Radio: Metafora dan Terlena

Pada 1943, Rosihan Anwar menunaikan janji ingin jadi penulis. Ia membuat cerita pendek berjudul “Radio Masjarakat”, dimuat di majalah Djawa Baroe. Cerita pendek dinilai bermutu oleh HB Jassin. Penilaian sulit berlanjut, setelah Rosihan Anwar mutung alias tak lagi menulis cerpen-cerpen. Ia sedang berperan sebagai pengamat zaman. Penulisan cerita menjadi dokumentasi situasi Indonesia masa 1940-an dan ikhtiar memahirkan kemampuan berbahasa Indonesia.

Di cerita, Rosihan Anwar pamer metafora melalui renungan si tokoh bernama Hamzah: “Ia mengoempamakan masjarakat ini sebagai sebuah radio, jang mengeloearkan pelbagai ragam boenji. Setiap anggota masjarakat hendaklah sesoeai dengan radio itoe, sebab keboelatan soeara jang keloear dari padanja adalah keboelatan soeara masjarakat itoe poela. Djika tidak berkenan dengan hati, karena misalnja terlewat banjak kedengaran boenji jang membisingkan telinga, karena lagoe jang diperdengarkan tidak sedap di telinga, ia haroeslah beroesaha memperbaikinja. Setasioen radio senantiasa dapat disoeroeh menoekar serta menjempoernakan programanja. Setasioen radio, pemantjar, semoeanja kepoenjaan kita, programa poen boleh kita selenggarakan, tidak ada jang dapat melarang.”

Petikan di cerita pendek itu mengesankan omongan hebat dalam menanggungkan nasib dan berseru ke kaum muda agar mengerti zaman. Rosihan Anwar sedang membuat pemaknaan besar radio dan tatanan hidup di tanah belum usai dijajah. Pada radio, ia “menurunkan” benda teknologis ke sebaran pesan dan peran ke kaum terjajah. Suara itu penting. Suara itu mengubah nasib. Suara dari radio biasa didengarkan oleh orang-orang menjadi perantaraan impian dan tindakan bisa revolusioner. Di luar pengertian berkaitan politik, radio pula membuat orang-orang bermalasan dan memilih dirundung asmara sepanjang hari. Mereka mendengarkan lagu-lagu berharap terlena dan mabuk asmara. Radio malah membikin lembek, sendu, cengeng. Kita mencatat saja warisan metafora dari Rosihan Anwar membuktikan ada kepekaan dan kesadaran teknologis.

Tiga tahun sebelum cerita berjudul “Radio Masjarakat” itu diterbitkan di Djawa Baroe, orang-orang Indonesia ketagihan mendengar radio dimanjakan oleh terbitan majalah Soeara Nirom. Keberadaan radio dalam rumah digenapi majalah di atas meja. Majalah mengenai acara-acara radio. Soeara Nirom edisi 24 November 1940 mengingatkan kita pada kesibukan radio dibarengi kesibukan mengadakan majalah demi raihan pendengar, iklan, dan pendapatan dari sekian program. Majalah itu mustahil berlanjut di masa pendudukan Jepang. Kita membaca lagi majalah lawas berlatar masa kolonial dengan tuan penjajah-Belanda.

 Di situ, orang membaca jadwal harian untuk siaran-siaran Nirom di pelbagai tempat. Menu-menu andalah radio: pemutaran lagu, pidato, pembacaan berita, pengumuman, dan sandiwara. Dari pagi sampai malam, orang bisa memutuskan memilih sekian acara di radio atau sengaja memberi telinga sehari-semalam tanpa putus. Dulu, adegan orang duduk atau tiduran mendengarkan siaran-siaran radio sudah bergengsi. Pendengar radio itu manusia modern ketimbang jutaan orang selalu merindu bakal memiliki radio, tak cuma melihat sekejap radio miliki para tuan atau  kalangan priyayi.

Acara paling digemari adalah lagu atau musik. Setiap hari ada siaran bergantian memanjakan telinga dan perasaan para pendengar. Di halaman 9, kita membaca jadwal harian radio Nirom cenderung mengutamakan hiburan. Bacalah jadwal siaran di Jawa Barat: “Lagoe Melajoe, Lagoe Hawai, Moesik Soeling Ambon, Gamelan Soenda, Gamboes, Lagoe Djawa, Lagoe Hindustani.” Di Jawa Tengah, ada kekhasan menu siaran: “Ketoprak di Partinituin.” Siaran lagu-lagu kerontjong tentu jadi andalan. Pada masa 1930-an dan 1940-an, keroncong merajalela di Jawa. Keroncong memuja asmara tak mengenal capek. Kita mendapatkan informasi bahwa para pemilik radio di masa lalu itu kaum berduit atau bergengsi, jarang dari kalangan jelata. Mereka memiliki adab beradio memenuhi hasrat-hasrat kemodernan dan pameran gengsi.

* * *

Pada masa 1950-an, jumlah radio di Indonesia terus bertambah. Radio jadi sumber penghiburan, pengajaran, dakwah, dan politik di desa dan kota. Seniman-seniman “dilahirkan” oleh radio. Kaum politik suka omong terlalu memerlukan radio. Kerja pemerintah pun bergantung radio.  Urusan meningkatkan iman dan takwa bisa diperoleh di radio. Jutaan orang “memuja” radio. Hari-hari tanpa radio seperti hidup di kuburan: sepi dan menakutkan. Di rumah, kantor, atau warung, radio itu suara-suara jarang libur. Telinga orang-orang Indonesia untuk radio, dari hari ke hari.

Dulu, mereka memiliki radio untuk diperdengarkan dengan listrik, aki, atau batu baterai. Radio berlistrik anggaplah mentereng. Pada masa 1950-an, listrik mulai memberi kebahagiaan di Indonesia tapi belum merata. Listrik untuk radio. Kita membuka  buku lawas dari masa 1950-an berjudul Listrik, terbitan Pustaka Rakjat, Jakarta. Lihatlah, listrik digunakan untuk menghidupkan radio! Di rumah beradio listrik, orang-orang cenderung bangga ketimbang cuma dengan memasang batu baterai di radio.

Kaum jelata nekat ingin memiliki radio harus membuat hitungan pengeluaran dengan membeli batu baterai. Rumah-rumah mereka belum dialiri listrik tapi hasrat memberikan telinga ke radio tak mungkin ditunda sampai kiamat. Mereka jadi konsumen dari industri batu baterai. Radio kecil dan besar memiliki ukuran berbeda di pemasangan batu baterai. Perbedaan merek mengartikan perbedaan kualitas dan durasi penggunaan di radio. Pilihan itu membuat kita memiliki kenangan kebiasaan orang-orang menjemur batu baterai di atas pagar. Usaha bagi pendengar radio agar tak terlalu boros mengeluarkan duit.

Tahun-tahun berlalu, pendengar radio seantero Indonesia belum semua dengan listrik. Para pemilik radio kecil biasa ditaruh di meja ruang tamu, dipan, atau ranjang masih memerlukan batu baterai. Para bocah penggembala kerbau pun mulai tampil gagah. Mereka naik kerbau berkalung radio. Ia mendengarkan lagu-lagu, bukan menjadi peniup suling lagi. Radio ada di pelbagai tempat. Batu baterai menentukan nasib para pendengar.

Di majalah Varia edisi Djuni 1970, kita menemukan iklan batu baterai berkaitan radio. Iklan apik dan berpesan gamblang. Puluhan orang berdiri memandang ke satu arah. Mereka beragam profesi: petani, guru, bidan, pedagang, buruh, dan lain-lain. Mereka mengaku kaum pendengar radio. Kepastian tampak dari tatapan mereka ke benda bernama radio. Di belakang, kita melihat sekian batu baterai dipasang rapi, bermerek Eveready. Merek mengaku “paling terkenal didunia.” Pesan utama: “Berita-berita jang djelas dan terang tentu sadja lewat radio transistor jang memakai batu batery Eveready.”

Bocah, remaja, dan kakek-nenek menginginkan memiliki radio. Benda menemani pelbagai peristiwa di keseharian. Bocah dan remaja menaruh radio di kamar. Belajar sambil mendengarkan lagu-lagu. Kakek dan nenek duduk di serambi. Mereka melihat situasi kampung atau kota sambil mendengarkan siaran-siara radio, belum tentu mendengarkan lagu. Pada masa lalu, ceramah-ceramah agama mulai meramaikan program-acara radio. Orang-orang mendengarkan radio seperti mengikuti pengajian. Penceramah agama di radio paling kondang mungkin Hamka. Siaran-siaran itu berpengaruh bagi umat. Pada suatu masa sekian ceramah dikasetkan.

* * *

Radio di kalangan muda terlalu memberi rangsangan ke pembentukan identitas, selera musik, berbahasa, siasat berasmara, dan lain-lain. Di pelbagai kota, radio jadi tema besar. Radio itu referensi. Pada masa 1980-an, remaja rajin mendengarkan radio untuk mengetahui daftar lagu terbaik atau terlaris: lagu Indonesia dan Barat. mereka sering mengirim kartu ucapan pembaca. Di kartu, mereka menuliskan kalimat-kalimat terbaca bisa diperdengarakan ribuan orang.

Radio pun lomba. Sekian lomba sering diadakan berkaitan siaran-siaran di radio. Lomba lagu itu pokok. Lomba pidato, mendongeng, dan baca puisi mungkin pernah dialami kaum 1980-an. Radio mengikat orang-orang pada imajinasi heroisme dan kesejarahan. Mereka pendengar sandiwara-sandiwara radio terkenal: Saur Sepuh atau Tutur Tinular. Mereka tak lupa mendengarkan lawakan Dono, Kasino, Indro. Di Jawa, orang-orang tertawa saat mendengarkan Dagelan Mataram. Bocah-bocah berkerumun dekat radio demi bisa mendengar sandiwara atau siaran lagu anak-anak. Pikat radio itu menghasilkan pelajaran ketrampilan di sekolah. Murid-murid diajari membuat radio secara sederhana. Radio pun masuk sekolah.

Pada masa 1980-an, iklan-iklan radio bermunculan di pelbagai majalah. Kita membuka majalah keluarha bernama Zaman, 26 April 1981. Iklan sehalaman berjudul “Si Mesin Perak”. Penamaan bagi radio-radio produksi Philips. Foto radio itu lekat di ingatan kaum 1980-an. Mereka lekas ingatan sebutan “band” di pembeda radio. Iklan itu radio 3 “band”, dijanjikan memiliki mutu suara dan penampilan luar biasa. Nostalgia terbagikan ke orang-orang mulai menjauh dari radio di abad XXI: “Di balik lapisan peraknya, ‘Si Mesin Perak’ Philips 570 memiliki kekuatan tinggi sebesar 1400 miliwatt yang mampu memancarkan suara semerdu aslinya. Pada volume tinggi atau rendah, mutu suaranya selalu luar biasa. Pencari pemancar ‘Si Mesin Perak’ mampu menangkap segala siaran baik melalui gelombang MW, SW1 maupun SW2.”

* * *

Radio-radio berukuran kecil milik kaum lawas. Kini, radio mengalami perubahan bentuk dan resepsi. Di telepon genggam, ada fasilitas bisa mendengarkan radio. Siaran radio mulai berhubungan dengan internet. Ingatan pada radio-radio dicap “band” itu sering bertokoh kakek, nenek, pakdhe, budhe, bapak, dan ibu. Radio-radio itu masih ada. Suara-suara dari radio masih menemani orang-orang di bengkel, parkiran, warung, dan pelbagai tempat.

Rupa radio lawas itu dimunculkan lagi oleh Mice di Kompas, 24 Maret 2019. Kita melihat gambar sedotan dan radio. Oh, gambar berkaitan ajakan mengurangi sedotan plastik dengan sedotan baru. Sedotan bakal awet digunakan ratusan kali itu malah dianggap seperti antena radio. Lihatlah, orang ngemut antena. Terlalu! Dulu, pendengar radio rajin menggerakkan antena: mencari arah berharap suara siaran jelas dan bening. Celakalah radio tak berantena. Kemresek. Imajinasi radio mendatangi kita tapi malah berpesan sedotan. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!