
Suatu Pagi di Desa Ini
Kabut tipis merambah ke ladang:
pucuk-pucuk daun jagung yang tenang
menunggu kilau matahari
yang belum sampai.
Sebuah pagar rumah telah lama terbuka,
seorang ibu menyiapkan bekatul
agar ayam-ayam segera berkumpul:
sarapan paling pagi
sebelum dapur mengepul
dan tanak nasi dipindah ke dalam bakul
sebelum kelak
—yang jauhnya tak terbilang jarak—
anak-anak akan kembali ke desa ini.
Di jalan, perempuan-perempuan
paruh baya bersepeda Phoenix
—mini atau jengki
warna biru masa lalu—
pergi ke sawah luas
menjadi buruh lepas.
Sejumlah laki-laki
dengan gemuruh mesin heler
mulai berkeliling kampung,
menyambangi rumah-rumah
para pemilik gabah.
Ketika cercah pertama matahari tiba,
kabut mengawang ke puncak-tajuk
pohon-pohon bambu, pohon-pohon nangka.
Lalu dari sebuah madrasah,
lagu-lagu murottal memanggil-manggil:
anak-anak bergegas ke sekolah
meninggalkan sepi rumah,
orang-orang tua, juga segala
yang masih ingin dipeluk
di pagi hari.
Kolomayan, 13 Februari 2024
Di Kedai Dawet Serabi Pinggir Sawah
Di kedai dawet serabi,
pelan-pelan ia teringat
perpisahan yang rumit
dengan dirinya sendiri:
tak ada yang ingin ditinggalkan
—tapi ia harus pergi—
dengan punggung menggumuk
oleh usia dan melankoli.
Dan hatinya yang bengkak-padat
sesekali mencair dalam kuah legit
santan kelapa dan gula jawa,
dalam lembut-kenyal tapioka
dalam gurih serabi yang lumer di lidah
ketika hawa pertemuan yang silir
dan jauh mengalir
dari bulak-sawah.
Di kedai dawet serabi,
perjumpaan dan perpisahan
sama-sama beraroma pandan,
sesekali menyusup bau tipis keringat:
mereka yang datang memintas pematang,
setelah melunasi dahaga padi
sebelum tuntas dahaganya sendiri.
Dan mereka yang pergi selepas
isi mangkuk tandas,
tersenyum lepas
kepadanya,
dan ia
—yang bertahan dan asing—
berusaha mengawetkannya
seperti seorang ibu yang tabah
menyimpan apa-apa yang telah diolah
dalam kendil-kendil tanah.
Kolomayan, Januari 2024
Di Arena Pacuan Kuda Pikatan
Memasuki arena,
warna samar sayembara mengelupas
pada garis-garis pembatas:
sisa lapuk kayu, menunggu tepuk
yang dulu melantun
dari sebuah tribun.
Dan di startgate
yang kerap telantar itu,
kesunyian menunggu
dengan debar yang lain.
Debar dari masa lalu:
antara awas juga was-was
derap pasukan berkuda
di hari-hari geladi
—para pemanah jitu
dari Panjalu,
debar dari masa-masa gemilang
pertaruhan para joki
di tengah gelanggang.
Tapi di track yang lengang
—hari yang lembab itu—
galur memanjang roda sepeda
seperti hendak menjangkau
sore-sore yang lampau
selepas hujan,
selepas kisah-kisah
yang tak pernah diceritakan
dalam riuhnya pacuan
di Pikatan.
Kolomayan, 1 Februari 2024
Dari Tanah Lapang Ini
Dari tanah lapang ini,
kita memandang hari yang condong ke tepi.
Angin menguap dari ladang yang hening
membawa aroma sisa musim petik:
batang-batang jagung
dengan kelobot menjuntai warna gading.
Di angkasa yang lapang,
layang-layang warna merah terang
sendirian dan terpencil
—diterbangkan dari jauh oleh seseorang
yang senang mengingat masa kecil.
Tak ada yang akan datang bermain.
Hanya penyabit rumput, satu-dua peladang,
dan mereka yang ingin mengulang
jalan simpang.
Hanya tiang gawang gersang
seperti usia tua yang tak pernah diingat
dan lama tak disambang.
Hanya kita, hingga angin
menjadi lebih dingin
dan matahari layuh perlahan
dijamah pucuk-pucuk tebu di kejauhan.
Kolomayan, 22 Februari 2024
- KEDAI BAMBU DEKAT JEMBATAN - 18 October 2024
- Puisi Tjak S. Parlan - 19 March 2024
- Puisi-Puisi Tjak S. Parlan - 22 November 2022