
Waktu terasa begitu cepat. Perasaan baru kemarin, tepat akhir bulan Desember 2014, saya membayangkan bagaimana rasanya menghadapi tanggal 28 Maret 2015 dengan memakai gaun yang saya pikir hanya dipakai dua kali seumur hidup. Ya, resolusi saya tahun di 2015 yang paling utama cuma satu: wisuda.
Setelah beberapa bulan menjadi skripsi warrior dengan senjata the power of kepepet (nasib mahasiswa semester pucuk), tepat sehari sebelum MotoGP perdana di Qatar digelar, akhirnya saya ditakdirkan juga memakai toga dan telah SAH jadi sarjana, serta lulus dengan predikat WAH (Wah, tujuh tahun baru kelar). Eh, jangan salah, nilai IPK saya 3,57. Dan berkat nilai segede itu, cita-cita “tujuh tahun baru ikhlas diwisuda” akhirnya tercapai. Saya sih biasa aja.
Meskipun, saya bisa dikenang sejarah berkat si “mbak” skripswet yang aduhai tebalnya. Bu Kajur dan Pak Dekan tahu itu. Bukan sombong, sih. Saya hanya ingin membuktikan kepada situ bahwa sehebat apa pun resolusi yang situ buat, bila minim aksi, situ tidak akan dikenang sejarah.
Begitulah kilas balik resolusi saya di tahun 2015. Meski dalam hati aslinya saya bertanya-tanya: bukankah di dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan, kalau sebetulnya belajar itu thuluz-zaman (sepanjang masa, tak ada batasnya). Lah ini cuma dibatasin 14 semester? Kira-kira cita-citanya kampus apa coba? Padahal, kalau diibaratkan tanaman, akar-akar perasaan saya sebetulnya sudah menancap kuat mulai dari halaman parkir, kantin, perpustakaan, hingga setiap ruang di fakultas. Chemistry kami begitu kuat. Namun apa daya, Pak Rektor justru tega memisahkan saya dengan civitas kampus, mencabut akar itu dengan ancaman DO.
Bapak pura-pura tidak melihat kenyataan kalau di luar sana begitu banyak sarjana yang belum move on lantaran berpisah dari kampusnya lalu menjadi pengangguran? Mereka bukan Mario Tangguh, Pak!
Tiba-tiba hujan turun. Deras sekali.
***
Hidup pascakuliah memang sesuatu banget. Salah satunya, belakangan saya menjadi sering lupa hari saking sibuknya mencari kesibukan yang berarti. Saya hanya ingat tanggal dari layar smartphone yang sudah saya anggap soul mate, yang setia nempel saban waktu. Barangkali inilah namanya kehidupan pascakampus. Saya baru tahu.
Bagi sebagian sarjana, hidup pascakampus bagai bencana, karena rentan dikepung keresahan: keresahan tentang hidup yang diciptakannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang diri, tentang kehidupan, berlintasan saban waktu. Pertanyaan tentang masa lalu, hari ini, dan masa depan, berseliweran di pikiran.
Bagaimana hari esok; enaknya kerja apa dan di mana; kapan dipertemukan dan disatukan dengan belahan jiwa; katanya kalau jodoh tidak akan ke mana, tapi di mana; kapan menikah; mengapa skor TOEFL saya jadi khilaf begini; mengapa orang lain bisa kuliah ke luar negeri; mengapa orang lain bisa membeli rumah; mengapa pasangan orang lain cakep; dan sebagainya. Sebagian mereka bahkan tak mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya sendiri, sehingga ada yang berhenti atau lambat melangkah karena masa lalu, dan ada pula yang kalah menyerah karena ngerinya wajah masa depan.
Sebagiannya lagi, sembari bertanya-tanya tentang nasib hidupnya, mengharapkan nasib baik tanpa mau bersusah payah. Berharap keberuntungan datang tanpa merasakan letihnya perjuangan. Biar diakui bahwa dia lulusan UIN, dia pun berdoa kepada Tuhan layaknya orang tinggi asa, tapi sekaligus putus asa. “Ya Tuhan, hamba ingin, kelak hamba menjadi orang yang hanya dengan duduk-duduk saja sambil goyang-goyang kaki bisa mendapat rezeki. Amin.” Dua tahun kemudian, doanya benar dikabulkan sama Tuhan. Jadilah dia seorang penjahit. Saya tidak tahu mesti bersyukur atau bersedih.
Ya, beragam pertanyaan tentang kehidupan bisa muncul setiap hari di pikiran. Bisa bergantian. Bisa berulang-ulang diperbaharui di ingatan.
Memang, sejatinya, baik para sarjana maupun manusia pada umumnya, pasti pernah dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang diri dan kehidupannya. Kita pun lantas menjadi resah ketika dihadapkan pada ketidakpastian. Cemas dan khawatir memikirkan masa depan. Kita tidak pernah tahu bagaimana hidup kita di masa depan nanti. Beruntung saya pernah kenalan sama Kierkegaard yang mengingatkan bahwa kekhawatiran (dan sejenisnya) merupakan sikap berlebihan dalam memandang rendah diri sendiri. Nasihat yang sangat bagus, meski saya masih saja gemetar karena ketidakjelasan itu.
Satu-satunya hal jelas yang kita miliki adalah hari ini sebagai peluang dengan segenggam pelajaran berharga yang kita peroleh dari masa lalu. Bukankah terkadang hidup begitu tegas tak menawarkan kesempatan lebih dari sekali, dan kita mesti menerima peluang yang ditawarkan olehnya?
Tentu, kita tidak perlu menunggu pergantian tahun agar kita menjadi orang baik. Tidak harus membuat resolusi besar agar kita menjadi orang hebat. Tapi, okelah, berhubung sekarang ramai orang nge-mention resolusi awal tahun, ini bisa menjadi momentum tepat bagi saya untuk memekikkan resolusi: peningkatan diri menuju pencapaian-pencapaian.
Setiap tahun baru, kita memang sering diajak memikirkan dua hal: mengulas balik apa-apa yang sudah dijalani di tahun lalu, dan membuat resolusi dalam rangka memasuki tahun ini. Bisa dengan membuat to do list semacam agenda kerja maupun semacam harapan-harapan yang ingin diwujudkan, baik yang tamanni (mustahil dicapai) maupun tarajji (bisa dicapai).
Untuk tahun 2016, saya punya to do list begini: ketika kawan-kawan dan keluarga sering bertanya saya mau jadi apa, dan ketika sebagian kawan yang sarjana kebingungan mau melangkah ke mana, saya justru kebingungan dan bertanya-tanya, kira-kira Tuhan menghendaki saya menjadi (si)apa?
Saya juga bertanya-tanya, mengapa proses untuk menuju status ‘menjadi’ hingga benar-benar ‘menjadi’ kerap terkotori oleh tujuan materi, hingga pikiran kita melulu terkuras? Saya kira ini bukanlah sebuah proses yang progres, karena pada akhirnya hanya akan membuat banyak manusia bak robot. Sayangnya, sebagian kita mengamininya, bukan?
Okelah, hari ini saya mampu berkoar begini, tapi diam-diam besok saya bisa khilaf ikut arus fulusisasi-kapitalisasi—yang kini sudah menyebar hingga ke pelosok kampung-kampung. Bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh lembaran fulus. Dan jujur, ketika mata ngantuk, lalu disodorkan lembaran-lembaran merah bergambar presiden RI pertama dan wakilnya, mata jadi segar kembali. Serasa Ashabul Kahfi yang terbangun dari tidurnya selama tiga ratusan tahun dan kemudian melihat keindahan dunia yang segar-segar.
Bagi seorang sarjana yang masih single (kalau tidak mau disebut jomblo), seperti kawan-kawan saya, resolusi (to do list) yang dibuat memang tidaklah jauh dari yang namanya melamar. Bila bukan melamar pekerjaan, itu barangkali lamaran pernikahan, atau lamaran ke beberapa kampus untuk melanjutkan studi magisternya.
Terhadap resolusi apa pun yang ingin dicapai, kita mesti paham bahwa kepastian akan pencapaian itu bukan sesuatu yang datang sendiri, tetapi perlu diperjuangkan. Kita adalah pendaki yang bergerak menuju puncak resolusi. Bukan diam di tempat dan bertanya-tanya. Sebab, jangan-jangan puncak tujuan (resolusi) sejatinya bukanlah tujuan itu sendiri. Barangkali perjalanan menuju ke sanalah yang menjadi tujuan sejati. Karena sering kali, Tuhan menaburkan banyak pelajaran di setiap perjalanan, di setiap menuju tujuan.
Maka saya lantas meyakini bahwa melangkah berarti mendekati tujuan. Bila pun gagal mencapai tujuan, karena kepastian memang bukan sesuatu yang mesti sama dengan yang kita harapkan, kepastian akan memberikan jawaban yang terang: apakah pertanyaan kita terjawab “ya” atau “tidak”. Bila tidak, tentu kita boleh ngetwit atau update status seperti ungkapan klise: “Semua akan indah pada waktunya.” Meski saya pribadi lebih suka pada prinsip: “Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Jika ternyata buruk, itu berarti belum berakhir.”
Boleh dicoba!
- Resolusi 2016 Sarjana - 21 January 2016
Izhary
Serasa membaca kondisi sendiri saat ini. 😀