dengan ricik dan guyuran.
Tetapi luka itu tak pernah hilang.
Suatu kali aku bermimpi
meninggalkan rumah ibuku
dan bermukim di sebuah dusun
di mana kesedihan tak pernah datang.
Pamekasan, 2017
Mencari Masa Silam
Aku tergagap mengulang
ayat-ayat yang dicawiskan oleh saudaraku;
ayat-ayat yang selalu melemparku
ke masa lalu ketika Tuhan masih
bersemayam di kedalaman ruhku.
Perlahan-lahan kuhapus ingatan
kepada apa pun yang berbau masa silam:
tentang kitab-kitab yang dikikir gigi rayap,
berwarna sepia, dan berakhir di mulut api;
tentang wirid-wirid yang kian lamat,
kemudian sirna;
tentang syair-syair nasihat yang dibacakan
penyiar radio dalam irama itu-itu saja;
tentang drama-drama televisi
yang mengundang rasa iba sebab sang mayat
masih saja ditolak bumi.
Malam menjelma lubang hitam, dalam,
yang tak pernah sungkan menelanku,
mengisap sisa-sisa kebahagiaan,
dan aku hanya berteriak di ujung lidah
yang tertahan, “Siapa pun itu, tolong aku!”
lantaran Tuhan yang Maha Pengasih sekaligus
Penyiksa telah uzur, renta, dan sakit-sakitan.
Di sisi ambinku yang kemarau,
aku berlutut dan mendapati
kolong ranjangku kosong.
Aku meraba-raba, tetapi tak jua
kutemukan ujung jubah-Nya yang suci.
Pamekasan, 2017
Malam Minggu Cepat Sekali Berlalu
Aku telah jatuh cinta sekaligus benci kepadamu
dan mungkin kepada semua orang di kota ini.
Aku menghabiskan malam dengan mata
enggan terpejam sebab di sana wajahmu
menghantuiku dengan cahaya temaram
yang menetes dari muka jendela.
Lalu kita menonton film horor di kamarmu
yang pengap karena kemarau tak kunjung selesai
dan sama-sama merasa takjub menyaksikan
adegan-adegan ganjil yang selalu terjadi
pada malam hari atau siang yang begitu sepi.
Diam-diam aku mendekapmu,
menghidu bau tubuhmu,
membelai rambutmu,
dan berharap mengecup keningmu
sambil berkata, “Semoga mimpi indah”
dengan suara lembut agar segalanya
berakhir manis.
Tetapi hari khatam dengan badan menggigil
dan perasaanku menjadi dingin.
Kamu tidak akan pernah mengerti betapa malam
kerap kuhidupi dengan cinta berbahaya,
lalu padam ketika ibumu memasuki kamarmu
tanpa mengetuk pintu dan menghidangkan
secangkir teh panas untukku
seolah-olah ia tahu musim apa
yang tengah menggenangi hatiku.
Pamekasan, 2017
Aroma Tubuhmu
Aku terperanjat dari tidur waktu duha
ketika bau tubuhmu menyelinap
dan menguasai kamarku.
Angin berhenti dan udara di ruangan itu
tidak berganti.
Bau tubuhmu yang aneh mengingatkanku
kepada aroma-aroma raga lain
yang telah berlalu bertahun-tahun silam
namun bersembunyi di sudut kenangan
dan menyeruak ketika aku terpapar
cuaca perjalanan, melewati bukit-bukit,
bergeming di kamar kos sempit,
ngobrol di kedai kopi yang dibuka
pada malam hari, mendekap bajumu
yang tergantung sebelum berakhir
di mesin cuci.
Kita berbaring di atas ranjang
yang dipenuhi buku-buku puisi
yang dibaca secara acak
hanya untuk menemukan
kalimat paling tepat
untuk mengungkapkan perasaanku.
Perasaan itu telah lama menjadi parasit
yang kerap mendesakku dengan pertanyaan,
“Siapakah kamu?”
Di hadapan cermin aku pun berkata
dengan gentar dan ragu,
“Siapakah aku?”
Lalu pertanyaan itu kehilangan tanda tanya
dan menjadi hujan yang membuatku
basah kuyup sementara semua orang
di sekelilingku berkubang
dalam temperatur musim kemarau yang panjang.
Kini dadaku tak lagi berdebar-debar
berhadapan dengan setiap potongan tubuhmu
yang janggal dan begitu liyan.
Pamekasan, 2017
Teror Kecupan
Aku tak pernah melupakan
caramu mengecup leherku bertubi-tubi
dengan cintamu yang gemetar,
pun pelukanmu yang amat meyakinkan.
Kini tubuhku memar-memar
dan penuh catatan harian.
Setiap aku menghapus
dan membakarnya, setiap itu pula
jasadmu bangkit dari abu sisa pembakaran.
Bekas cintamu yang sengit
takkan hilang dari sejarah
yang tak pernah kusadari.
Maka aku mencoba mencintai
semua orang di kota ini
hanya untuk melenyapkan bayanganmu
yang telah menjadi hantu.
Tetapi aku selalu gagal.
Kau kerap menerorku dengan kata-kata
yang bergema dalam kepalaku,
“Jatuh cinta hanya sekali
dan untuk selamanya.”
Lalu aku berhenti mengasihi siapa pun
dan menganggap cinta-cinta
yang telah kupertaruhkan
adalah afeksi yang tabu dan terlarang.
Pamekasan, 2017
- Puisi-Puisi Royyan Julian; Aroma Tubuhmu - 2 January 2018