Agus Mulyadi baru saja merilis buku ketiganya, Diplomat Kenangan. Launching yang diadakan 13 Oktober 2015 itu begitu marak, meriah, seseru Mamah Dede ngaramin jilbab cepol, Islam Nusantara, dan rokoknya Mas Iqbal. Saya kian takjub lahir batin padamu, Gus; engkaulah sebenar-benarnya super-magnet, sanggup menyedot berjubel orang merapat padamu; untuk hanya diger-gerin, dibuliin, dituna-asmarain. Semua audiens rela berimpit-berjejal dalam posisi yang sama: menertawakan Agus.
Sebagai Raditya Dika van Jogja-Magelang-Semarang PP, kita tahu, selain bermasalah dengan ketampanan yang sodaraan dari Nabi Adam sama Rangga, soal asmara merupakan masalah eksistensial Agus yang sangat paripurna. Paling primordial! Seolah bila Agus berhasil dapat yang, sontak segala masalah lainnya selesai dengan sendirinya. Meski saya yakin pada saatnya Agus akan menikah pula.
Saking purbanya masalah asmara ini, saya sampai sering berpikir, jangan-jangan Agus ini adalah buah konspirasi Pak Trimo dan Bu Trimo untuk membangkangi Hukum Alam: ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada cowok atau cewek, dan seterusnya.
Jika memang tersedia cewek untuknya, sesuai Hukum Alam, mengapa hingga selampau 24 tahun begini, memiliki kekasih, apalagi istri, bagai asusila bagi Agus yang menyebabkannya bisa diarak dan ditelanjangi keliling kampung? Jika selalu begini situasinya, masihkah ada gunanya hafal Pancasila? Semoga, suatu hari, Pak Trimo dan Bu Trimo menuturkan misteri agung ini pada Agus. Amin.
Kini saya hendak menolong Anda mendapatkan gambaran seakut apa masalah eksistensial asmara Agus melalui cerita ini. Pada suatu malam, di sebuah kafe di bilangan Jakal, saya menyimak cerita Agus tentang keterlibatannya dalam sebuah film. “Film itu mengusung kampanye pencegahan kehamilan pranikah di kalangan anak-anak SMA,” pungkas Agus.
Saya dan Aidit Dipantara saling lirik dan mengangguk-angguk. Makrifat betul ya kamu, Gus, rela banget ngurus orang mulu, sampai klalen sama diri sendiri, gumam saya penuh haru. Lalu saya melanjutkan, “Kamu kan sudah nggak SMA lagi, Gus, berarti sudah boleh menghamili.” (Tentu, Tri Emon, menghamili istrinya, tahu.).
Wajah Agus sontak dirundung mendung. Halilintar mengitari kepalanya. Udara dingin merayapi giginya. “Itulah masalahku, Mas, tidak ada satu pun wanita yang mau kuhamili,” suaranya berderak-derak.
Tetapi tentu bukan Agus bila tidak tetap lucu-bestari dan ngasemi-nyebahi dalam nestapa apa pun. Dituangnya anggur perih luka lara asmaranya ke dalam cawan-cawan aporisma; quote-quote yang mengguncang jiwa. Bila dalam jagat mistisisme kita kenal Ibnu Atha’illah al-Iskandary yang melahirkan syair-syair Al-Hikam dan Imam Bushiri yang mewariskan Qasidah Burdah, Agus pun tak ketinggalan menorehkan Diplomat Kenangan. Tentu, dalam jagat yang berbeda dengan dua tokoh agung sufisme itu, sebab Agus memang tampak ditakdirkan istiqamah di jagat galau yang proficiat.
Saya akan ulas beberapa quote-edun Agus. Silakan Anda tempel di kamar jika ternyata Anda pun memiliki masalah eksistensial yang setamsil Agus.
“Kamu saja bahagia duluan, saya gampang”
Terkalah situasi macam apa yang menyerang seseorang yang kuasa berbijaksana menggumuli narasi negasi-diri begitu? Pasti suasana terpaksa! Boleh sebab dicuekin, tertolak, lalu … memeluk guling di atas loteng. Suasana terpaksa yang terjadi berkali-kali, Anda tahu secara teori psikologi Freud akan tertanam di alam bawah sadar; menjadi kekebalan. Jadi, jika Anda ingin belajar ilmu kebal, datanglah ke loteng Agus.
Demiolloh, benar-benar dibutuhkan dada seluas lapangan sepak bola plus taktik tiki-taka yang menyeolahkannya lebih luas lagi untuk mampu menuliskan curahan hati sengilu itu. Soal di baliknya terserak keping-keping hati yang berantakan, cukuplah Agus dan Tuhan yang tahu.
“Pepsodent saja perhatian sama gigiku, masak kamu tidak sama hatiku?”
Quote ini ada dalam tulisan “Sebuah Kiriman yang Mengejutkan”.
Kita tahu, setiap orang pasti memiliki “sesuatu” yang menjadi ciri khasnya, puncak simboliknya. “Cara mengadanya”, kata Descartes. Agus sangat menyayangi giginya; sebab ia tahu gigi adalah puncak simboliknya.
Ternyata, rasa sayangnya ini diendus oleh Pepsodent, yang pada suatu hari mengiriminya bingkisan. Begitu dibuka, isinya sebuah sikat gigi. Iya, satu buah doang! Saya tak tahu apakah ada deal khusus antara Agus dan Pepsodent kemudian, misal menobatkan Agus sebagai “Diplomat Senyum Pepsodent”.
Agus pastilah sangat haru pada Pepsodent, sebab mengingatkannya pada gadis-gadis di luar sana, yang ironisnya tak seperhatian Pepsodent. Ia pun berbicara pada sikat gigi, sembari mengandaikan cewek-cewek bribikan itu tiba-tiba kesurupan untuk lebih perhatian kepadanya.
Sayangnya, sampai acara launching digelar, tak ada gesture cewek yang sahih dinisbatkan perhatian sama Agus, apalagi yange.
“Hanya pria karbitan yang ngasih cokelat, pria sejati ngasihnya seperangkat alat shalat”
Ini quote yang vox dei! Agus sungguh makrifat menghunjam. Anda yang hanya beraninya yang-yangan, seyogianya tertabok oleh quote ini. Mau cintamu setinggi gunung, perhatianmu sedalam samudera, dan kesetiaanmu sepanjang jalan tak berujung, ingat hukum Agus: semua itu akan ditekuk oleh mahar seperangkat alat shalat.
Ah, Agus memang makrifat! Kendati, kita tahu, ia tak pernah bertarekat. Bukankah sah saja seseorang menasbihkan diri lebih tahu jagat yang-yangan kendati tak pernah diterima cintanya?
Tetapi memang quote ini bukannya tanpa pertanyaan untuk Agus. Gini, Gus: jika cowok pemberi cokelat kau pangkati lelaki karbitan karena tak berani menikahi kekasihnya, lalu apa gerangan jejuluk yang pas untuk lelaki yang belum menikah plus tidak punya kekasih pula?
Dengan kecerdasan setara Pablo Neruda dan Orhan Pamuk yang fasih mengangkat khazanah ndesonya, saya yakin Agus akan mudah sekali menjawabnya di quote masa depan.
Saya jamin Anda akan menemukan jubelan quote ngejleb lainnya di buku Diplomat Kenangan ini. Membelinya menjadi cara bijak untuk leluasa menikmati tulisan-tulisan Agus yang berkarakter ndeso, pethakilan, kuarepe dewe, misuhan. Jika Anda sepaham bahwa salah satu senjata untuk menarik jodoh ialah magis materi, maka dengan membeli buku ini secara otomatis Anda telah membantu Agus mempertaji tosannya untuk menyambut jodoh.
Selamat, Gus, atas terbitnya bukumu. Teruslah menulis, teruslah menjadi ndeso, pethakilan, nyebahi, tetapi jangan lupa dandan. Kau harus tahu, dedek-dedek gemez kekinian gemar melihat celana dan jaket lebih dulu, baru kemudian quote-quote. Sederas apa pun Lukacs mengkritiknya.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019