
Sebuah Malam di Kemiren
Tak ada yang harus merasa kehilangan sampur
malam itu. Para penari akan tetap menghibur
para tamu dan ia membayangkan dirinya tetap menunggu
sepasang tangan terulur ke lehernya yang kering ketika paju,
ketika sampur penari itu akan membawanya jatuh
ke kalangan—hajatan masa lalu dengan hasrat
mudanya yang penuh.
Tapi malam itu, ia hanya pelancong yang sendiri
dan lebih tua dengan hasrat secangkir kopi,
juga kue-kue cucur sebelum malam yang uzur
mengelusnya dan berkata:
“Jarak kafe ini dengan seblang subuh terlampau jauh
dan tak ada yang bisa mengayuh ke masa lalu. Jadi,
jangan pernah menunggu.”
Dan ia masih menunggu
hingga tubuh tua seorang sinden gandrung
tak lagi menari—hanya suaranya tetap menyala
membagikan percik api ke dalam dadanya
yang padam.
Ampenan, 20 Juni 2021
Di Pantai Penghulu Agung
Apa yang lebih besar dari namamu,
barangkali adalah gaung dari masa lalu.
Dan aku hanya orang udik yang tinggal di kota,
tak tahu sejarah apa-apa hingga kembali ke pantai ini:
sore yang berangin dan nyaris gerimis,
sore yang asin dan bau amis ikan dari kampung nelayan
menyusup ke dalam mangkuk mie instan.
Di depan kafe-kafe kecil yang tumbuh seadanya,
anak-anak pesisir Karangpanas kuyup dan tetap gembira
dengan air laut yang melimpah, dengan ombak yang
menggulung kecemasan dan sesekali menjulurkan limbah
kota—sampah-sampah rumah tangga yang tiba di kakiku,
di kaki anakku yang mimpinya air laut bersih.
Tapi anakku tetap bahagia. Senyumnya tumbuh segar bersama
es teh manis yang disesapnya. Sementara kecemasan-
kecemasan mereda. Berikutnya suara-suara: debur konstan
arus yang menghantam-hantam pemecah ombak,
musik reggae yang ringan—yo man, yo man!
Dan tentu saja, aku yang sesekali berusaha
berjarak dengan kesedihan.
Ampenan, Juni-Juli 2021
Di Depan Toko Roti
Wangi hangat vanilla dan cokelat
menguar dari etalase kaca
toko roti tua.
Aku berhenti,
aku berhenti di depan toko roti tua ini,
menatap jalan lurus ke pantai
lengang dan panjang ke masa lalu.
Aku berhenti,
aku berhenti hanya untuk menemukanmu
menguar dari masa lalu,
sebelum gedung-gedung art deco,
gudang-gudang tua tugur kesepian
di sepanjang jalan menjaga kenangan.
Aku berhenti,
aku berhenti di depan toko roti tua ini,
tapi tak pernah menemukanmu.
Ampenan, 15 Juni 2019
Di belakang Penginapan Kristin, Sipora
Selepas kapal cepat melintas cepat,
yang tertinggal titian memanjang ke belakang buritan
ke lampau kenangan hingga hutan bakau
di seberang penginapan.
Dan di anjungan kecil itu
angin yang lengket dan dingin menggenapi
sore yang nyaris nyenyat, sore yang sabar menanti
suara-suara: ombak kecil yang pecah di badan pompong,
serak mesin dan derit lembut kapal kayu, kecipak, riak,
sesekali cericit camar dari arah bandar
mengisi jeda—antara air yang mengguyur di kamar
mandi kamar ekonomis, seseorang tertawa dari kamar
lantai dua, dan dering ponsel yang bergetar
menggetarkan hati laki-laki itu.
Lalu menara suar di kejauhan itu, terus menyala
dalam cuaca lembap dan laki-laki itu memandang
dari teluk yang asing—mencari tahu, apa yang
dirindukan pertama kali oleh orang-orang
yang menyeberang ke pulau.
“Barangkali peluk hangat dari kerabat terdekat
atau hanya sesapan lembut di bibir gelas bir,”
gumamnya getir.
Tapi di Tuapeijat—teluk yang jauh dari rumah itu,
ia telah melampaui sore-sore yang payau sekaligus memukau,
sore-sore yang manis sekaligus giris, sore-sore yang jatuh
pada biru yang menghampar:
laut, juga langut.
Ampenan, 9 Juni 2021
Uma Kecil di Goiso Oinan
Ia menyeberang ke Sipora dan tak pernah menemukan
rumah yang dicarinya. Ia berjalan menyusur daratan
mengumpulkan ingatan dan orang-orang yang dijumpainya
menggelengkan kepala memberi tanda—semacam bahaya
atau tanda tanya?
Tapi ingatannya tak pernah lamur pada wajah leluhur,
pada wajah kampung halamannya, pada wajah kerabat
se-uma—rumah besar lama yang nyaris tinggal cerita,
rumah warisan leluhur yang pernah hancur, rumah
masa kecil yang semakin terkucil.
Maka ia bersikeras dalam kata dan kerja,
“Akan kubangun rumahku sendiri.
Tak apa, meski uma kecil belaka.”
Lalu pada suatu siang,
ia duduk di berandanya yang lengang,
merasakan lantai kayu, atap daun-daun sagu.
Dan angin yang berembus dari musim tandus,
sesekali menggoyang tengkorak-tengkorak kepala binatang
yang bergelantungan di abak manang.
(Kini di Goiso Oinan, di samping rumahnya yang kering,
telah berdiri rumah yang diinginkannya)
Ia membangunnya dengan seluruh ingatan
pada Siberut Selatan—tanah kelahiran
yang ditinggalkan.
Ampenan, 16 Juni 2021
Memancing di Sungai Jangkok
Seseorang melemparkan kail ke arus tenang Sungai Jangkok,
setelah umpan kesekian, setelah bosan yang tak kenal segan,
setelah ikan-ikan punah dijarah sampah.
Seekor betok atau sekadar mujair yang kurus
barangkali bisa sebagai penebus
dosa dari dusta sederhana kepada anak-istrinya:
tak ada ikan di kota, sungai sedang dalam wacana
penataan kawasan wisata.
Tapi di pinggiran kampung Sukaraja, kerap tak ada
yang perlu dijelaskan. Ketika tak ada pekerjaan,
seseorang akan tetap menghunus joran.
Barangkali sebagai penghiburan,
atau sebentuk nostalgia:
arus deras Jangkok membelah kota
dan ikan-ikan masa lalu berenang-renang
menjelang muara.
Ampenan, 11 Agustus 2021
- KEDAI BAMBU DEKAT JEMBATAN - 18 October 2024
- Puisi Tjak S. Parlan - 19 March 2024
- Puisi-Puisi Tjak S. Parlan - 22 November 2022
Rizky akmalsyah
Keren… Keren bang, sangat menginspirasi
👍
Salamudin
Membaca puisi bung tjaksparlan, tlh menghidupkan segala yg mati dlm darah dagingku…