Randuse dan Seorang Kawan Fisika

Randuse berbaring di atas rumput. Angin berembus pelan. Menyentuh hidung, mata, dan setiap organ tubuhnya. Ia merasakan dingin yang tak biasa. Diamatinya langit yang luas, langit yang biru, atau langit yang memang tak pernah biru. Sebuah sinar menerpa wajahnya, ia merasa silau dan sesaat memejamkan mata beberapa detik. Ia buka kembali kedua mata itu, sesaat seperti hitam, beberapa detik sebelum semua terang.

Ia kenang ucapan seorang teman, namanya Hariri, pemuda kurus yang mengambil jurusan fisika dan masih semester satu. “Bumi itu datar, Randuse. Hanya sebuah hamparan,” ucap Hariri begitu yakin pagi itu. Ia baru saja membuatkan segelas teh untuk Hariri. Ia merasa menyesal telah menyeduhkan teh itu. Ia hanya manggut-manggut.

“Gravitasi hanya bohong belaka.” Hariri menambahkan sembari mengeluarkan hardisk-nya yang banyak berisi file tentang bumi datar. Randuse mengambil hardisk itu, mencolokkannya pada laptop Asus miliknya. Beberapa saat ia tertegun. Menonton video itu, meski sebenarnya ia tak pernah tertarik. Namun ada sesuatu yang terasa terus mendorongnya untuk menuntaskan video itu. Ia lumat habis selama dua hari.

Kemudian saat Maghrib, ia mulai meragukan bumi yang berputar, ia meragukan Amstrong yang pernah mendarat di bulan, ia juga meragukan adanya planet-planet lain. Ia terus merenung sampai pada pagi tadi. Saat ia membuka mata dari tidur yang panjang. Ia merasakan sesuatu di pandangannya tak fokus, sedikit blur. Ia menatap lemari di kamar, lemari itu blur. Ia menatap jam yang tertempel di dinding, angka-angka pada jam itu blur seperti bergerak-gerak. Ia mencoba duduk di atas ranjang, namun sial, semua terasa bergoyang hebat. Bahkan ia tak sanggup duduk lagi dan hanya bisa berbaring.

Beberapa detik goyangan besar itu terasa. Ia kira ada gempa atau mungkin saja bumi diserang makhluk lain. Sekitar satu menit, semua tenang. Hanya tertinggal pusing hebat di kepalanya. Pandangannya masih tak bisa fokus. Ia mencoba duduk dengan perlahan, goyangan besar itu tak lagi ada.

Sore hari, ia memeriksa pada rumah sakit swasta. Dokter Fransiska geleng-geleng dan mencoba tersenyum saat menjelaskan.

“Kamu vertigo. Mungkin disebabkan radang pada bagian tenggorokan atau telinga.”

Ia melongo. Biasanya vertigo ia baca pada internet, dan hari ini ia benar-benar terserang penyakit itu.

“Vertigo adalah sebuah peristiwa di mana kita merasakan sensasi bergoyang, atau merasakan tubuh kita sendiri yang bergoyang,” Dokter Fransiska menambahkan. Dokter itu bicara lembut, menambah kecantikan khas di wajahnya.

“Sekarang cek lab, untuk memastikan apa faktor utama penyebab vertigo yang kamu derita.” Dokter itu kembali bicara sembari membuat tanda centang pada selembar kertas uji lab. Ia mencentang apa saja yang akan dicek.

***

Ia berbaring di atas rumput. Ingin saja secepatnya ia bertemu dengan Hariri, pemuda kurus pengagum teori bumi datar itu hanya untuk bilang: Aku tak percaya teori bumi datar. Kemarin saat terbangun, aku rasakan bumi bergoyang, aku rasakan gravitasi menarik-narik tubuhku ke kanan dan ke kiri.

Tapi ia yakin temannya itu pasti akan menyanggah dan berucap, “Ah, kau belum tonton videonya sampai tuntas. Pasti kau belum tonton.”

Mungkin akan terjadi perdebatan panjang atau ujung-ujungnya kawan tersebut akan memutuskan nginep di kamarnya. Dan ia sungguh akan malas membuatkan segelas teh apalagi memberi makan kawan yang tak pernah satu pandangan itu. Tapi sore ini, angin bertiup perlahan, menerpa mata, hidung, dan semua organnya. Ia coba menatap sesuatu yang jauh, mencoba fokus, sebab itu juga salah satu cara mengurangi vertigo, menurut penjelasan Dokter Fransiska. Ia mengamati daun kelapa yang melambai, ia mengamati sebuah tower tinggi. Ia sesaat memejamkan mata, membukanya lagi.

***

Ia mencoba membuka YouTube. Melihat video terapi menghilangkan vertigo. Dalam video itu tutorial dilakukan oleh seorang bule perempuan. Bule itu menggunakan singlet dan celana training. Terapi dari si bule mirip seperti gerakan shalat. Diantaranya; sujud beberapa detik, menunduk seperti gerakan rukuk, bahkan nengok kanan kiri seperti salam pada saat shalat. Ia mencoba melakukan itu di kamar. Ibunya mengintip dari pintu, ia bersyukur pada Tuhan anak lelakinya akhirnya shalat juga.

Terapi itu terus ia kerjakan setiap ada waktu. Rasa pegal di leher belakang dan pusing di kepalanya bisa berkurang. Kemudian tak sengaja ia membuka situs online. Ada sebuah cerpen yang menceritakan Neil Amstrong. Konon, paragraf terakhir di cerpen itu, ada kalimat yang menyatakan Neil Amstrong saat mendarat di luar angkasa ia mendengar suara Adzan.

Ia hanya geleng-geleng dan mengumpat dalam hati, “Cerpen absurd!” Berkali-kali ia mengumpat. Ia malas lagi membaca. HP pintarnya ia letakkan dan kembali ia melakukan terapi vertigo itu. Kali ini, giliran bapaknya mengintip dari pintu. “Alhamdulillah, ia sudah berubah, Tuhan,” ucap lelaki paruh baya itu.

***

“Setelah saya periksa hasil lab-mu, ternyata, selain vertigo, kamu juga positif diabetes. Gula darahmu 340. Waoow….” Dokter Fransiska tercengang. Saat itu ia ngontrol lagi setelah dua hari dari jadwal kontrol pertama.

Ia hanya terdiam dan memaki dalam hati. Menyebut semua nama binatang, namun berusaha terlihat tegar di depan dokter cantik itu.

“Jauhi yang manis-manis,” pungkas Dokter Fransiska sembari menuliskan resep obat untuknya. Ia berusaha mengangguk namun terus mengumpat dalam hati.

Ia mulai menjauhi Abida, perempuan berjilbab yang baru dua bulan ini menjadi kekasihnya. Sebab wajah Abida manis dan dokter bilang jauhi yang manis-manis. Abida juga sering membuatnya kesal, tiap kali kencan, perempuan itu selalu ceramah ngomong surga dan neraka. Dan ini adalah alibi yang kuat untuk bisa menjauh darinya. Ia juga membuang semua gula di stoples, dan ia yakin kawannya yang anak fisika itu akan mulai malas bertamu jika ia menyuguhkan teh pahit tanpa gula. Ia senyum sesaat memperhatikan beberapa lembar obat yang ia tebus di apotek. Ia hanya menunduk saat membayar obat itu, sebab pegawai apotek yang melayaninya memiliki wajah yang manis dan musti dihindari.

“Kamu masih yakin bumi bulat?” Sebuah pesan datang dari kawan fisikanya itu. Ia merasa kesal lalu jempol tangannya mengetik dengan cepat.

“Asu, babi, monyet, lonte.” Balasan yang ia ketik. Selang beberapa menit balasan kawan fisika itu datang. “Maksudmu apa, Bro? Orang berpendidikan kok bilang seperti itu.”

“Maaf salah kirim.” Ia membalas. Sembari terus memaki dalam hati. Kemudian ada tiga pesan beruntun dari Abida, ia sama sekali tak membuka dan memilih memasukkan hapenya dalam saku.

***

Malam hari selepas minum obat, ia merasakan ranjangnya bergoyang pelan. Ia berusaha memejamkan mata agar goyangan itu tak terasa semakin hebat. Hingga ia bisa terlelap dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat tubuhnya sendiri melayang jauh. Seakan menembus langit yang katanya biru. Ia rasakan tubuhnya terombang-ambing. Ia dilanda rasa takut. Benar-benar takut. Sampai sebuah bayangan hitam melayang menghampirinya dan memeluk tubuhnya. Ia merasakan dingin yang luar biasa ketika bayangan hitam itu mendekapnya sedemikian erat. Ia dan bayangan hitam itu melesat cepat melebihi kecepatan udara.

Ia dibawa pada sebuah tempat yang segalanya berwarna putih. Ia tiba-tiba ingin makan apel. Ia sampaikan keinginan itu pada bayangan hitam. Dalam sekejap, apel ranum sudah berada di tangannya. Ia melahapnya dengan cepat. Kemudian si bayangan hitam berucap. “Kau lihat dua pintu itu?”

Ia mengusap matanya. Kepulan asap terlihat, lalu memudar dan muncul dua buah pintu. Ia mengangguk.

“Pintu pertama, jika kau membuka, ada sebuah sungai yang dialiri madu dan segala vitamin. Kau bisa berendam dan secepat kilat kau akan merasakan tubuhmu begitu bugar. Pintu kedua, akan kau jumpai tujuh perempuan cantik yang siap mencumbuimu.” Suara bayangan hitam itu nyaring. Persis seperti suara seng yang terkena rintik hujan.

Sehabis berucap, bayangan hitam itu memudar dan hilang. Ia berjalan ke arah dua pintu tadi. Ia merasakan segenap anggota tubuhnya gemetar. Angin tiba-tiba bertiup kencang. Perlahan ia membuka pintu pertama, ia terperangah, tak ada apa-apa di dalam sana. Hanya kosong. Ia mundur beberapa langkah kemudian berjalan mendekati pintu kedua. Ia buka perlahan, kosong juga, tak ada apa-apa. Ia mengumpat dalam hati.

Ia tersadar dari mimpi itu dan terbangun saat suara pintu kamarnya diketuk puluhan kali dengan keras. “Randuse, sudah jam tujuh. Kamu tak shalat Subuh!” teriak ibunya dari luar. Suara ibunya nyaring persis suara seng terkena rintik hujan.

Ia buru-buru membuka pintu. “Randuse, kamu bangun telat. Shalat Subuh lewat. Itu ada temanmu menunggu di ruang tamu. Sudah lima belas menit ia menunggumu.” Suara Ibunya masih nyaring seperti suara seng terkena rintik hujan.

Ia bergegas berjalan ke ruang tamu. Ia melihat wajah yang tak asing. Wajah itu adalah milik kawannya yang kuliah mengambil fisika. Ia mengumpat dalam hati dan menyesal bangun dari tidurnya. (**)

Majidi, 2018.

Rifat Khan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!