Dalam sebuah diskusi santai usai art talk yang dilangsungkan di sudut Orbital Gallery, di kota Bandung teduh di bulan Oktober basah tahun ini, muncul sentilan-sentilan yang akhirnya berujung pada gurauan, dan juga renungan. Senda sentil dan gurau canda memang awalnya mulai dari ironi—hitam putih, atas bawah, kiri kanan, serta depan belakang—merambat ke tirani, dan berakhir di garis nurani. Intinya sederhana, seperti judul tulisan ini: hendak ke mana, kau “sang fotografi”?
Menggapai Cita Meraih Cinta
Biasanya gosip dimulai dari cita yang berujung cinta, dan obrolan malam itu pun tidak jauh berbeda. Ada banyak harapan tentang fotografi: sebagai kendaraan pengetahuan, sebagai bukti yang tidak bisa dipertanyakan, sebagai alat untuk berdagang, sebagai kenang-kenangan, sebagai ular berita politik berbisa penuh tipu daya atas nama kepentingan, dan sebagainya dan seterusnya. Namun, ada satu yang menarik dari berbagai selipan dan titipan kemungkinan untuk fotografi: bahwa ia bisa berselang dan berseling dengan seni dalam cinta.
Fotografi bisa mulai sebagai lembaran-lembaran catatan sosial, kata para jurnalis. Orang tidak akan pernah melupakan foto monumental Robert Capa tentang seorang prajurit yang tertembak di kepalanya—dan Capa bahkan mengakhiri jepretan terakhirnya di medan perang. Jurnalis foto kawakan Erik Prasetya memiliki catatan visual lengkap, mungkin sangat lengkap, tentang sebuah kota bernama Jakarta yang hujannya sulit dibedakan dari hunjaman kepalan tangan. Heroisme Capa dan puisi-puisi urban Erik menjadi sangat kontras dengan catatan perut ke bawah dari Nobuyoshi Araki dengan segala komposisinya tentang sisi brutal dan gairah umat manusia. Singkatnya, fotografi adalah sebuah catatan lengkap tentang sisi kemanusiaan utuh sang Homo sapiens.
Fotografi juga bisa menjadi “cuan”, kata para “komersialis”. Lembaran foto—baik yang analog dalam bentuk kertas berlumuran resin atau yang hanya bisa dilihat di atas layar laptop atau ponsel—sebenarnya sama tebal dan harumnya dengan jejeran ikatan uang kartal seratus ribuan yang tersusun rapi di dalam sebuah koper berukuran kotak selusin donat. Bahkan kalau kita mau jujur, sebenarnya fotografi lahir, tumbuh, dan gemuk hingga obesitas berkat suapan komersialisme.
Kalau Anda bertanya kepada rekan yang mengaku fotografer, Anda tidak perlu ragu lagi tiga sumber penghasilan utamanya: foto perkawinan, wisuda, dan pesanan perusahaan. Industri fotografi hingga penciptaan alat paling canggih pun sebenarnya didedikasikan untuk aspek komersialnya, bukan untuk keisengan seorang seniman yang tidak pernah jelas masa depannya. Lantas, bila demikian, masih adakah jalan cinta buat fotografi?
Menelan Cinta sekaligus Benci
Seni, akhirnya, setelah sesi obrolan berjalan setengah matang dan langit sudah mulai hening, masuk ke dalam titik tawar tentang arah langkah sang fotografi. Baik jurnalisme foto dan foto komersial memang tegas dan jelas sebagai pilar dan fondasi fotografi—dari sisi fisiknya; namun dari sisi rohnya, keduanya sebenarnya palang dan rintang bagi eksistensi dan kelanjutan medium ini. Keduanya membuat fotografi jadi seperti zombi yang seolah-olah hidup tapi sesungguhnya sudah mati.
Singkatnya, sebenarnya semua elemen pelengkap lainnya, waktu pada akhirnya akan menarik semua privilese itu dari para fotografer. Persis seperti tukang ketik dan tukang cetak dan semua tukang lainnya akan beralih menjadi massal, mekanis, dan otomatis, tidak terkecuali tukang foto. Untungnya, kelakar dari seorang rekan, tukang seni tidak masuk hitungan dan bisa sedikit menarik napas lega dari daftar hitam.
Jurnalisme foto mendapat saingan dari massalisasi, dan komersialisasi mendapat lawan pamungkas dari mekanisasi dan otomatisasi. Jurnalisme warga bisa menjadi lebih ampuh dan tangkas ketimbang lambannya gerak fisik wartawan paling lincah sekalipun. Kecerdasan buatan sudah tinggal menunggu waktu untuk menabuh gong pembuka menggantikan mahalnya jasa fotografer komersial yang bisa memakan sepersepuluh atau bahkan sepertiga dari keseluruhan ongkos produksi, sama seperti aplikasi dan peranti lunak cerdas menggantikan keruwetan kerja sang akuntan yang masih membutuhkan lembur dan waktu tidur.
Namun, menelan cinta fotografi sebagai seni berarti menarik rasa benci menyeruak hingga ke permukaan. Dalam sejarahnya, fotografi memang tidak pernah berhenti dan selalu dikritik, sehingga berbagai cara sudah dilakukan untuk membuat fotografi lebih defensif terhadap catatan-catatan pedas yang sudah menerpanya sejak kelahirannya sekitar satu setengah abad yang lalu. Pakem-pakem pun dihadirkan untuk melegitimasi fotografi: seperti persoalan komplikasi teknis dan berbagai hal lain untuk membuatnya senyaman lukisan. Komersialisasi fotografi pada satu titik berhasil sampai ke zona nyaman ini, dengan membayar harga mahal: fotografi menjadi tak ubahnya barang kerajinan yang dikerjakan para empu yang dihormati.
Saat fotografi dibawa kabur ke seni untuk menghindari kawin paksanya dengan industri, semua kenyamanan itu hilang. Fotografi sekarang tidak punya pakem, apalagi seni membebaskan segalanya. Cinta yang muncul bersemi harus segera berbenturan dengan rasa benci yang muncul karena menguapnya rasa nyaman. Tidak ada lagi para tetua yang menjadi sepuh yang diempukan dan dituakan. Siapa pun bisa masuk dengan cara dan jalur mana pun, bahkan kata fotografer sendiri akhirnya melebur menjadi seniman. Singkatnya, semua nostalgia manis tinggal kenangan pahit—fotografi kembali mulai dari titik nol seperti saat kelahirannya.
Memaknai Cinta Sejati Tanpa Henti
Obrolan pun menjelang usai. Malam sudah benar-benar sepi, para sobat sekarang sampai pada kesimpulan—tentang nurani. Singkatnya, fotografi pernah suatu saat menjadi tanda maskulinitas: lensa adalah tanda kejantanan—semakin besar lensa semakin macho seorang fotografer, “semakin cowok”. Fotografi identik dengan berburu, dan yang diburu adalah kaum hawa. Saat mereka tunduk di depan lensa, tuntas sudahlah tuntutan kejantanan seorang laki-laki; seperti sebatang tombak yang masuk menusuk hewan buruan—sang “mangsa” fotografer sekarang dikerangkeng oleh kertas foto. Sekarang, saat lensa menjadi sama rata dengan badan ponsel, semua itu hilang.
Seperti Casanova yang kehilangan mangsa, seperti itu pula sang pemburu visual yang kehilangan objek buruannya. Kejantanannya seperti hilang terkebiri, dan ini adalah kabar buruk bagi sebuah dunia yang masih sangat “laki-laki”. Namun demikian, tukas seorang teman sambil menyeruput kopinya sekali lagi, fotografi justru menemukan cinta sejatinya. Sekarang, dengan lepasnya beban legitimasi eksternal, fotografi mulai menggamit kesejatian cintanya dari dalam.
Pergilah, “sang fotografi”, ke mana pun engkau mau. Diskusi santai tentang fotografi tadi—yang melibatkan tiga akademisi, dua praktisi, dan semuanya bekas fotografer—pun berakhir.
- Quo Vadis, Fotografi? - 19 October 2022
Baladaqut
Diksi yang dipakai berkesinambungan, meloncat-loncat dari satu kata ke kata yang lain dalam tiap kalimat. Disisi lain esensi fotografi dijabarkan dan dikembalikan pada kenyataan kiwari. Semakin yakin saya mempercayai bahwa tulisan akan tuli bila tak seorang pun melisankan. Sedang fotografi akan stagnan terhenti jika tak membaurkan diri dalam seni, agar dapat melawan dampak negatif dari massalisasi, otomatisasi dan ensopor.
Angeline Faustina T.U (C)
Angeline Faustina Tiara Uwe (C)
Saya menyukai bagaimana penulis menuangkan gagasannya dalam artikel ini melalui pembawaan artikel yang terkesan santai namun berbobot. Artikel ini berhasil membawa pembaca masuk ke dalam obrolan seputar fotografi tersebut dan memvisualisasikan makna serta gagasan yang terkandung di dalamnya melalui diksi yang digunakan. Artikel berjudul “Quo Vadis, Fotografi?” ini juga memberikan pemahaman bahwa bahasa bukan hanya sarana komunikasi verbal semata, tetapi juga merupakan medium untuk menyampaikan gagasan dan informasi.
Ferrel Melvin Tanuardi (C)
Ferrel Melvin Tanuardi (C)
Artikel ini memberikan pembaca sebuah wawasan mengenai makna-makna fotografi yang berhubungan dengan seni cinta. Sejumlah informasi disampaikan menggunakan pernyataan yang indah sehingga membuat bacaan lebih berwarna. Fotografi saja dapat menjadi sarana komunikasi, apalagi bahasa yang dapat menjadi sarana atau rumah pengetahuan untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan kepada sesama. “Fotografi sebagai bukti yang tidak bisa dipertanyakan” adalah salah satu makna yang paling mengesankan bagi saya.
Ananda Vanya Putri (C)
Perpaduan kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat informasi dalam membahas konteks seni khususnya “fotografi”, merupakan suatu hal yang layak untuk dilirik. Zaman yang kian hari semakin melesat jauh, sudah semestinya membawa perubahan bagi kebiasaan-kebiasaan awam. Seperti halnya saya, yang tidak bisa luput dari genggaman handphone untuk selalu mengabadikan setiap momen melalui lensa kecil, sangat setuju dengan pembahasan yang ada pada artikel ini. Namun pada kenyataannya, dalam membidik suatu objek menggunakan lensa apapun, apabila lensa tersebut tidak berada di tangan yang tepat, maka hasilnyapun akan tetap sia-sia. Karena, segala sesuatu butuh yang namanya belajar dan memahami. Karena menurut saya, melalui tulisan dan bahasa yang tersusun rapi, baik yang ada pada kertas cetak maupun non cetak, merupakan salah satu harta karun dunia yang wajib untuk diketahui.
Terimakasih atas informasi dan ilmu baru yang telah dibagikan pada artikel ini.
(Martin Heidegger mengatakan : “bahasa merupakan rumah pengetahuan”)
Devi Anjani (C)
Devi Anjani (C)
Menulis tentunya dibentuk oleh bahasa, isi bahasan, serta penulisan. Artikel berjudul “quo vadis, fotografi?” tersebut membahas menggapai cita meraih cinta, menelan cinta sekaligus benci, dan memaknai cinta sejati tanpa henti. Disebutkan bahwa fotografi dapat menjadi sarana komunikasi yang membahas bagaimana cinta bertumbuh, sebagai sarana pengetahuan, dan alat untuk menyimpan kenang-kenangan. Seiring berkembangnya zaman lensa pun tergantikan oleh ponsel, tetapi terdapat kalimat bahwa “fotografi justru menemukan cinta sejatinya” kemudian fotografi mulai menemukan kesejatiannya dari dalam. Walaupun judulnya singkat namun cukup untuk menggambarkan mengenai fotografi beserta isinya. Gagasan yang dituangkan dalam artikel tersebut menarik perhatian, karena penulisannya yang tersusun. Setelah membaca artikel di atas, saya mendapat pengetahuan baru yang belum saya ketahui sebelumnya.
Syafa Kayla Zahran Pradja (C)
Syafa Kayla Zahran Pradja (C)
Artikel yang berhasil mendefinisikan bahwa bahasa yang digunakan membangun pengetahuan. Pengetahuan yang dapat di artikulasikan. Dari sebuah kalimat “fotografi” dapat membangun ribuan kata yang memiliki banyak makna. Membuat pembaca seolah-olah masuk kedalamnya. Kemajuan teknologi yang semakin pesat tidak bisa disalahkan, “Cinta yang muncul bersemi harus segera berbenturan dengan rasa benci yang muncul karena menguapnya rasa nyaman” menjadi salah satu makna yang berenang di kepala saya, sebagai generasi Z yang tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Berjudul “hendak kemana, kau “sang fotografi”?” memberikan tujuan akhir “Pergilah, “sang fotografi”, kemanapun engkau mau” sangat mewakili isi, menjawab argumen diskusi santai disana, dan kepuasan bagi pembaca. Karena, pada akhirnya cinta sejati tidak akan bisa tergantikan oleh apapun.
Arn Majid (C)
Arn Majid (C)
Penggunaan judul artikel “Qou Vadis, Fotografi?” membuat saya penasaran makna apa yang disampaikan oleh penulis dalam artikel ini. Topik yang disajikan “fotografi” sangat menarik untuk semua kalangan terutama kalangan milenial dan Gen-Z. Penulis menuangkan gagasan melalui diksi santai, mudah dimengerti, dan berkesinambungan antar kalimatnya. Saya memaknai bahwa fotografi itu sama dengan bahasa, dimana fotografi dan bahasa menjadi lokus pengetahuan (Martin Heidegger) untuk menyampaikan pandangan kepada orang lain dan hasil dari keduanya menjadi sebuah eksistensi pengguna (David Crystal) yang memaknai cinta sejati tanpa henti.