Ehipassiko
tanpa pun harus berjalan
menuju hutan
aku telah di hutan
sebelum puisi ini dituliskan
Kutub, 2015
Seusai dari Hutan
harumnya kebajikan
adalah jauh melebihi harumnya
kayu cendana, bunga tagara,
bunga teratai maupun melati.
Dhammapada 55
Seusai dari hutan
adakah kita telah melebihi
harum bunga-bunga di jalanan?
mengingat-ingat
anak-istri yang meratapi
di istana?
duh guru, sampai dimanakah
kita berjalan
hingga cendana dan melati
telah kita lewati
lupa pada diri,
lupa pada ilusi
dan duri-duri
lihatlah,
segalanya seperti tak
terjadi apa-apa
Gowok, 2015
Seperti Bunga Teratai
Seperti dari tumpukan sampah
yang dibuang di tepi jalan
tumbuh bunga teratai yang berbau
harum dan menyenangkan hati
Dhammapada 58
Begitulah kita mesti merekah
dari tanah dan musim mana pun
tak ada jalan untuk mendekati
kekosongan
kita mesti tumbuh
dalam dingin dan panas
yang beringas
hari-hari yang keruh
dan kisruh
hanya akan lerai
jika kita tak memperhitungkan
mana yang menguntungkan
mana yang membingungkan
tumbuhlah di atas air
sebelum alam memanggil
sebelum gigil memantul
pada hari dan jemari yang kaku
Gowok, 2015
Sunyata
Jika tiba-tiba aku mati di sini
dan tak sempat
mengatakan satu kata pun
pada dunia
sampaikan pada Ibuku,
aku kalah bertarung,
menghadapi hidup dan nasib
dunia ini lebih mengerikan
dari pikiranku sendiri
dan jalan satu-satunya untuk merdeka
adalah tunduk pada nasib
penyair sepertiku,
tak harus mati
meninggalkan kata-kata
sebab aku tidak cukup
bijaksana atau gila,
untuk menertawakan dunia ini
dan jika ada yang memandang
siapa di atas bukit?
jangan memandang kepadaku
Ia yang bijaksana,
tidak mengeluh
karena didesak hidup,
tidak mengutuk
karena diinjak tengkuk dan dahinya
Ia terbebas dari segala sayatan
sanggup berdiri di atas
keheningan dan kekosongan
Kutub, 2015
Puncak Kutukan
Tanpa harus berkata apa-apa
pada hidup
kita pun akan membusuk di sini
tak ada lagi yang mesti kusesaatkan.
kukutuk diriku penuh
kebencian dan kedengkian
aku tak menemukan
bagaimana kebijaksanaan itu
mengantarkan aku,
sampai pada diri dan dunia?
sampai dimanakah
batas-batas kesesatan
menggelapkan mataku
pada kebenaran?
dunia ini penuh kutukan
dan jangan tanya,
aku telah melakukan apa?
seluruh waktuku
terpisah dari suara hatiku
dunia ini penuh kengerian
dan aku tidak tahan,
untuk tidak mengamuk
dan berontak
sebab seluruh waktuku
bukan lagi, serupa gundukan air
dan mazmur.
Kutub 2015
Menjadi Angin
Seperti kelu seruling bambu dari Persia
menyayat-nyayat sendiri
agar terbebas dari sepi dan waktu
aku pun juga tak sanggup menjangkau diriku
menyentuh lengan-lengan hari
yang semakin parah dan menakutkan
segala yang bertiup dan kembali pada diri
adalah hutan-hutan bayangan tak tersentuh
hari ini aku rubuh, mungkin juga kalah
aku tak sanggup menerima sagala sayatan,
menerima puisi sebagai kutukan
menerima cahaya sebagai keruntuhan
dimanakah kuletakkan diriku?
agar yang jauh menjadi dekat,
yang melekat tak terikat
juga agar segala terpaan menjadi pinangan
dan aku bisa menerima apa saja
tanpa ada keluhan dan kutukan
tak melukai, apalagi menyiksa diri,
aku bisa bebas dari kutukan dan kedengkian
menjadi angin yang bertandang di mana pun
Kutub, 2015
Bapak Mengerti
Bapak mengerti
kapan air susut
kapan air pasang,
kapan ia datang
kapan ia pulang
bintang-bintang
di langit remang
menjadi pentunjuk jalan
di mana ikan,
di mana persinggahan
bapak mengerti
di laut, angin
bagai pengantin
di darat, Ibu
bagai keparat
sebab ketika perahu merapat
Ibu mendekat
mulut pun mengumpat
Gowok, 2015
Sumber gambar: beritalitsphotography.com
- Puisi-Puisi Saifa Abidillah (Yogyakarta) - 7 July 2015