
Apa yang mulai hilang dari keseharian hidup kita? Tentu banyak! Kepercayaan, sahabat, solidaritas, spirit of learning, keberpihakan, inovasi, kadang-kadang nyawa, atau pula silentium—keheningan. Kali ini, saya tidak ingin membahas variabel-variabel yang sudah dideretkan ini.
* * *
Masih di Maghilewa, sebuah kampung adat penuh pesona yang magnetis, terletak di Inerie, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dan akhirnya kami tahu, “Pulu” bukan namanya, yang awalnya kami sangka, itu nama belakang atau sering disebut “nama fam”. Namanya Julio. Julio Lae. Sudah sejak lama disapa “Pulu” hanya karena rambutnya yang bergulung-gulung kecil seperti “i’e pulu”, biji dari suatu jenis tumbuhan di kebun atau hutan yang dapat melekat pada pakaian.
Saya lalu teringat akan “masa-masa manis dan berengsek” waktu masih di Seminari Mataloko, belasan tahun silam. Teman bahkan guru dan pembina, sering mendapat sapaan macam-macam, hanya karena pernah melakukan sesuatu atau sering mengenakan sesuatu atau mirip seseorang yang lain. Seorang teman yang pemalu dan tenang misalnya, suatu ketika tiba-tiba dengan amat semangat terjun ke lantai joget ketika lagu reggae diputar. Sejak saat itu, dia kami sapa “Rege”. Dan konyolnya, sapaan-sapaan macam itu kemudian diterima seolah-seolah itu sah. Memang, pengulangan tidak hanya merupakan guru yang baik, tetapi juga hukuman yang brutal dan sustain.
Tersingkapnya nama asli “Pulu” terjadi lewat tontonan yang sejak saat itu, sudah saya janjikan pada diri saya sendiri, untuk sedikit-banyak harus dikupas. Waktu itu, kami makan siang bersama. “Pulu”, seperti yang sudah saya terangkan dalam catatan sebelumnya, masih jadi “… satu-satunya anak kecil yang kami jumpai”, bahkan tetap satu-satunya sampai makan siang usai dan Maghilewa kami tinggalkan.
“Pulu” begitu sigap membantu Kakak Ela menghidangkan makanan-minuman buat kami. Di situ ada Kepala Desa Inerie, Ketua Komunitas Pariwisata Kampung Adat (KOMPAK), perangkat dusun Maghilewa, tokoh masyarakat, dan beberapa warga lainnya. “Pulu” lalu mengambil posisi duduk di tengah, bantu menuang dan mengedarkan moke buat kami. Tidak ada yang begitu istimewa, sebetulnya, tapi mata saya menangkap sesuatu yang lain, Bung.
“Sesuatu yang lain” itu ialah apa yang hari-hari ini, mulai hilang. Bukan lagi variabel-variabel yang sudah saya rincikan di muka, tetapi ini soal tradisi.
Dahulu, terutama di kampung-kampung di Bajawa, hadirnya seorang atau beberapa anak kecil dalam acara makan bersama merupakan sesuatu yang sudah secara natural haruslah demikian. Selain berperan sebagai pelancar, edukasi spontan kerap terjadi di sana. Ada apa yang disebut sebagai “pewarisan nonformal”. Orang-orang tua, dalam tiap kali makan bersama, selalu membahas sesuatu. Batas tanah suku, persoalan tahun sekian, makna upacara adat ini, fungsi tokoh itu, hingga kisah-kisah masa lalu yang acap kali dramatis dan sulit diterima bila disesuaikan dengan keadaan dewasa ini. Lebih serius, obrolan seputar “Pata Dela” atau pepatah leluhur, syair-syair lagu daerah, dan rumusan-rumusan seruan dalam acara tertentu, juga sering muncul.
Anak-anak kecil yang awalnya hadir sebagai pelancar, pada gilirannya berperan sebagai semacam “alat perekam”. Alam bawah sadar bekerja dengan sebaik-baiknya, saat itu. Cerita-cerita atau obrolan lainnya di antara para orang tua, didengar, diingat, atau tersimpan dalam memori yang sewaktu-waktu bisa muncul dengan sendirinya.
“Pewarisan nonformal” ini terbukti menjadi lahan edukasi yang ampuh. Hal ini merujuk tepat pada tradisi lisan bukannya tulisan, yang menjadi tradisi Orang Bajawa, bahkan Nusa Tenggara Timur, umumnya. Pada beberapa diskusi dengan para senior, semua sepakat, ingatan dan pengetahuan mereka tentang budaya Bajawa, didapat karena saat masih kecil, sering duduk makan bersama orang-orang tua. Orang-orang tua tidak menuliskan kisah-kisah, atau dalam tiap kali makan bersama, tidak ada notulen yang bertugas mencatat. Semuanya terjadi secara lisan dan “pewarisan nonformal” tak bisa dielak. Anak-anak yang dulunya sering bertahan duduk makan bersama para orang tua, memiliki lebih banyak hal atau pengalaman untuk dikisahkan, dilakukan, diwariskan. Peran-peran para orang tua dahulu, umumnya dapat dengan mudah diteruskan oleh anak-anak yang sering duduk makan bersama. Bahkan, regenerasi dan kaderisasi pada posisi-posisi strategis tertentu dalam Sa’o (rumah adat), sering jatuh pada anak-anak ini. Bukan semata-mata karena garis keturunan dan darah, tetapi lebih dari itu, oleh sebab pengetahuan, pertimbangan, kecakapan, dan kebijaksanaan. Momen “pewarisan nonformal” itulah sekolah yang sesungguhnya.
* * *
Ada yang mulai hilang, Bung! “Pulu” hadir mengingatkan kita bahwa dalam konteks tradisi, yang hilang bukan hanya satu, tapi banyak. “Pulu”, lebih dari sekadar pelancar acara makan, memainkan peran sebagai teropong. Lewatnya, kita dapat memeriksa dan menemukan lebih banyak lagi hal yang pelan-pelan lenyap dari keseharian kita.
“Pulu”, saat itu juga, memaksa saya untuk sampai pada apa yang mulai hilang, hari-hari ini. Tradisi. Makin ke sini, adakah anak-anak kecil atau remaja yang masih mau bertahan duduk makan berjam-jam dengan para orang tua? Apakah teknologi sebegitu pesatnya sampai yang ada pada kita kini hanyalah ketergesa-gesaan bukannya kesabaran? Kecenderungan bermain tampaknya lebih dominan dari kecenderungan untuk tidak bermain, duduk, dengar, simak. Generasi kita kini agaknya lebih aktif untuk kesenangan pribadi, berbeda dengan generasi sebelumnya yang pasif hanya untuk mendengarkan dan merekam dengan telinga, budi, juga hati.
Sekali lagi, bahwa “Pulu” tak perlu dibesar-besarkan lewat aneka tafsiran, ini sah-sah saja. Bahwa “Pulu” bukanlah sebuah pemandangan yang luar biasa di mata orang-orang kampung, ini juga tak bisa dimungkiri. Namun, sebagai sebuah kritik lewatnya kita dapat dengan lebih cermat dan hati-hati memeriksa hal-hal apa saja yang mulai hilang, saya sangka, “Pulu”, Julio Lae itu, telah melakukannya dengan sebenar-benarnya, sebaik-baiknya.
Tugas kita kini, memikirkannya! ***
- “Pulu” dan Ada yang Mulai Hilang - 16 February 2022
- Di Toto Kopi, Saya Duduk, Mulai Ragu, lalu Malu - 20 March 2019
- Siapakah Sesamaku? - 1 December 2016
Tutur Mama
Mantap banget artikelnya, enak dibaca dan dipahami