Ramalan di Hari Angin

Original Abstract Painting by Artyom Pelin

 

“Angin! Angin! Tutup pintunya, Revi!” seru Nyonya Sintia sambil sibuk mengaduk-aduk daging dalam panci. Ia belum selesai mencicipi kuah dari sendok sayur ketika Revi bergegas masuk ke dalam dengan membawa keranjang cucian. Nyonya Sintia melihat keranjang cucian yang dibawa Revi masih kosong. “Angkat jemuran! Angkat semua jemuran!” katanya. Revi berbalik sambil menggerutu.

            Di luar angin bertiup sangat kencang. Mengangkat tepian seng rumah, menimbulkan suara gesekan yang menyakitkan telinga. Daun-daun kering dalam gundukan setinggi lutut di halaman yang diniatkan untuk dibakar, kini berhamburan ke mana-mana, menyapu beranda rumah bersama debu, meninggalkan jejak kaki yang kotor setiap berjalan di ubinnya. Kini, hujan juga turun. Hujan dan angin berpadu. Menggoyangkan jemuran dan menjatuhkan beberapa potong baju yang tidak bertahan lama pada gantungan. Juga rok-rok pendek kesayangan Revi. Revi menahan tali jemuran dengan satu tangan dan tangannya yang satu lagi menjepit jemuran yang belum kering benar. Wajahnya tertutup kain seprai yang bergerak kencang ke arahnya.

             “Sialan!” pekiknya. “Aku benci angin. Angin terkutuk!”

            Di hari angin itu, mereka akan kedatangan tamu. Mereka akan kedatangan Paman Beni. Beni Jale, nama lengkapnya. Nama yang terdengar aneh. Tapi, sekarang tidak terdengar aneh lagi kalau menyadari betapa seringnya nama itu disebutkan oleh Nyonya Sintia. Dan setiap Nyonya Sintia menyebut nama itu, Ayah akan bergumam sambil menganguk-angguk, “Oh, Beni? Dia akan datang. Dia pasti datang hari ini,” katanya.

            Revi sedang menyisir rambutnya yang kusut dan merapikan poninya ketika terdengar suara jendela terbanting-banting. Ah, sia-sia. Angin telah mengacaukan semuanya. Angin menyelinap juga dengan leluasa ke kamarnya. Lantai kamar menjadi berdebu. Rambutnya terasa kasar dan kulitnya menjadi kering.

             Bagaimana dengan Ayah? pikirnya. Ayah tertidur di sofa, kedua tangannya terlipat di atas perut, tubuhnya telentang lurus seperti orang mati. Sulit untuk membangunkannya kalau sudah tidur seperti itu, kecuali kalau ada Paman Beni. Paman Beni kapan datangnya, ya? Ini sudah jam berapa? Ayah tidak akan bangun meski di luar terdengar suara derak dahan pohon yang menimpa genting. Revi takut melihat pohon itu kalau hari angin seperti ini. Bagaimana kalau suatu saat aku sedang berdiri di bawah pohon dan dahan itu berderak, patah lalu jatuh. Jatuh menimpaku. Menimpa tubuhku. Tubuhku pasti remuk! Kakiku pasti pincang!

            Pokoknya Ayah akan terbangun kalau Paman Beni Jale sudah datang. Bukankah begitu, Nyonya Sintia? Nyonya Sintia tidak mendengar. Di luar hujan kini turun begitu deras. Bersama angin yang masih bertiup kencang. Nyonya Sintia tidak mendengar suara Revi, “Mama! Paman Beni datang!” Nyonya Sintia masih sibuk mengadu-aduk daging dalam panci. Ia sibuk dengan kebingungannya sendiri setiap kali mencoba resep baru. Apakah ini enak? Perlukah aku menambahkan bumbu lagi? Tapi, Ayah tidak pernah mengeluh kalaupun masakan Nyonya Sintia tidak enak. Ayah akan selalu mengatakannya lezat. Revi tidak pernah memuji. Ia akan menghabiskan masakan Nyonya Sintia saat benar-benar lapar, tapi akan menyisakan makanan yang banyak sekali kalau ia dapat kesempatan ke luar bersama Ayah atau Paman Beni untuk membeli jajanan pinggir jalan.

            “Apakah Paman Beni sudah datang?” Nyonya Sintia baru tiba di ruang tamu. Ia terlihat lelah dan mukanya berkeringat. Ia masih mengenakan celemeknya.

            “Sudah datang! Paman Beni akan membaca kartu katanya.” Revi dan Ayah duduk melingkar sambil bersandar di dekat kaki sofa. Paman Beni duduk di tengah-tengahnya. Wajahnya terlihat serius. Ia mengocok tumpukan kartu dengan kecepatan sedang. Orang-orang menunggu. Paman Beni terlihat ragu-ragu sebelum akhirnya ia berseru.

            “The Sun!” Paman Beni membuka kartu pertama. Ia memperlihatkan kartu bergambar matahari berbentuk wajah manusia. Dua anak kecil sedang bermain dengan riangnya. Tubuh mereka diselimuti sinar matahari yang terang benderang. Ayah tersenyum sedikit, tapi ia belum tampak benar-benar lega. Ada kartu lainnya yang belum dibuka.

            Paman Beni bersorak, “The Empress! Wow!”

            Revi ikut mengucap kata “wow” tanpa seruan. Mulutnya masih membentuk kata “wow” meski ia tidak mengerti apa yang membuat Paman Beni bersorak gembira. Kartu itu bergambar seorang wanita hamil berambut panjang, di dekat tempat duduknya ada beberapa tanaman. Mulutnya menjepit setangkai batang yang mirip seperti batang gandum. Batang gandum merunduk keluar di antara lipatan bibirnya yang indah.

            “Teruskan,” kata Ayah. Kartu-kartu dibuka. Paman Beni terdiam sebentar, tampak berpikir keras. Tangannya menunjuk satu kartu, jarinya diketuk-ketukkan di sana. “The Magician.”

            “Bagaimana? Apa artinya? Apa arti semua kartu-kartu itu?” tanya Ayah.

            Paman Beni tidak menjawab pertanyaan Ayah hingga Ayah tertidur lagi di sofa. Revi masih menemani Paman Beni. Paman Beni menceritakan padanya bahwa membaca kartu adalah pekerjaan yang sangat sulit. “Sama sulit seperti ketika kita menafsir puisi,” katanya. Paman Beni berkata lagi kalau ia masih belajar untuk menafsir kartu-kartu itu, menghubungkan tiap makna satu kartu dengan kartu lainnya hingga membentuk interpretasi yang utuh. Ayah tidak senang kalau Paman Beni hanya mengartikannya secara lumrah saja. Misalnya, ketika Paman Beni membaca kartu “The Chariot”, kartu bergambar seorang lelaki berbaju baja di atas kereta yang ditarik oleh sphinx. Paman Beni berujar bahwa gambar laki-laki dengan kereta sphinx itu menandakan Ayah sebentar lagi akan memiliki motor baru. Nyatanya, Ayah tidak pernah membeli motor baru dan ia masih setia dengan sepeda tuanya setiap berpergian ke mana-mana.

            “Apa? Meramal? Apakah masa depan dapat dilihat?” tanya Nyonya Sintia. Ia yang pertama kali menunjukkan kekaguman ketika dulu Ayah mendatangkan Paman Beni ke rumah dan memperkenalkannya sebagai teman dari masa kecil. Teman dari masa kecil yang hangat.

            Mereka selalu makan “besar” sejak saat itu. Makan “besar” yang dimaksud adalah Nyonya Sintia selalu menyiapkan porsi makanan yang banyak kalau tahu Paman Beni akan datang berkunjung. Seperti biasa, Ayah tidak akan henti-hentinya memuji masakan Nyonya Sintia meski tiap kali mereka makan bersama, wajah Revi memberengut dan terkadang mendadak pucat.

            “Apa yang terjadi, Revi?” tanya Nyonya Sintia.

            “Pedas. Sayurnya terlalu pedas,” kata Revi.

Ayah dan Paman Beni tertawa. Mereka makan lebih banyak. Setelah itu, belajar membaca kartu. Makan lagi lalu menafsirkan kartu. Begitu seterusnya.

            Cuaca begitu buruk selama beberapa hari terakhir di bulan Desember. Sore itu, Revi mengetahui Ayah sedang kesulitan mengeluarkan sepeda dari garasi. Sepedanya terimpit di tengah lorong yang tinggal menyisakan ruang sedikit karena sudah terisi ban mobil. Revi memohon kepada Ayah agar diikutkan dalam tamasya sepeda yang sebenarnya ingin dilakukan Ayah sendirian. Tidak bersama Revi? Tidak. Apa Nyonya Sintia ikut? Tidak. Ayah hanya ingin sendiri.

            Mereka tetap pergi juga akhirnya. Berdua saja. Sebelumnya, Nyonya Sintia menggerutu mengapa harus pergi bersepeda saat angin sedang kencang-kencangnya. Ayah mengatakan bahwa ia bosan berdiam diri terus di rumah. Ia ingin melihat keadaan luar. Nyonya Sintia mengizinkan dengan syarat mereka harus mengenakan jaket. Ayah mengangguk. Ia mengenakan jaket cokelat yang dahulu sering dipakainya saat pergi kencan dengan Nyonya Sintia di masa mereka masih saling mengenal satu sama lain.

             “Apa kau ingat tentang jaket ini?” tanya Ayah.

            Nyonya Sintia terdiam sebentar. Ia tampak berpikir lalu tiba-tiba menepuk pundak Ayah. “Ayo cepat dipakai!”

            Nyonya Sintia mengenakan jaket ke tubuh Revi lalu mengikatkan syal kencang-kencang di lehernya. Mereka pergi, melambai, sebelum benar-benar hilang di tikungan. Nyonya Sintia baru ingat sesuatu lalu berseru kencang, “Beni akan datang membaca kartu malam nanti! Jangan lama-lama perginya.”

            Ayah menaiki tanjakan yang cukup tinggi. Tanjakan yang menghubungkan kompleks perumahan yang ditinggali dengan jalan besar. Sesudah melewati tanjakan itu, maka akan ditemui jalan dengan dua arus kendaraan yang berlawanan. Ayah bersepeda di pinggir jalan, benar-benar di pinggir hampir mendekati bibir selokan sambil sesekali memperingatkan Revi agar tidak banyak bergoyang di atas boncengan. Klakson mobil dan motor bersahut-sahutan seolah berseru, “Hei! Minggir kamu!”

            Sepeda mereka melaju pelan. Revi merentangkan tangan, membiarkan jari-jarinya bersentuhan dengan pucuk-pucuk bunga liar. “Alangkah indahnya. Sore hari yang mendung….” Revi bernyanyi. Ia senang membayangkan rumah mereka akan ramai lagi oleh kedatangan Paman Beni yang akan menceritakan soal kartu-kartu. Kartu-kartu yang cantik. Kartu-kartu yang mendatangkan kabar baik.

            Malam itu sepertinya, kartu-kartu yang semula diharapkan Revi mendatangkan kabar baik, tapi yang muncul menurut Paman Beni adalah kartu-kartu yang buruk. Revi terkesima. Ia tidak percaya. Benarkah ada kartu-kartu buruk? Paman Beni menunjukkannya. Salah satu dari kartu yang terbuka di atas meja bernama “Five of Cups”. Kartu itu bergambar seseorang, entah ia laki-laki atau perempuan sedang duduk menekukkan lutut, wajahnya ditenggelamkan di antara kedua lututnya. Ada lima piala mengitari laki-laki atau perempuan itu. Piala berwarna emas. Kartu itu dilatari warna biru gelap bercampur kelabu. Suasana latar kartu itu mengingatkan Revi dengan langit mendung di hari angin kencang itu.

            “Berat. Hmmm…. Benar-benar berat,” gumam Paman Beni. Dahinya berkerut. Berkali-kali ia menggelengkan kepala. Revi tetap tidak mengerti mengapa kartu-kartu yang dikeluarkan kali ini dikatakan membawa energi buruk. Baginya, lukisan pada tiap kartu  itu begitu menarik, indah, dan terlihat sama saja cantiknya dengan kartu-kartu yang dikatakan Paman Beni sebagai kartu-kartu yang baik.

            “Sudahlah. Toh ini hanya tafsiranmu saja. Bukankah ini semua hanya perkara tafsir?” Ayah tersenyum  dan menepuk-nepuk bahu Paman Beni. Mereka makan “besar” lagi malam itu. Nyonya Sintia terlihat sudah bekerja sangat keras untuk menyiapkan makan malam yang “besar” itu.

* * *

Beberapa hari kemudian, Ayah sakit. Ia demam tinggi. Ia mengeluh tubuhnya terasa pegal-pegal. Tapi, bukan pegal yang biasa. Kali ini, otot-ototnya dirasakan seperti telah dipaksa melakukan pekerjaan yang begitu berat hingga tibalah kini ia merasakan akibatnya. Apakah malaria? Nyonya Sintia khawatir. Ia teringat dengan ramalan Paman Beni. Benar bukan apa yang dikatakan kartu-kartu Paman Beni itu? Sudah, sudah, tak ada hubungannya dengan kartu itu, kata Ayah. Ayah teringat pengalamannya bersepeda di sore hari yang berangin kencang. Mungkinkah karena angin sore itu? Angin terkutuk. Huh! Benar-benar! Tapi, Revi ikut bersepeda saat itu, bukan? Apakah ia baik-baik saja? Ya, Revi baik-baik saja. Oh, syukurlah.

            Selama Ayah dirawat di rumah sakit, Paman Beni semakin sering datang berkunjung ke rumah. Ia membawa kartu-kartu, tentu saja. Tapi, tidak ada yang berminat membaca kartu. Tidak ada yang ingin tahu tentang kartu-kartu. Tidak adakah juga yang ingin melihat masa depan? Revi menggeleng sedih. Tapi, ia meminta Paman Beni meramalkan apakah Ayah akan sembuh dalam waktu dekat dan bisa bersepeda lagi.

            “Itu sulit. Aku tidak tahu apa pun. Tapi, mari coba kita lihat.” Paman Beni mulai mengocok kartu, membaginya dalam beberapa tumpukan. Mula-mula ia mengambil satu kartu lalu membukanya di atas meja. Kartu itu bergambar seorang wanita yang bersembunyi di balik pohon dan sedang menatap sesuatu yang sangat jauh. Paman Beni membuka kartu yang lain lagi. Kartu kedua, ketiga, keempat, kelima… berhenti, jangan diteruskan! Semua kartu itu benuansa kelabu dan memiliki simbol yang serupa dengan gambar piala yang melayang-layang.

            “Aku tidak mengerti,” sahut Revi. “Apakah Ayah akan sembuh lalu membawa pulang piala-piala?”

            “Sepertinya ini tidak akan menghiburmu. Ayo, kita lakukan sesuatu yang lain saja.”

            Hari demi hari berlalu. Angin setiap hari. Nyonya Sintia secara rutin menjenguk Ayah, membawakan makanan yang sudah disiapkan dalam rantang bersusun-susun. Ia tidak memasak sesuatu yang “besar” karena Ayah tidak akan mampu makan banyak. Ayah membuka mulut lama sekali dan menguyah makanan begitu lamban. Ia seperti mengerahkan segenap tenaganya hanya demi mengunyah sesendok nasi.

            “Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja,” kata Paman Beni menghibur Nyonya Sintia setiap kali terdengar suara sesenggukan dari dalam kamar. Revi mendengar suara sesenggukan itu yang sesekali ditingkahi suara menenangkan dari Paman Beni.

            “Jangan terlalu dipikirkan. Aku tahu dia seorang yang kuat. Penyakit itu tidak akan membunuhnya.” Kata-kata Paman Beni menyusup keluar dari balik gorden kamar Nyonya Sintia yang berayun-ayun tertiup angin.

            Revi tahu berhari-hari kemudian kemungkinan Ayah akan kembali ke rumah sangat tipis. Seperti keadaan tubuh Ayah yang semakin tampak mengecil saat Revi terakhir kali menjenguknya. Angin itu telah menyakiti Ayah.

            Paman Beni dan Nyonya Sintia semakin sering berpergian. Mereka mengatakan akan ke rumah sakit. Tapi, Revi melihat tidak ada rantang makanan yang dibawa. Dan kepergian mereka lama. Begitu lama. Revi duduk di beranda. Sendirian. Ia mengamati tumpukan daun kering yang sudah ia susun menyerupai bukit kecil. Angin itu datang kembali. Segera saja menyapu bukit kecil itu. Halaman yang tadi bersih tertutupi lagi oleh daun-daun kering yang kini berhamburan. Saat melihat daun-daun yang berputar-putar dalam tiupan angin, Revi mendadak teringat pesan Nyonya Sintia.

   “Jangan lupa angkat jemuran, Revi.” Pesan itu terngiang-ngiang di kepala, tapi ia belum juga beranjak dari beranda.

Iin Farliani
Latest posts by Iin Farliani (see all)

Comments

  1. Nisa Reply

    Wah, endingnyaaa

  2. sarah Reply

    sebentar, kok saya tidak mencerna apa maksudnya……

    • yanmalnadaa Reply

      sama, tapi memiliki makna tersirat sebenarnya yang sedikit klise…

  3. Ahmad Sukirno Reply

    Yang saya tangkap dalam cerita ini adalah : Nyonya Sintia berselingkuh dengan Beni. Mungkin makanan ayah diberi racun oleh nyonya Sintia bertepatan dengan hari angin.

  4. Raelveera Reply

    Sungguh karya yang luar biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!