Trowulan
“cities, like dreams, are made of desires and fears.”
—italo calvino
di trowulan, telah kutemui puing puing megapolit purba. yang tak mungkin dibangun lagi dari kisah-kisah tua (nampak) berserakan: batu batu gompal, relief retak, guci pecah!
juga dari asa…
tapi, sembari menjual sejarah seharga tiga ribu rupiah—bongkah demi bongkah, orang-orang dusun terus mencetak bata-bata merah seolah hendak menyusun kembali riwayat kejayaan leluhurnya;
yang pernah mengikat nusa-antara
dengan temali layar
dan menancapkan gunungan (oh, ekspansi!)
beraksara jawi di seberang lautan
“beginilah cara kami bertahan, beginilah kiranya
kami tak kelaparan
di negeri yang menunggu karam!”
di langit, aku melihat bulan pucat samar
seperti mengenang sesumbar seorang mahapatih
yang wajahnya pernah kau lihat di buku
dengan separuh sangsi
juga kerdip bintang-bintang yang terus mengirimkan
isyarat pudar dari masa silam:
telinga kanan meng wi, hutan maja,
dongeng-dongeng pengkhianatan
: kisah setengah ilusi
di trowulan, nyatanya aku seolah menziarahi
masa depan sebuah negeri
dan urung membayangkan
kota-kota sempurna di bumi
yang runtuh, jatuh-bangun
atau bersikeras bertahan—sarat
hikayat, seperti perumpamaan
karena ini pun hikayat pengkhianatan…
atau umpama yang berkali
dicampakkan
(seperti pahitnya buah maja)
Yogyakarta, November 2013
Di Ubud Writers & Readers Festival
di ubud; di dunia ketiga, yang mengekalkan aroma dupa dan bunga-bunga—aku terangsang melihat paha mulus gadis korea: ah, pesona asia jua, mama!
di sebuah resto, aku dikira orang jepang
di sebuah resto, aku teringat wajah mendiang kakek
yang datang dari guandong hampir seabad silam
“thiau ngi me kai cipai!
(silahkan dialihbahasakan jadi fucking mother)
: hei, aku lahir di bangka, tak bisa melafal z
dan terkadang lebih fasih bertutur hakka
ketimbang indonesia”
toko cinderamata dan gerbang-gerbang pura, pantai dan cuaca cerah, tabuhan musik dan penari cantik
: adakah bagiku juga selembar firdaus
yang tersisa di brosur wisata?
dalam sebuah forum diskusi yang aneh, aku merasa tak punya kenangan dan perkara dengan anda, hei tuan-nyonya pirang yang mencintai matahari sebulat telur mata sapi—sebab cinaku (sungguh) bukanlah urusan dunia pertama!
Bali, 2012
Pembunuh Tak Berwajah
: orhan pamuk
bertahun-tahun ia yakin seekor kuda yang digambarkan dengan cepat berdasarkan ingatan, sesungguhnya dibuat dengan bakat, keras upaya, cinta yang bengal dan keluasan wawasan. ah, demikian kiranya—sebagaimana terpatri di hati setiap generasi pengerdil (bukan pelukis) sejak penaklukan timurleng yang perkasa—kuda yang mendekati kuda dalam pandangan allah!
maka, sebagai pembunuh yang dilaknat surah al isra ayat 33, ia pun meninggalkan jejaknya yang beranyir darah di cuping hidung terpotong dua ekor kuda: seekor kau tahu telah lecek tatkala diangkat dari pengapnya dasar sumur, seekor lagi berdiri dengan anggunnya di halaman kitab yang sedang dikerjakan untuk sang sultan mulia.
hingga seketika menjelmalah kami jadi anjing pelacak yang penuh gairah mendengus halaman demi halaman kisah dengan semacam kesedihan yang dibangkitkan oleh segumpal salju kecil yang jatuh, dengan kebeningan yang hanya dimiliki seorang murid tampan di bengkel kerja iluminator, dengan kebutaan yang menjadi karunia seorang empu ternama dari herat dan tabriz.
sebab bukankah seorang pengerdil konon tak pernah menggambar apa yang dilihatnya selain yang dilihat sendiri oleh allah? atau kami seyogianya harus percaya bahwa seorang pembunuh terkutuk memang selayaknya tak berwajah serupa ilustrasi husrev saat pertama kalinya dilihat shirin di pinggiran kota.
ah, ini perkara dengan kerumitan desain dan hiasan ala timur, kafirkah mereka tergoda pada kemahiran perupa kaum frank hingga tak najis menatap segalanya dari mata seekor anjing buduk di tepi taman?
sebab sebagai seorang pecinta dongeng detektif yang setia, kami teramat tekun melacak karya-karya para empu lama, kitab-kitab tua dengan detail ilustrasi yang berabad tersimpan sebagaimana rahasia di ruang penyimpanan harta istana—sampai hakkul yaqinlah kami, ketika seluruh sejarah terungkap, bangsa kuda bakal membalaskan dendamnya!
oh, gambar-gambar yang tahu (diri) kalau mereka hanyalah gambar, oh kuda-kuda khayalan terkuat dari kemahiran seniman, oh pengulangan-pengulangan memukau yang diwarisi ketinggian khasanah, berdosakah kami jika tak memandang dunia ini dari menara masjid di mana waktu bakal membeku bersama tinta?
sesekali kami mungkin menyaru jadi anjing yang ia torehkan dengan kedua tangan berlumuran darah di atas perkamen murah, lantas mencerca para pengikut nusret hoja sebelum malam penghancuran kedai kopi itu tiba. sesekali pula kami barangkali ikut tergoda melirik ibumu yang jelita di ambang jendela dan terpukau laksana melihat kuda coklat keemasan feridun syah melintasi sungai tigris (birahi karenanya).
tetapi kami teramat sabar, teramat tabah mencari tandatangan yang tersembunyi. walau semua tokoh seolah berebutan bersaksi, bahkan mayat di dasar sumur kau bangkitkan demi menyesatkan kami. walau sekeping uang emas dan sebatang pohon, juga kematian sendiri ikut nimbrung dalam perkara ini!
karena itulah, sebetulnya kami menghormati ia, si pembunuh yang bimbang hati: yang gentar memberi nyawa tapi lancang mencabut nyawa; yang takut memiliki gaya tapi penasaran pada potret diri. demi allah! demi halaman-halaman kisah yang diam-diam bikin kami jengah.
Yogyakarta, 2011
Di Goa Maria Belinyu
(1)
via dolorosa:
bukit karet
awetkan kisah hantu-hantu
di mata kanak-kanakku
yang degil dan penakut
kunujum akar dan ranting
jadi palangmu
(terpancang senja senyap)
o siapa yang tersalib di rerimbunan ini:
tuhan atau masa lalu?
diberkatilah ketakutanku yang kudus
dalam remang lilin-lilin putihmu
yang terus menciut
sementara, kenangan berkelok
di kaki bukit ini, bening
seperti waktu, serupa
perih lambungku
(2)
setiap bulan mei, hantu-hantu
bangkit seperti untaian doa rosario,
menjamah dosa anak-anak
yang manis di hatiku:
hutan karet penuh rahasia,
nama-nama yang menyimpan
kutuk permandian
maka kembalilah
aku menyeru ibu
di depan replika pieta
sembari merayakan
kedegilan didimus yang berdiam
dalam namaku; meski berulang sudah
jari ini kucucukkan
ke lubang lambungmu!
Belinyu, 2012
Bakauheni, 2
kembali aku mencari
masa remaja yang hilang:
lengking kapal dan truk-truk sarat muatan
dengan resah penumpang mengendap
bagai cinta tak tersampaikan
santa maria, di sini tak ada tuhan
yang menggulingkan kubur batu
pada hari ketiga
selain penjaja buku tuntunan iman
“tiga sepuluh ribu, tiga sepuluh ribu!”
dan nasib tetap seperti teka-teki silang
di antara kantuk dan iseng, haus dan kangen
“bapa kami yang ada di surga,”
kudengar seseorang bergumam
di masa silam:
“jadilah kehendakmu di atas
penyeberangan ini
seperti di dalam surga”
kembali aku merasa kehilangan
Yogyakarta-Palembang, Juni 2012
Di Baturaden
(1)
seseorang terpukau pada binar matamu
meski di baturaden,
waktu telah lama membatu
serupa patung-patung cinta
yang dikuduskan di tepi air jatuh
di sini tak ada dali—katamu—
yang meniscayakan arloji meleleh
di hatiku dan hatimu
tapi aku membayangkannya:
matahari menyusut, bulan menyisih
dan kita mengulang penanggalan sejak mula
agar kelak (mungkin) seseorang akan
mengulang kisah tentang seorang
dara istimewa dan lelaki
yang berkelahi dengan sang kala
(2)
masihkah kita percaya
pada dongeng-dongeng romantis
yang berakhir bahagia?
jika cintaku serupa kutuk
dengan wajah lelaki sepenuhnya arca
mitos batu,
kisah tragis
kekal sepanjang usia
daun-daun terus gugur juga
di atas kolam air mata;
kudus dan rahasia
: seolah waktu kembali lajang saja
Purwokerto-Yogyakarta, 2010-2012
- Puisi-Puisi Sunlie Thomas Alexander (Bangka Belitung) - 30 June 2015
Madya
Keren!