Judul : Agama Ketujuh
Penulis : Romi Zarman
Penerbit : Tjatatan Indonesia
Cetakan : Februari, 2016
Tebal : 50 halaman
ISBN : 978-602-7128-7-3
Peresensi : Benny Arnas
Seperti Joss Whedon, sutradara film “Avenger”, yang mengumpulkan para superhero—Hulk, Captain America, dan Iron Man—untuk bersatu melawan Loki, Romi Zarman melakukan hal-serupa-tapi-tak-sama melalui buku fiksi debutnya bertajuk Agama Ketujuh.
Dalam buku fiksi debutnya tersebut, penulis mengumpulkan Rahma (tokoh yang diambil dari novel Didjemput Mamaknja, Hamka), Nurbaya dan Samsul Bahri (Sitti Noerbaja, Marah Roesli), Midun dan Tuanku Laras (Sengsara Membawa Nikmat, Toelis Soetan Sati), Poniem (Merantau ke Deli, Hamka), Hanafi (Salah Asoehan, Abdoel Moeis) … namun bukan untuk menghadirkan cerita (super)hero(ik), bahkan Agama Ketujuh tidak menghadirkan tokoh antagonis primer sebagaimana Avenger menghadirkan Loki.
Namun, tentu saja tulisan ini tidak bermaksud membandingkan keduanya.
Agama dan (ke)budaya(an)
Agama Ketujuh mengetengahkan respons neraka terhadap adat-istiadat yang sudah turun-temurun dianut oleh masyarakat Minangkabau—meskipun negara (Indonesia) tidak mengakuinya secara resmi (sampai hari ini negara hanya mengakui Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu sebagai agama resmi untuk penduduknya).
Agama ini memosisikan mamak (paman) sebagai semacam muara atau bahkan “pusat” dari kebijakan, nasihat, atau bahkan perintah. Apa yang menjadi titah mamak selayaknya dipatuhi, dan tentu saja diimani. Superioritas mamak digambarkan menafikan peran orang tua, alim ulama, atau orang-orang yang mungkin saja dalam kehidupan awam—kata dan lakunya—dapat dijadikan teladan dalam menjalani kehidupan.
Kenyataan itulah yang dilawan oleh tokoh-tokoh dalam novel ini. Perlawanan itu muncul (bagai) tak disengaja dalam perdebatan mereka dengan malaikat di neraka. Perdebatan-perdebatan itu secara terang-terangan hendak mendiskreditkan budaya Minang yang khas dengan matrilinealitasnya, meskipun di sisi lain ia sebenarnya menyajikan hamparan pemaknaan baru terhadap biasnya realitas adat-istiadat (bahkan kebudayaan) di berbagai tempat di bumi sehingga kerap menjadi liyan yang bukan hanya tidak bersahabat, tapi juga memilih tempat yang berseberangan dengan agama (samawi).
Proporsionalitas Peran Tokoh
Agama Ketujuh memberikan ruang bagi tokoh-tokoh (novel) legendaris untuk berkembang dengan berimbang, sehingga tidak ada yang mencolok tampil sebagai “pemimpin”. Memang, tokoh Rahma dimunculkan agak lebih banyak, seolah diposisikan sebagai bingkai cerita, namun citranya tidak terlalu terang di mata pembaca. Inilah yang membuat distribusi keresahan dan konflik kultural yang menggeliat dalam ingatan para tokoh utama, berjalan menarik.
Neraka yang menjadi latar membuat setiap tokoh merasakan bagaimana absurdnya keberadaan “tempat pembuangan manusia berdosa” itu. Bagaimana mungkin di dalam neraka, tiap (calon) penghuninya dapat bercakap-cakap dan berdiskusi seperti di dunia (hlm. 19-22, dst.), bahkan mendebat malaikat apabila mereka merasa hukuman yang mereka terima tidak sepadan dengan apa yang mereka lakukan di dunia (hlm. 31, dst.).
Dialog-dialog antara Rahma atau tokoh-tokoh lain dengan malaikat membuat prosa ini memiliki ketegangan tersendiri. Bahkan hal-hal mustahil pun mampu terjadi; bagaimana Sutan Mahmud yang merupakan mamaknya Nurbaya yang baru saja akan melangkahkan kakinya ke surga dicegah oleh malaikat karena keterangan ayah Nurbaya yang memberatkannya (hlm. 16-17). Agama Ketujuh seolah menawarkan bentuk pengadilan akhir manusia yang lebih manusiawi, yang mengulik muasal seorang manusia bisa hadir dalam bentuknya yang liat hingga Hari Akhir; seseorang yang lahir dan tumbuh di bawah matahari warna merah tak semestinya dinilai dengan kacamata warna biru—siapa pun pemilik kacamata itu!
Dan suara-suara para tokoh yang muncul dengan lincah dan dinamis dalam tiap bagiannya membuat “penawaran” itu menjadi sebuah chaos yang artistik sebab pembaca mau-tidak-mau harus terlibat atau paling tidak menjadi saksi hari akhir dengan aturan dan atmosfer yang genuine; komedi minus tawa, ketegangan tanpa pertengkaran fisik, perdebatan sesuai dengan keyakinan masing-masing—bukan dengan keyakinan sang malaikat.
Neraka ala Indonesia
Ketika mengambil neraka sebagai latar cerita dan di waktu yang bersamaan Agama Ketujuh memosisikan dirinya sebagai karya dengan konteks, teks, kuasa, jangkauan, dan citarasa yang sangat lokal, sejatinya Romi sedang menampilkan padang cerita yang ambigu dan berisiko chaos, tentu saja; Bagaimana mungkin di neraka, tokoh-tokoh yang lalu-lalang di dalamnya hanya bergumul dengan enam agama resmi di Indonesia ditambah dengan agama ketujuh yang sangat lokal tersebut, bagaimana mungkin wilayah makrokosmos “dipaksa” menerima hal-hal yang sangat lokal untuk menjadi asumsi universal—kehidupan di surga dan neraka ….
Namun pertanyaan itu takkan lama berkelebat di kepala pembaca ketika di akhir cerita, Agama Ketujuh “membunyikan” subtext-nya: Apa yang diimani hari ini adalah sangat mungkin bukanlah keimanan yang murni bersandarkan pada Tuhan, pada keyakinan yang ajek. Kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tidak dapat serta-merta dianggap sebagai kekayaan dan kearifan lokal, namun ia juga tidak dapat secara terang-terangan dianggap sebagai sebuah atraksi atau kekosongan yang meminjam estetika sebagai tamengnya. Urusannya adalah sebertanggungjawab apa manusia dengan apa-apa yang diyakininya, dengan apa-apa yang dijalaninya, termasuk kebudayaan (apa pun dan di mana pun itu!)—seterpaksa apa pun itu! (*)
- Puisi Benny Arnas - 20 February 2024
- Tenang, Pelan, dan … Mengerikan - 25 November 2022
- On, Perpisahan Itu - 23 September 2022