Rupiah membaca potongan koran bekas pembungkus bawang merah dan bawang putih yang ia dapatkan dari warung Hajah Bandiah. Bibirnya bergerak-gerak mengeja huruf demi huruf, seperti anak kelas 1 SD belajar membaca. Rupiah tersenyum lebar. Ia mendekap potongan koran itu ke dadanya yang membesar empat bulan belakangan ini. Rupiah mengangkat kedua tangan. Pinggulnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia melonjak-lonjak pula, seperti anak mendapatkan permen dari bapaknya.
Usai menari-nari, Rupiah duduk di kursi kayu sengon. Napasnya memburu. Ia mengedarkan pandangan ke ruang dapur yang berukuran tidak lebih besar dari kamar tidurnya. Perlu kalian tahu, orang kampung membuat kamar tidur tidak lebih dari 3×3 meter. Dapur Rupiah terlihat lapang karena tak banyak perabot di sana. Dindingnya dari papan dan berlantai tegel warna gelap. Beberapa tegel telah retak dan terkelupas.
Setelah napasnya kembali normal, Rupiah mendekati ember merah di dekat lemari makan dan membuka penutupnya. Ember itu tempat Rupiah menyimpan beras dan ia melihat beras yang hampir rata dengan dasar ember. Ia menutup kembali ember itu.
Rupiah bergerak mendekati kompor gas dan memutar ke kiri knop kompor. Klik! Tak ada percikan api.
Rupiah menyambar potongan koran dari atas meja makan kayu sengon. Melipat-lipat potongan koran itu hingga mencapai ukuran kecil, kemudian menyelipkannya di sela-sela kutang.
Rupiah bergegas ke luar rumah, menuju warung Hajah Bandiah, yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Tangan kanannya menenteng tabung gas 3 kg.
“Assalamu’alaikum, Bu Hajah.”
Tak ada sahutan. Di dalam warung, Hajah Bandiah sedang duduk di kursi, dengan kepala menunduk, menatap mushaf al-Qur’an yang terbuka di meja kecil. Hajah Bandiah menyelesaikan membaca satu surat. Menutup dan mencium kitab suci itu, lalu berdiri. Perempuan berhijab hitam itu tersenyum seraya mengucap, “Wa’alaikum salam.”
“Ada gas, Bu Hajah?” Rupiah sedikit membungkukkan badan.
“Alhamdulillah, masih ada,” Hajah Bandiah tersenyum.
“Kalau beras lima kilo, ada?”
Hajah Bandiah menatap Rupiah beberapa saat, seakan ingin memastikan kesungguhan pertanyaan wanita yang memakai daster berlengan pendek, yang kainnya berkerut-kerut tidak disetrika itu.
“Kamu mau beli gas dan beras lima kilo?”
Rupiah mengangguk-angguk.
“Sekarang?”
“Ya, Bu Hajah. Saya dapat rezeki mendadak.”
“Alhamdulillah.”
Hajah Bandiah menimbang beras. Rupiah menukar tabung gas kosong miliknya dengan tabung gas yang masih bersegel, yang ada di teras warung.
“Ini beras kamu.” Hajah Bandiah menyerahkan beras lima kilogram dalam tas plastik besar dan tebal warna hitam.
“Terima kasih, Bu Hajah.” Rupiah mengangkat bungkusan beras itu dan meletakkannya ke lantai, di dekat tabung gas.
Hajah Bandiah mengambil kalkulator dari meja kecil, lalu menghitung. “Jadi semuanya, termasuk utang-utang kamu yang tadi dan kemarin-kemarin….”
“Jangan sekarang, Bu Hajah.”
Tangan Hajah Bandiah berhenti menekan tombol-tombol kalkulator.
“Maksud kamu?”
Rupiah menyeringai.
“Saya akan bayar minggu ini, Bu Hajah. Karena minggu ini saya akan dapat rezeki mendadak.”
Hajah Bandiah mendengus, melempar kalkulator ke meja kecil. Kalkulator itu meluncur dan berhenti di tepi meja. Bila saja Hajah Bandiah melempar lebih kencang, pastilah mesin hitung itu jatuh ke lantai keramik.
“Saya ndak mengerti maksud kamu, Rup,” Hajah Bandiah menatap tajam Rupiah.
Rupiah gugup. Ia merogoh potongan koran dari sela-sela kutangnya, membuka lipatan potongan koran itu, dan menunjukkannya pada Hajah Bandiah.
“Lihat ini, Bu Hajah. Ini bintang saya. Taurus. Minggu ini saya akan mendapat rezeki mendadak.”
“Astaghfirullah.” Hajah Bandiah menghela napas. Hajah Bandiah meletakkan kedua siku tangannya ke tepi etalase, sementara kedua telapak tangannya memegang kepalanya yang tertunduk.
“Bukankah ini hari Ahad, Rup? Artinya, hari ini akhir dari minggu ini,” kata Hajah Bandiah dengan suara ditekan.
Rupiah menyeringai lagi.
“Bila begitu saya akan dapat rezeki mendadak hari ini, Bu Hajah. Besok saya akan bayar semua utang saya,” Rupiah melipat lagi potongan koran dan menyelipkan ke sela-sela kutangnya. Rupiah menyambar tabung gas dan bungkusan beras. Buru-buru meninggalkan warung.
“Rupiah!”
Rupiah tak mempedulikan teriakan Hajah Bandiah. Ia mempercepat langkah.
***
Usai maghrib, Karseno pulang dari mengojek. Rupiah membukakan pintu dan melepaskan jaket kulit imitasi warna hitam dari tubuh Karseno. Rupiah menarik tangan lelaki kurus itu ke dapur. Di meja makan yang terbuat dari kayu sengon, sudah tersaji nasi, ikan asin, dan sambal terasi.
“Makan malam istimewa sudah siap.” Rupiah merentangkan tangan kanannya.
Dalam remang cahaya bohlam 5 watt, Karseno memandang makanan di meja makan, lalu beralih menatap Rupiah.
“Kamu masak di mana?”
Rupiah menarik tangan Karseno mendekati kompor gas. Rupiah memutar ke kiri knop kompor. Klik!
“Sudah ada apinya,” kata Rupiah tersenyum, lalu memutar ke kanan knop kompor. Klik!
Kemudian Rupiah menarik tangan Karseno mendekat ke ember penyimpanan beras. Rupiah membuka penutupnya.
“Sudah ada berasnya.” Senyum Rupiah makin lebar.
Karseno mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jin lusuhnya. Menyerahkan selembar uang lima ribuan pada Rupiah.
“Hari ini sepi sekali, Rup. Hanya ini sisanya.”
“Simpan saja, Mas.”
Rupiah menarik Karseno kembali ke meja makan. “Kita makan, yuk.”
Selama makan malam itu Karseno hanya diam. Di depannya, Rupiah tampak lahap menyantap menu istimewa hari itu. Usai makan malam, Karseno bertanya, “Dapat dari mana semua ini, beras dan gas?”
“Rezeki mendadak, Mas,” Rupiah tersenyum.
“Mendadak bagaimana?”
“Namanya mendadak ya kejutan, Mas. Rahasia.”
Karseno menghela napas.
“Kamu utang lagi?”
Rupiah mengatupkan bibir. Menundukkan kepala dan mengangguk pelan.
***
Tengah malam, Karseno terbangun dan keluar dari kamar. Ia menyalakan lampu ruang tengah, melirik jam di dinding ruang itu. Pukul 01.30. Melihat lampu ruang tamu masih menyala, ia melangkah ke sana. Karseno mendapati Rupiah meringkuk di kursi panjang ruang tamu. Pulas sekali tampaknya Rupiah tertidur.
Di meja tamu tergeletak potongan koran dengan banyak bekas lipatan. Karseno membacanya. Sepasang mata Karseno membelalak. Ia berulang-ulang membaca tanggal yang tertulis di pojok kanan potongan koran itu. Di sana tertulis Minggu, 4 Januari 2015. Potongan koran itu edisi beberapa bulan yang lalu.
Karseno tertawa tertahan, tapi seketika ia menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Karseno menatap Rupiah yang masih terlelap di kursi tamu. Dengan masih menahan tawa, Karseno memondong Rupiah menuju kamar tidur.
Karseno membaringkan Rupiah di ranjang besi, yang berkasur kapuk tipis. Ranjang besi warisan orang tua Karseno itu berderit sesaat ketika menerima tubuh kurus Rupiah. Karseno menatap perut Rupiah. Dalam balutan daster murahan, tampak perut Rupiah mulai membuncit.
Karseno menyelimuti tubuh Rupiah dengan kain batik yang sudah pudar warnanya.
Berdiri di dekat ranjang, Karseno memandang wajah tirus Rupiah. Tulang pipi Rupiah menonjol karena bertahun-tahun tidak mendapatkan makanan bergizi. Dari tulang pipi yang menonjol itu, orang-orang sering mengira Rupiah telah berusia 42 tahun, bukan 22 tahun.
Pelan-pelan, Karseno membaringkan tubuhnya di samping Rupiah. Ranjang besi berderit sesaat.
Karseno mencium kening Rupiah. Rupiah menggeliat.
“Rezeki mendadak… apa sudah datang?” Rupiah mengigau.
Tangan Karseno menggapai saklar di dinding kayu dekat kepalanya. Klik! Lampu padam. Senyap.
Batang, 23 Agustus 2015
- Lelaki Pencari Kerja di Taman Kota - 3 March 2017
- Ramalan Bintang - 23 October 2015
Havidz Antonio
Bagus, Mas ceritanya.
Nadia
Ceritanya ringan, unik, dan menarik. Jadi ketagihan bacanya. Permasalahan sosial, ekonomi yang memang dialami dalam realita disuguhkan dengan pengemasan yang apik. Nilai moralnya juga dapat. Terimakasih penulis atas karya yang menggugah selera membaca.