Puisi-Puisi T. S. Eliot; Rabu Abu

https://photogrist.com/wp-content/uploads/2015/04/Yuichi-Ikehata7.jpg
photogrist.com

RABU ABU

T. S. Eliot

I

Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi
Karena aku tak berharap
Karena aku tak berharap untuk berpaling
Sejak hasrati anugerah miliknya serta kemampuan lainnya
Telah kusudahi perjuangan untuk berpaling lagi
(Mengapa sang elang tua membentangkan sayapnya?)
Mengapa harus aku berduka
Atas hilangnya kuasa takhta ini?

Karena aku tak berharap untuk tahu lagi
Soal kemuliaan yang melemahkan kebaikan waktu
Karena aku tak berpikir
Karena aku tahu aku tak perlu tahu
Soal nyatanya sebuah adikara sementara
Sebab tak dapat kupuaskan dahaga

Di tempat itu, tempat pohon bersemi, mata air mengalir, yang kini tak ada lagi

Karena kutahu waktu selalu berwujud waktu
Dan ruang hanya selalu berwujud ruang
Dan yang nyata berwujud nyata hanya sekali saja
Dan di sebuah tempat sajalah
Aku bersorak karena segala hal sebagaimana mestinya dan
Aku menolak mengakui sebuah wajah terberkati
Menolak mengakui suaranya
Karena aku tak dapat berharap untuk berpaling lagi
Maka aku bersuka cita, saat harus membangun sesuatu
Yang membuatku dapat bersorak

Dan berdoa agar Tuhan mengampuni, mengasihi kita
Dan berdoa agar aku dapat melupakan
Segala yang tengah berpusing dalam diriku
Terlalu rumit untuk dijelaskan
Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi
Biarkan kata-kata ini menjawabnya
Agar apa yang telah terjadi, tak terjadi lagi
Semoga pertimbangan atas perbuatan kita tak begitu pedih

Karena sayap ini tak mampu lagi mengepak dan terbang
Semata kipas untuk menebas udara
Udara yang kini makin kering, kering dan sesak

Lebih kering dan sesak dibanding harapku
Ajari kami untuk peduli dan tak peduli
Ajari kami untuk duduk dengan tenang.

Doakan kami para pendosa, kini dan kelak kala mati[1]
Doakan kami kini dan kelak kala mati

 

II

Bunda, tiga macan tutul putih rehat di bawah pohon juniper
Rehat kekenyangan pada hari yang dingin
Karena kedua kakiku jantungku hatiku dan segala yang tertampung
Dalam hampanya tempurung kepalaku. Dan Tuhan berfirman
Layakkah belulang ini hidup? Layakkah
Belulang ini hidup? Dan segala yang tertampung
Dalam tulang belulang (yang mengering sudah)
Berkicau nyaring:

Karena ketulusan Perempuan ini
Dan kelembutan hatinya, dan karena
Ia junjung tinggi Sang Perawan yang berdiam diri,
Kita dapat berkilau. Dan aku, berdiri di sini
Mengajukan kebaikanku untuk dilupakan, dan cinta kasihku
Kepada anak-cucu penghuni gurun beserta buah kundur.
Inilah yang tumbuhkan kembali
Urat-uratku benang saraf mataku dan segala yang tak dapat dicerna
Lalu dimuntahkan oleh para macan tutul. Sang Bunda undur diri
Dalam putih suci gaunnya, untuk merenung, dalam putih suci gaunnya
Biarkan putih dalam belulang bertaubat atas lupanya diri.
Karena tak ada jiwa terkandung dalam mereka. Sebagaimana aku telah dilupakan
Dan akan dilupakan, maka aku akan melupakan
Sembari berserah diri, dan berpusat pada satu tujuan semata. Dan Tuhan bernubuat
Pada angin, pada angin, dan semata pada angin sebab
Hanya angin yang akan mampu mendengarkan. Dan tulang-belulang yang berkicau lantang sambil
Memikul beban belalang, bersabda

Bunda beribu kesunyian
Khidmat dalam penderitaan
Tercabik dan tetap utuh
Mawar dari ingatan
Mawar dari kelupaan
Letih dan menghidupkan
Rehat dalam keresahan
Setangkai mawar
Kini menjelma Taman
Di mana seluruh cinta akan berakhir
Mengakhiri siksa
Akan cinta tak memuaskan
Dan siksa yang lebih hebat
Akan cinta terpuaskan
Akhir yang abadi dari
Perjalanan tiada akhir
Kesimpulan atas segala yang
Tak dapat disimpulkan
Percakapan tanpa kata dan
Kata yang tak membentuk percakapan
Berkat rahmat untuk Bunda
Untuk Taman
Di mana seluruh cinta tentu berakhir.

Di bawah pohon juniper belulang menyanyi,
Berserakan dan berkilau
Kita semua bersyukur telah terserak, kita melakukan sedikit kebaikan,
Di bawah pohon di hari yang dingin,
Dengan berkat rahmat pepasir di bawah kaki,
Lupa diri dan sesama, untuk melebur menyatu
Dalam hening tengah gurun. Maka inilah tanah yang
Hendaknya engkau bagi-bagi.[2] Tak ada golongan dan kesatuan
Yang lebih penting. Inilah tanah kita. Warisan kita.

 

III

Pada kelokan pertama di tangga kedua
Aku berpaling dan menundukkan pandang
Wujud serupa yang menggeliati pegangan
Tepat di bawah naungan uap pengap
Sedang bergelut dengan iblis penunggu tangga
Mengenakan wajah culas harapan serta keputusasaan.

Pada kelokan kedua di tangga kedua
Kutinggalkan mereka bergelut dengan padu, lalu menunduk;
Tak ada rupa resah, dan betapa gelap tangga ini;
Lembab, pedih bergerigi, bak mulut seorang tua penuh liur mustahil dibenahi,
Mungkin juga tenggorokan hiu purba yang berserak gerigi gigi.

Pada kelokan pertama di tangga ketiga
Berdirilah sebuah jendela, lubangnya membengkak bak buah tin
Dan lepas pemandangan kembang belukar serta hamparan rumput
Sesosok punggung gagah, dalam biru dan hijau,
Memesona hari di bulan Mei dengan seruling kunonya.
Helai-helai rambut yang tertiup lembut, helai rambut coklat berembus naungi bibir,
Bunga lilak, dan helai rambut coklat;
Sebuah hiburan bagi diri, alunan seruling,

Sebuah renungan soal kelanjutan dan akhir perjalanan di tangga ketiga

Mereka memudar, makin pudar; menjelma kekuatan yang lampaui harap dan asa untuk
Mendaki tangga ketiga.

Tuan, sungguh aku tak layak[3]
Tuan, sungguh aku tak layak
Hanya mampu menyebut sepatah kata itu.

 

IV

Siapa yang berjalan di antara lembayung dan lembayung
Yang berjalan di antara
Bermacam tingkat semburat hijau
Menyusupi putih dan biru, dalam rona warna Maria,
Yang menceritakan hal-hal sepele
Secara gamblang meski mengetahui adanya pilu berkepanjangan
Siapa yang melawan arah kerumunan kala mereka berjalan,
Lalu membangun kokoh pancuran dan menyegarkan kembali mata air

Mendinginkan kering bebatuan dan lembutkan hampar pasir
Dalam biru bunga larkspur, dalam biru rona Maria,
Berhati-hatilah

Inilah tahun perantara, membawa
Pergi biola dan seruling, mengembalikan
Sang pemindah waktu di batasan terlelap dan terjaga, mengenakan

Selembar cahaya putih terlipat, menyelubunginya, terlipat.
Tamasya di awal tahun yang mengembalikan
Awan cerah berembun air mata, tahun-tahun yang terlampaui, mengembalikan
Rima purba dengan sebuah bait baru. Menebus
waktu. Menebus
Bayangan tak terbaca akan mimpi yang lebih suci
Sedang kuda bertanduk dirajah permata mendekati keranda mewah berpoles

Sang perawan terdiam dalam tudung bersemburat biru putih
Di antara cemara, di balik sang penguasa taman,
Yang serulingnya tak berbunyi, menundukkan kepalanya dengan isyarat tanpa kata

Namun air terus memancar dan seekor burung menyanyi
Menebus waktu, menebus mimpi
Balasan atas kata tak terdengar, tak terucap

Sampai angin menggetarkan beribu bisikan cemara

Dan pengasingan kita setelah ini

 

V

Jika kata yang hilang hilang sudah, jika kata yang terpakai terpakai sudah,
Jika yang terdengar, tak mampu dikatakan
Maka kata-kata yang kini bisu; tak terdengar
Lalu segala kata mematung, kata yang bisu, Kata yang tuli,
Kata tanpa sepatah kata, Kata dalam
Dunia dan untuk dunia;
Setelahnya, seberkas cahaya menyinari gulita dan
Melawan segala Kata, bumi bergegas mengitari
Pusat dunia yang maha sunyi.

Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat kepadamu?[4]

Di mana dunia dapat ditemukan, di mana kata
Mungkin disuarakan? Bukan di sini jelasnya, tiada hening yang layak untuk itu
Bukan di laut maupun di puluhan pulau ini, atau di daratan, bukan di gurun maupun di negeri penghujan,
Bagi para penjelajah dalam gelap
Berjalan baik di terik hari maupun gulita malam
Waktu dan tempat yang ditakdirkan bukanlah di sini
Tak ada ruang yang diberkati bagi yang mengelak rupa
Tak ada suka cita bagi yang berjalan melampaui bising dan menolak suara hati

Akankah sang perawan bertudung berdoa untuk
Mereka yang berjalan dalam gelap, yang
Memilihmu dan melawanmu
Mereka yang bercabang hatinya
Antara musim demi musim, waktu demi waktu, antara
Jam demi jam, kata demi kata, kuasa demi kuasa, mereka yang menunggu
Dalam gulita? Akankah sang perawan bertudung berdoa
Untuk anak-anak di gerbang
Yang tak mau hengkang dan tak dapat berdoa:
Berdoa untuk para pengikut dan para penolak

Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat kepadamu?

Akankah sang perawan bertudung di sela pohon cemara
Kering kerontang berdoa untuk siapapun yang telah mencelanya
Dan yang takut namun tak dapat menyerah
Dan yang menyetujui di awal namun menolak kala genting
Di gurun penghujung sebelum biru batu terakhir
Gurun di taman taman di gurun
Dalam kekeringan, meludah biji apel yang terkulai sudah.

Wahai umatku.

 

VI

Meski aku tak berharap untuk berpaling lagi
Meski aku tak berharap
Meski aku tak berharap untuk berpaling

Berpusing di antara faedah dan kerugian
Dalam persinggahan singkat tempat mimpi bersua
Senja terburai angan di tengah kelahiran dan kematian
(Berkati aku, bapa) meski aku tak pernah memohon untuk harapkan hal semacam ini
Putih pantai granit disorot oleh jendela lebar tampakkan
Layar-layar bersih mengembang menuju laut, menuju laut mereka mengembang
Sayap yang tak akan pernah patah

Hati yang kehilangan mengeras dan bersuka cita
Akan sirnanya wangi lilak dan sirnanya nyanyian laut
Dan jiwa yang lemah rentan memberontak
Karena bengkoknya sebuah pancing emas, wangi laut telah menguap
Mempercepat redanya
Tangis puyuh serta cerek yang berpusing
Dan buta mata masih mampu ciptakan
Wujud-wujud hampa pada sela gading gerbang
Dan wangi yang segarkan setitik asin tanah berpasir
Inilah masa resah antara kematian dan kelahiran
Relung kesendirian tempat tiga mimpi saling bersimpangan
Antara bebatuan berona biru
Tapi saat nyanyi tulus sebatang cemara bergema lalu sirna
Biarkan cemara lainnya bergetar menjawab.

Perawan suci, bunda, roh mata air, roh taman abadi,
Janganlah deritamu jerumuskan kami dalam dusta
Ajari kami untuk peduli dan tak peduli
Ajari kami untuk duduk dengan tenang
Bahkan di antara bebatuan tajam ini,
Kedamaian kami dalam kehendakNya
Perawan suci, bunda
Roh segala sungai, roh lautan
Jangan biarkan aku tersesat dalam deritamu[5]

Dan biarkan jerit tangisku sampai kepadaMu.

 

 

[1] Terjemahan bebas dari Salam Maria

[2] Terjemahan bebas dari kutipan Yehezkiel 48:29

[3] Terjemahan bebas dari kutipan Matius 8:8

[4] Terjemahan bebas dari kutipan Mikha 6:3

[5] Terjemahan bebas dari kutipan doa Anima Christi

 

Tentang Penerjemah:

Noa Dhegaska

Mahasiswi Sastra Inggris yang sesekali memainkan Demung. Sedang belajar menerjemahkan gambar dan kata, serta menulis dengan telinga. Melukiskan isi hati dalam kanvas serindu sekali. Berdomisili di Surabaya dan ingin memaknai hidup sehidup mati. Instagram: @semiromantic. Facebook: https://www.facebook.com/egaska.

T. S. Eliot
Latest posts by T. S. Eliot (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!