1/
Meskipun mendapat jatah uang nelembuk[1] setiap bulan, aku tidak kuat juga menolak tawaran menikah si cantik Nurlaila. Memang, istriku memberi jatah uang nelembuk tiap bulannya dengan syarat aku tidak mempunyai kekasih lain atau menikah lagi dengan perempuan idaman lain. Sebenarnya kalau hanya bercinta, istriku tak terkalahkan. Dari semua telembuk yang pernah aku coba—kira-kira hampir mencapai dua ratus—hanya istriku yang bisa memuaskan imajinasi liarku. Kadang selepas bercinta aku meneleponnya, dan aku katakan tidak ada yang lebih dahsyat selain dirinya. Dia hanya tertawa kecil. Lalu aku bilang padanya:
“Apakah kamu tidak ingin bercinta?”
“Goblok! Jelas mau dong. Kamu pikir dalam seminggu aku masturbasi berapa kali?”
Aku diam. Dengan ragu-ragu akhirnya aku balik bertanya.
“Berapa?”
“Lima kali!”
“Lima kali? Sering juga kalau begitu.”
“Memangnya kamu mau aku bercinta dengan orang lain di sini? Tidak mau kan? Huh, dasar laki-laki, egois kalau urusan ranjang.”
Aku tertawa. Dan aku mulai menceritakan pengalamanku padanya.
Istriku menjadi TKW di Taiwan. Aku tidak berpikir bahwa ternyata istriku benar-benar mencintaiku. Kupikir ia akan menceraikanku setelah aku tidak memberikan nafkah seperti mantan suaminya dulu. Tapi ternyata ia betah denganku. Barangkali ini karena jimat pengasihan yang diberikan Mang Darlan kepadaku.
Tapi nelembuk ternyata tidak memuaskanku. Aku jadi kurang bergairah dalam bercinta. Hidupku benar-benar membosankan. Akhirnya aku mencari kekasih alias perempuan idaman lain tanpa sepengetahuan istriku. Jatah uang nelembuk yang ia kirimkan, aku pakai untuk pacaran. Aku bilang pada kekasihku kalau aku sudah bercerai dengan istriku yang ada di Taiwan. Ia percaya. Barangkali ini juga karena jimat pengasihan itu.
2/
“Usir burung itu! Anjing goblok!” teriak salah satu dari mereka. Bau alkohol, parfum murahan, dan keringat menguar di sekitar makam keramat itu dan angin mengantarnya dengan malas. Di bawah langit yang gelap dan bau kemenyan yang menyergap, burung itu tak henti-hentinya berbunyi seolah mengabarkan kesialan pada orang-orang yang tengah ribut di seputar keramaian.
“Titililil… itu artinya titip anak. Jika burung jenis itu terus berbunyi, maka itu pertanda akan ada yang terkena sial. Ada yang sakit atau mati,” demikian ayahku bercerita dengan rokok kereteknya yang tak pernah lepas dari mulutnya. Jika malam-malam burung itu berbunyi, cepat-cepat ayahku menyuruhku masuk ke dalam rumah, supaya aku tidak kena sial. Waktu itu usiaku masih bocah. Dan katanya lagi, ketika ibuku mau melahirkanku, burung itu terus berbunyi dan berputar-putar di atap rumahku. Berkali-kali ayahku mengusir burung itu, tapi suara burung tidak pernah pergi dari atap rumah, sampai akhirnya aku lahir. “Sial!” keluh ayahku yang gagal mengusir burung itu. Ya, meskipun aku lahir dengan selamat, hidupku akan membawa sial. Dan celakanya burung milikku, juga akan kena sialnya—tepatnya, hubungan asmaraku diramalkan akan selalu kandas. Gara-gara burung keparat. Burung sialan. Maka untuk melawan kesialan seperti dalam ramalan, aku diberi nama Untung. Demikian orang-orang tua di kampungku bercerita.
“Tingeling![2]” seorang laki-laki melempar batu ke arah pohon besar di samping makam, tepat arah suara burung titililil.
“Tolong, Mang!!”
Mendengar orang berteriak dari sudut makam, dengan cepat laki-laki itu lari dari kerumunan. Sementara orang-orang datang bergerombol menuju arah suara itu.
“Tolong, Mang… tolong….” perempuan itu berusaha melepaskan tubuh laki-laki yang menindihnya. Tubuhnya polos. Seorang laki-laki gendut tergolek kaku di atas tubuh perempuan itu. Mati. Mulutnya sedang mencaplok puting susu Si Perempuan. Sementara penis laki-laki itu masih menancap di vagina telembuk[3] montok itu.
“Gusti pangeran, ini beneran mati?” celetuk salah seorang dari kerumunan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… ayo, cepat diangkat!” kata salah seorang sambil mengajak beberapa orang untuk mengangkat tubuh laki-laki gendut itu.
“Ini kan Mang Daswan, blok Bojong Kaok. Kasih tahu istrinya!” kata salah seorang dari mereka.
“Ini kebanyakan obat kuat,” lanjutnya lagi.
“Dia minum oplosan terlalu banyak juga, Mang…,” ujar telembuk itu setelah memakai pakaiannya. Sesaat kemudian orang-orang mengangkat mayat Mang Daswan ke rumahnya. Orang-orang bubar dan mulai kasak-kusuk membicarakan Mang Daswan yang mati dengan tragis dan menyedihkan.
3/
Nama kampungku Cipari. Artinya air padi. Meski begitu kampungku sering kali kekurangan air. Atau kalau tidak kekurangan air, kebanjiran. Pilihan yang buruk. Meskipun begitu, orang-orang kampungku setiap tahunnya selalu mengadakan upacara mengalap berkah untuk para leluhur kami. Upacara Munjung namanya.
Jika musim hujan tiba, masyarakat akan bersiap-siap menyiapkan upacara Munjung di salah satu makam keramat di kampungku. Namanya makam Keramat Jati, meskipun di makam itu tak ada satu pun pohon jati. Upacara Munjung ini dilaksanakan untuk mengalap berkah atau simbol doa kepada yang Maha Kuasa sebelum menanam padi. Bau kemenyan akan menyeruak memenuhi makam itu. Asapnya mengepul menerabas pohon-pohon yang besar-besar lalu lenyap di udara. Sementara di jalan-jalan orang-orang berseliweran. Beberapa penjual berbaris di tepi-tepi jalan, dan ada juga di sela-sela makam. Seperti penjual wayang kertas, kapal otok-otok, penjual jimat palsu, buku mujarobat lengkap, tuntunan shalat, kumpulan doa-doa, penjual CD dangdut tarling dan pop, kue serabi, kue cucur, nasi goreng, martabak, sampai jual diri alias nelembuk. Semua mendapat berkah malam ini.
Ya, malam ini makam disulap seperti pasar malam. Bahkan keranda tempat biasa orang mengangkut mayat, sering kali ditiduri oleh para pemabuk. Rumah-rumah makam akan laris dipakai untuk berkencan muda-mudi, dan kadang menjadi tempat bercinta telembuk. Semua mendapat berkah malam ini. Termasuk aku, yang bertemu dengan seorang janda muda bernama Wasti.
Wasti adalah seorang janda berusia dua puluh satu tahun. Orang kampung kami menyebutnya RCTI (Randa Cilik Turunan Indramayu)[4]. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya masih kencang dan montok, rambutnya lurus sebahu, dan matanya sayu. Ia tidak tampak sebagai seorang janda. Malah lebih terlihat sebagai perawan lugu. Ia mempunyai kebiasaan mengelus-elus ketiak. Ini kutahu setelah aku bercinta dengannya di gubuk tengah sawah, di malam itu. Dia memang perempuan jempolan yang pernah kukenal. Liar dan tidak membosankan. Kejadian malam itu sekaligus mengukuhkan bahwa aku kekasih barunya setelah dua bulan dia menjadi janda. Jadi sejak malam itu, dalam kondisi apa pun ketiakku harus selalu bersih dan wangi.
Aku dan Wasti sama-sama penyuka film India. Dan menurutnya aku mirip dengan salah satu bintang India terkenal, Shahrukh Khan. Dia selalu merasa terpuaskan, dan setiap kali bercinta merasa seperti bercinta dengan bintang film Bollywood yang fenomenal itu. Sementara aku suka berimajinasi liar dan tidak monoton. Tapi itulah, hubungan kami tidak jauh-jauh dari urusan ranjang. Sebab aku berpikir toh aku juga akan bernasib sama seperti mantan suaminya: dicerai. Barangkali memang hidupku sudah sial, meskipun mungkin tak ada hubungannya dengan burung titililil. Kedua hal itulah yang akan menjadi alasan perceraian kami nanti. Aku membayangkan nasibku akan sama dengan mantan suaminya dulu, dan muncullah kalimat mengerikan itu: “Membosankan. Tidak bisa diandalkan. Modal kontol doang.” Kata-kata yang mengerikan bukan? Jadi dari sekarang aku harus bersiap-siap dengan kutukan itu.
Selepas musim panen rencananya kami akan menikah. Alasan aku menikah sederhana: ingin mengambil kembali uangku—yang aku berikan—di resepsi pernikahan teman-temanku dulu. Kini giliranku yang mendapat jatah uang dari mereka. Hanya itu. Sebab tidak bisa berharap lebih dari itu. Sebab seperti yang sudah aku katakan tadi, aku akan bernasib sama dengan mantan suaminya dulu: dicerai.
4/
Nurlaila usianya masih dua puluh tahun. Ia seorang perempuan yang lemah lembut dan penyuka binatang, terutama ayam. Ia tahu banyak segala jenis ayam. Dari mulai ayam kate, ayam bangkok, ayam thailand, cemani, dan segala jenis macam ayam yang aku sendiri belum pernah mendengarnya. Dari kesukaannya dengan ayam itulah akhirnya ia memulai bisnis ayam di kampungnya. Meski hanya sekadar bisnis kecil-kecilan. Ia seorang perawan unggulan di kampungku. Banyak laki-laki ingin menikahinya. Tapi semua gatot, alias gagal total. Karena tentu saja cinta Nurlaila hanya untukku. Ah, barangkali memang aku mesti berterima kasih pada Mang Darlan atas jimat pengasihannya itu.
Nurlaila pandai menyimpan uang dengan baik, berbeda dengan istriku. Istriku lebih sering belanja pakaian dan suka membeli alat-alat kosmetik—jelasnya ia suka berdandan. Istriku agresif dan penuh kejutan, sementara kekasihku pasif tapi selalu tampak menawan. Sama-sama punya daya tarik yang luar biasa. Lalu dengan rabi?
Mendengar kata rabi aku jadi teringat film India yang dibintangi Shahrukh Khan. Judulnya “Rab Ne Bana Di Jodi”. Aku melihat arti lagu itu tepat ketika kalimat: “Tujh mein rab dikhta hai…” yang artinya “aku melihat Tuhan di dalam dirimu”. Lalu aku menebak-nebak kalau kata Tuhan dalam bahasa Indianya adalah Rab ne. Sebab kata “rab” mirip dengan bahasa Arab, dan aku sering mendengarnya ketika ustadz-ustadz berceramah di televisi. Misalnya begini: “Ya, Rabbi, tunjukkan jalan yang lurus bagi bangsa ini.” Jadi rabbi artinya Tuhanku. Sementara bahasa di kampungku, rabi bisa berarti istri dan bisa berarti bercinta, tergantung penempatannya. Hanya saja perbedaannya, huruf “b”-nya cuma satu dalam bahasa kampungku. Jadi bisa saja kalau aku mengatakan “rabi”—ketika aku ingin bercinta dengan istriku, artinya “Tuhanku”. Memang, tak ada Tuhan yang mau dimadu. Tapi entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa aku jadi memikirkan kata “rabi”.
“Wah, wah, yang punya rabi baru kayaknya seneng amat,” celetuk seseorang sambil mengendarai motor melewati kami yang sedang berjalan di Pasar Jum’atan, yang jatuhnya malam Jum’at. Inilah hiburan satu-satunya di kampungku jika musim paceklik. Ya, akhirnya kami menikah juga, tanpa sepengetahuan istriku yang pertama. Usia pernikahan kami baru satu minggu berjalan. Kami hidup bahagia. Tidak kekurangan suatu apa pun. Lahir dan batin.
Aku melupakan istriku yang pertama waktu itu, meskipun sesekali aku masih teringat padanya. Aku sudah hilang kontak—lebih tepatnya menghilangkan komunikasi—dengan istriku sejak hubunganku dengan kekasihku yang sekarang sudah menjadi istri keduaku. Kira-kira sudah setahun lebih. Waktu itu aku sengaja mengganti nomor HP-ku. Memang cukup lama aku dan Nurlaila berpacaran. Dan ini merupakan terobosan baru untukku. Biasanya aku pacaran paling lama empat bulan. Tapi ini memang ajaib. Nurlaila membuatku betah sampai aku sendiri tidak percaya kalau aku menjalin hubungan selama itu. Aku masih ingat betul ketika pertama kali kami bercinta, yaitu ketika azan maghrib dan kami melakukannya di meja dapur.
***
Sebulan setelah kami menikah, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan istri pertamaku dari Taiwan. Begitu ia sampai di rumah orang tuanya, tanpa bicara ia langsung menuju rumahku, rumah orang tuaku. Untung di rumah hanya ada aku. Sebenarnya waktu itu aku ke rumah orang tuaku hanya untuk mengambil terasi bikinan ibuku. Orang tuaku seperti biasa kerja sebagai buruh di sawah Haji Umun. Sementara istriku ada di rumah orang tuanya, tempat kami tinggal.
Pertama kali Wasti melihatku, ia langsung menubrukku dan menghujaniku dengan ciuman. Ia haus dan lapar. Aku tidak bisa menolaknya. Aku tidak berdaya menolak ciuman yang selaknat itu. Waktu itu hujan turun dengan lebat. Wasti tidak berubah, ia selalu lihai dalam bercinta dan tidak membosankan.
Kami terkulai lemas, setelah kami bercinta empat kali di hari itu, selama hujan itu. Ia mengusap-usap ketiakku sambil terus memandangi wajahku.
“Bagaimana rasanya? Masih sama?”
“Masih….”
“Apakah sudah ada yang menandinginya?”
“Tidak ada. Hanya kamu yang bisa memuaskanku,” aku berbohong.
“Kenapa kamu tidak menghubungiku? Nomormu juga tidak aktif.”
“HP-ku hilang dan nomor teleponmu ada di situ,” lagi-lagi aku berbohong.
“Sudah berapa telembuk yang kamu tiduri?”
“Tidak banyak, dua ratus lebih kira-kira….”
“Wah, hebat kamu. Suamiku perkasa,” ucapnya dengan manja sambil menciumku.
5/
Akhirnya apa yang aku pikirkan—dan seperti semua orang pikirkan, terjadi juga. Wasti dan Nurlaila, masing-masing saling menuduh merebut suami orang. Sempat terlintas dalam pikiranku, rasanya aku bangga menjadi rebutan perempuan-perempuan yang sempat menjadi kembang desa di kampungku. Aku melihat kedua-duanya adu mulut dan mengeluarkan kata-kata kotor. Ada kenikmatan yang menjalar di sekujur tubuhku mendengar mereka saling adu mulut. Aku merasa seperti pangeran yang diperebutkan banyak perempuan cantik dan bohai. Seperti kedua perempuan yang sedang kesetanan ini.
“Pilih mana?” tegas Wasti
Aku bingung. Hanya terbengong-bengong saja mendengar pertanyaan Wasti. Bagaimana aku bisa menjawabnya. Aku tidak mau menyakiti kedua-duanya. Sebenarnya aku ingin kami bertiga hidup bersama, alias poligami.
“Aku tidak mau diwayu!” tegas Wasti. Ah, waktu itu aku jadi teringat lagu “Emong Diwayu” (tidak mau dimadu) yang dinyanyikan Aas Rolani. Lagu yang menyedihkan.
Nurlaila diam. Menangis.
“Baik, kalau kamu tidak bisa mengambil keputusan. Aku yang mengambil keputusan.”
Setelah Wasti mengatakan itu, ia ngeloyor dengan menaiki motor bebeknya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa tas jinjing berwarna hijau tua. Dibukanya tas itu, diambilnya uang gepokan dan ditaruhnya di atas meja, “Dua puluh juta!” Dia membeliku. Dia memang perempuan yang luar biasa. Cinta mati rupanya dia denganku. Jujur saja, aku tidak bisa menolaknya waktu itu. Dan pada akhirnya aku harus memilih salah satu: Wasti. Dialah yang memilihku. Dan aku telah menjadi miliknya, seutuhnya.
Yogyakarta, 2012-2013
[1] Menyewa PSK.
[2] Mampus!
[3] PSK
[4] Janda Muda Turunan Indramayu.
- Mulihasih - 17 June 2022
- Lari-Lari Kambing - 12 July 2019
- Ra(b)bi - 18 November 2016
Allissia Ang
Dan saya bersumpah…. kesel banget dengan yg namanya untung hahahaha.