
Dalam salah satu hadis qudsi, Allah Ta’ala menyatakan bahwa rahmatNya mendahului murkaNya. Rahmat atau kasih sayang itu merupakan “sesuatu” yang inheren dan asali di dalam diriNya. Sedang kemurkaan tak lebih dari suatu “tempelan” yang kadang digunakan sebagai instrumen untuk menerjemahkan kasih-sayang ke dalam bahasa tindakan yang lebih tegas dan tandas.
Dengan landasan itu, sebuah argumentasi kemudian menjadi sangat rasional kenapa Allah Ta’ala itu bernama ar-Rahman dan ar-Rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tidak bernama al-Ghadhub atau al-Ghadhban, Maha Pemarah atau Mahamurka.
Menurut Syaikh ‘Abdul Karim al-Jili dalam kitabnya yang berumbul Kitab al-Kamalat al-Ilahiyyah fi ash-Shifah al-Muhammadiyyah, marah itu merupakan bagian dari sifat keadilan. Keadilan merupakan bagian dari tindakan. Sementara belas dan kasih-sayang merupakan sifat dzat bagi hadiratNya. Autentik dan sama sekali tidak terpisahkan.
Allah Ta’ala senantiasa mengoperasikan sikap belas dan kasih-sayang kepada segala ciptaan. Sementara Dia hanya sesekali marah ketika belas dan kasih-sayangNya dihadang oleh pengingkaran demi pengingkaran yang sesungguhnya tak lain merupakan destruksi terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian, marah dalam konteks pemahaman ini selain merupakan sesuatu yang rasional, juga tidak lebih dari belas dan kasih-sayang yang mengejawantah dalam wujud yang keras dan kasar. Karena kelembutan-kelembutan hadiratNya tak terpahami sebagaimana semestinya.
Belas dan kasih-sayang Allah Ta’ala kepada seluruh ciptaan itu sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Sebagaimana kita tidak sulit untuk memahami bahwa semua yang ada itu tak lain merupakan wujud pinjaman dari kemutlakan wujudNya. Wujud yang tunggal itu satu, tidak akan pernah bertambah sampai kapan pun, kemudian “menderivasi” diri dan menjelma keanekaragaman segala sesuatu yang nisbi.
Nada dasar penciptaan adalah cinta. Jelas bahwa Allah Ta’ala itu tidak berdasarkan pamrih apa pun di dalam menciptakan semua yang ada. Dan yang pertama kali diciptakan adalah roh atau cahaya dari kekasihNya sendiri, Nabi Muhammad Saw. Sedang segala yang lain hanyalah merupakan duplikasi atau fotokopian dengan berbagai macam pencapaian kejernihan dan kebeningan yang berjenjang-jenjang antara yang satu dengan yang lain. Dari yang paling bersih dan bening hingga yang paling kotor dan jorok. Dari yang paling wangi dan indah hingga yang paling bau tengik dan runyam.
Dan karena segalanya merupakan derivasi dari kekasih Allah Ta’ala sendiri, Nabi Muhammad Saw., bagaimana mungkin Dia tidak senantiasa memberikan rahmat kepada segenap makhluk? Tidak mungkin. Wong dimensi wujud saja sudah merupakan rahmat. Apalagi ongkos keberlangsungan segala wujud itu, tak mungkin bukan rahmatNya.
Di antara sekian belas dan kasih-sayangNya itu, ada rahmat yang sangat istimewa. Yaitu kedekatan dan kemesraan kita secara spiritual dengan Allah Ta’ala. Segala karunia materi sama sekali bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan rahmat yang sangat istimewa itu. Itulah rahmat yang telah ditenggak dengan tandas oleh para nabi dan para wali, dan dengan sisa-sisa semangat dan ketulusan kita berusaha untuk juga bisa mencecap kenikmatan yang sangat berharga. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Jahm ar-Raqi - 1 December 2023
- Syaikh Abu al-Husin Bin Sam’un - 24 November 2023
- Syaikh Abubakar Falizaban - 10 November 2023