Salah Kaprah Pemaknaan “Jahili”
Pelajaran sejarah Islam konvensional turut bertanggung jawab dalam menciptakan pemahaman dangkal banyak orang yang masih berasumsi bahwa era Jahili/Jahiliyah adalah era kebodohan. Seolah, sebelum Islam datang, masyarakat Arab hanyalah sekumpulan orang-orang bodoh, tidak berpengetahuan, kolot, dan tidak berperadaban. Konstruksi berpikir seperti ini nyaris dialami oleh tidak sedikit anak-anak sejak di bangku sekolah dasar. Akibat dari cara penyajian sejarah Arab-Islam dengan kaku, maka dampak yang ditimbulkan cukup serius. Seolah menjadi doktrin, anak-anak malang tersebut mendapatkan pelajaran sejarah yang sangat tidak berimbang.
Kalaupun mau berapologi bahwa tujuan sejarah Arab-Islam disajikan secara dogmatis hanya demi mengesankan superioritas Islam yang begitu adilihung, hal itu sah-sah saja. Namun, para pelajar yang masih polos tersebut juga wajib diselamatkan agar tidak semakin terjebak ke dalam kungkungan sejarah yang berbahaya bagi masa depan mereka.
Syauqi Dhaif menegaskan bahwa kata Jahili (al-jahl) sama sekali tidak dimaksudkan sebagai lawan dari kata al-‘ilm (mengetahui), justru makna dari kata Jahili itu adalah watak keras, serampagan, dan ceroboh. Karena jika melihat sejarah bangsa Arab klasik, sangat tidak masuk akal untuk mengategorikan mereka sebagai masyarakat bodoh dalam arti leksikalnya. Peradaban Arab klasik memang tidak seperti Yunani yang terkenal dan berpengaruh dalam filsafat, atau seperti Romawi yang unggul dalam hukum dan tata negara. Peradaban bangsa Arab saat itu adalah peradaban bahasa. Kelak, melalui bahasa itulah kedua warisan peradaban besar dunia itu mampu dipadukan hingga mampu memberi kontribusi terbesar dalam sejarah umat manusia.
Watak keras dan serampangan dalam potret pemaknaan Jahili lebih banyak menggambarkan problematika kesukuan yang sangat kuat dalam tradisi Arab klasik hingga tak jarang menuai konflik dan perang panjang. Menurut Philip K. Hitti dalam History of The Arabs, hal-hal paling mendasar pemicu konflik antarsuku tersebut kerap kali terjadi akibat sengketa binatang ternak, mata air, dan padang rumput. Bagi bangsa yang mendiami padang pasir, tentu ketiga persoalan itu menjadi sangat vital hingga setimpal walaupun harus dibayar dengan peperangan antarsuku. Akhirnya hukum rimba padang pasir tidak terelakkan. Suku yang kuat akan mampu bertahan, sementara suku yang lemah harus menerima banyak kekalahan.
Selain itu, penggunaan istilah Arab Jahili sering kali salah sasaran. Padahal secara sederhana, Jahili hanya terbatas pada orang-orang Arab pra-Islam yang menyembah berhala. Baik penduduk Quraish secara khusus yang lebih banyak mewarnai halaman-halaman sejarah, atau masyarakat Makkah secara umum, atau bahkan orang Arab sekitar yang juga menyembah berhala. Adapun orang Arab yang tidak menyembah berhala, atau lebih tepatnya mereka yang masih beragama Samawi (Kristen dan Yahudi) tidak dikatakan Jahili. Makanya dalam banyak literatur sejarah klasik, para sejarawan Islam lebih menekankan makna Jahili itu sebagai bentuk penyelewengan agama Ibrahim.
Puisi Al-Mu’allaqat
Pada mulanya, bangsa Arab hanya mengandalkan puisi sebagai puncak ekspresi berkarya dalam berbagai ruang interaksi terbuka. Tidak hanya di panggung kompetisi formal yang dikenal dengan pasar Ukaz, sebuah festival agung dalam sejarah sastra Arab yang kelak turut berperan signifikan dalam melahirkan puisi-puisi terbaik Al-Mu’allaqât, namun puisi mereka juga hadir sebagai kekayaan gurun pasir yang banyak merekam jejak kehidupan dan spirit perjuangan di tengah-tengah mengakarnya watak fanatisme kesukuan yang begitu alot.
Aktivitas bersenandung (bukan menulis) puisi adalah identitas paling puitis yang secara kuat melekat dalam tradisi bangsa Arab klasik. Puisi mereka lahir dari ruang imajinasi secara spontanitas. Tidak ada puisi yang ditulis, yang ada hayalah gubahan. Kalaupun akhirnya puisi klasik ditulis, tujuannya demi kepentingan kodifikasi agar puisi-puisi Jahili tidak punah.
Puisi terbaik dari era Jahili tersebut dikenal dengan Al-Mu’allaqat, puncak anugerah tertinggi bagi para penyair yang karya-karyanya digantungkan di dinding Kakbah. Setidaknya ada 7 tokoh penting yang pernah tercatat dengan tinta emas para sejarawan Arab hingga lalu diterjemahkan dan terus dikaji oleh ilmuwan Barat. Ketujuh tokoh itu adalah Imru Al-Qais, Tharfah bin Al-‘Abd, Harits bin Hillizah, Amr bin Kultsum, Zuhair bin Abu Sulma, Antarah bin Syahddad, dan Labid bin Rabiah.
Sejauh ini, ada tiga terjemahan untuk naskah Al-Mu’allaqat yang pernah saya baca, yaitu The Seven Poems, Suspended in The Tample at Mecca (1893) diterjemahkan oleh F. E. Johnson, The Seven Golden Odes of Pagan Arabia (1903) diterjemahkan oleh Lady Anne Blunt dan W.S. Blunt dan The Seven Odes (1957) diterjemahkan oleh A. J. Arberry.
Dari ketiga terjemahan tersebut, The Seven Poems, Suspended in The Temple at Mecca memiliki kelebihan tersendiri. Buku ini disajikan dalam dwibahasa, Arab-Inggris. Selain itu, alih bahasa ini dilakukan cukup ketat, juga disertai ulasan dan analisis mendalam. Hingga uraian tentang penggunaan metrum dari setiap penyair juga dijelaskan lengkap dengan contohnya. Jelas, F. E. Johnson tidak main-main dalam hal ini. Dia telah banyak bersusah payah mempelajari dan mendalami ilmu tata bahasa bahasa Arab hingga akhirnya ia juga mampu menguasai ilmu Arudl, salah satu bidang kajian prosodi yang oleh banyak orang Timur mulai diabaikan. Berikut sebagai contoh dari puisi Imru Al-Qais:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزل * بسقط اللوى بين الدخول فحومل
Stop, oh my two friends, let us weep on account of the remembrance of my beloved, and her abode situated on the edge of a sandy desert between Dakhool and Howmal.
فتوضح فالمقراة لم يعف رسمها * لما نسجتها من جنوب وشمأل
And between Toozih and Miqrát, whose traces have not been obliterated, on account of what has blown and re-blown over them the South wind and the North wind. (hal. 2)
Terjemahan di atas tampak berusaha mempertahankan makna literal dari setiap teks Arabnya. Sebagai contoh, penerjemah tetap menggunakan stop, oh my two friends untuk menerjemahkan kata قفا yang secara leksikal lawan bicaranya ada dua orang. Meskipun dalam konteks tertentu, orang Arab menggunakan kata ganti dua orang dengan maksud satu lawan bicara. Hal ini memiliki tujuan tertentu, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Mukminun, ayat 99:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ المَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila kematian datang kepada salah satu dari mereka, ia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikan aku (ke dunia)…”
Penggunaan kata ganti plural dalam lafad ارجعون memang terasa janggal dan tidak nyambung, mengingat lawan bicara dalam ayat tersebut adalah رب yang seharunya singular karena Tuhan itu satu. Penjelasan ini dapat ditemukan salah satunya dalam tafsir Al-Maturidi. Penggunaan pola seperti di atas bukan tanpa alasan, karena dalam proses pencabutan nyawa seseorang, ada unsur keterlibatan para malaikat Allah. Beda lagi penjelasan Abu Utsman Al-Mazini sebagaimana dikutip oleh Al-Zuzani bahwa penggunaan pola seperti ayat di atas berfungsi untuk pengulangan. Jadi ارْجِعُونِ maksudnya adalah ارْجِعْنِيْ ارْجِعْنِيْ sehingga tujuan maknanya adalah mengokohkan (taukid).
Al-Mu’allaqat di Indonesia
Sejatinya puisi-puisi Al-Mu’allaqat sudah cukup beredar dalam literatur klasik, terutama dalam kitab-kitab turats yang banyak dipelajari di berbagai pondok pesantren. Biasanya ia kerap kali muncul dalam contoh-contoh tata bahasa dan dalam beberapa kitab tafsir. Hanya saja, kalangan pesantren sendiri kurang menaruh minat untuk mendalami puisi-puisi klasik yang begitu rumit ini. Di pesantren, fikih masih mendominasi arus keilmuan dan mengakar begitu kuat. Memang tata bahasa Arab masih bertahan dalam dogma kurikulum klasik sebagai satu-satunya tangga menuju penjelajahan keilmuan yang lebih luas. Alih-alih menciptakan integrasi, pesantren malah membuat dikotomi sendiri antara tata bahasa dan sastra Arab. Sehingga di pesantren, sastra Arab nyaris tidak memiliki ruang.
Kultur pesantren tidak dibentuk secara sistematis untuk melahirkan sastrawan dan pakar-pakar sastra Arab. Sebagaimana embrio kelahirannya yang selalu bergandengan erat dengan resepsi masyarakat setempat, basis utama pesantren lebih berorientasi kepada tanggung jawab moral dan keagamaan, terutama dalam menjawab berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. Maka tidak heran jika kategori keilmuan pesantren hanya ada dua, ilmu agama dan ilmu umum. Adapun sastra Arab, ia tidak masuk dalam bagian kedua bidang keilmuan tersebut.
Di bangku akademik, terutama di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, kajian tentang puisi-puisi Jahili memang cukup semarak. Sayangnya, publikasi dari kajian-kajian tersebut terbilang masih minim. Para mahasiswa pasti sadar dan mengerti, bahwa pembacaan terhadap karya-karya klasik bukan perkara remeh, apalagi untuk sekadar dikebut semalam layaknya mengerjakan tugas-tugas makalah demi memuaskan “hasrat” dosen semata. Dan lebih parah lagi jika dosennya malah menerapkan metode “maraton” untuk menbaca penelitian para mahasiswa yang mengangkat naskah-naskah berat itu.
Untuk terjemahan lengkap Al-Mu’allaqat dalam bentuk buku, sejauh penelusuran saya, masih ada satu di Indonesia. Buku itu berjudul Syair-syair Arab Pra-Islam: Al-Muallaqat (Ganding Pustaka: Yogyakarta, 2017) diterjemahkan oleh Bachrum Bunyamin dan Hamdy Salad. Buku ini cukup lengkap karena menyertakan teks Al-Mu’allaqat dalam bahasa Arab dengan syakalnya. Meskipun sayangnya, teks tersebut hanyalah sisipan di bagian akhir buku. Selain itu, buku ini juga mengahdirkan biografi yang cukup detail dari masing-masih penyair.
Sebagaimana disebutkan di bagian awal buku, penerjemahan ini berasal dari dua sumber. Syair-syair Imru Al-Qais, Tharafah bin Al-‘Abd, Amr bin Kultsum, dan Zuhair bin Abu Sulma diterjemahkan/disadur dari Syarh Al-Mu’allaqat Al-Sab’i karya Abu Abdillah Al-Husaini bin Ahmad Al-Zuzani (Beirut: Dar El Marifa, 1993) serta syair-syair Harits bin Khillizah, Antarah bin Syaddad, dan Labid bin Rabiah dari The Golden Odes of Love: Al-Mu’allaqat karya Desmond O’Grady (Kairo: The American University Cairo, 1997). Tapi sayang, sampai saat ini saya belum punya akses untuk membaca sumber kedua dalam bahasa Inggris ini.
Lalu, apakah buku ini sudah bisa dikatakan berhasil sebagai prodak alih bahasa? Terlebih untuk dijadikan rujukan otoritatif bagi kalangan yang tidak bisa mengakses teks Al-Mu’allaqat dalam bahasa aslinya? Belum!
Terjemahan buku di atas memang bukan berarti gagal total. Tetapi kalau dibilang terdapat banyak kesalahan fatal, hal itu memang benar adanya. Mungkin karena diterjemahkan oleh dua orang dengan latar belakang berbeda, Bachrum Bunyamin lebih dikenal sebagai akademisi dan dosen senior di Fakultas dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga, meskipun ia juga menulis puisi. Sementara Hamdy Salad lebih terkenal sebagai penyair meskipun ia juga mengajar di beberapa kampus di Yogyakarta. Atau mungkin karena terjemahan ini menggunakan dua sumber sekaligus, dari bahasa Arab dan bahasa Inggris. Entah!
Sebagai contoh, bisa dilihat bagian paling awal dari puisi Imru Al-Qais:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزل * بسقط اللوى بين الدخول فحومل
فتوضح فالمقراة لم يعف رسمها * لما نسجتها من جنوب وشمأل
Bersama dukaku! Mari berhenti sejenak
Mengenang kekasih dan rumah-rumah berserak
Di atas puing-puing reruntuhan batu bata
Yang dihasut oleh angin dari selatan dan utara
Antara desa dan kota-kota dalam sebuah negeri
Meneteskan lilin air mata penuh onak dan duri (hal. 5)
Teks di atas telah membuktikan dan berbicara sendiri bahwa ia bukan lagi hasil alih bahasa. Distorsi terjadi di mana-mana. Nama-nama tempat yang menjadi kunci utuh puisi di atas malah dihilangkan begitu saja. Sedangkan berbagai diksi yang sama sekali tidak berhubungan malah muncul merajalela. Sebagai contoh, Dakhul, Haumal, Tudhih, dan Miqrat, entah mengapa tidak muncul dalam teks di atas. Padahal nama-nama tersebut merupakan tempat klasik yang tidak boleh tidak harus disertakan. Karena dengan menghilangkan nama-nama itu, maka tidak ada lagi efek puitis yang bisa dicapai sebagaimana kehendak teks aslinya. Justru sebagai pembaca non-Arab, untuk bisa mendekatkan diri dengan nilai estetika puisi Al-Mu’allaqat secara mendalam, sangat diperlukan upaya memahami budaya klasik secara utuh. Hanya saja, pekerjaan ini akan sangat memakan waktu dan menguras banyak tenaga. Karena sekeras apa pun upaya kita untuk mendekatkan diri dengan tradisi Arab klasik, kita tidak akan pernah bisa memahami situasi psikologis penyair Arab klasik di balik puisi-puisinya.
Bait Antara desa dan kota-kota dalam sebuah negeri sama sekali bukan bagian dari teks asli yang seharusnya tidak boleh muncul begitu saja, termasuk Meneteskan lilin air mata penuh onak dan duri dan terutama diksi dihasut. Sehingga mengesankan upaya alih bahasa ini mengubah menjadi puisi yang benar-benar berbeda. Ia malah menjadi karangan penerjemah yang sama sekali tidak mengacu kepada teks aslinya. Bandingkan dengan terjemahan tekstual saya berikut:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزل * بسقط اللوى بين الدخول فحومل
Berhentilah, kawan! Mari kita menangis untuk mengenang kekasih dan tempat tinggal
Di padang pasir yang diapit dua bukit Dakhul dan Haumal
فتوضح فالمقراة لم يعف رسمها * لما نسجتها من جنوب وشمأل
Dan di antara Tudhih dan Miqrat yang jejaknya belum sirna
Karena terus dihempas angin selatan dan utara
Saya tidak mengatakan terjemahan di atas telah sepenuhnya benar dan akurat. Hanya saja, saya tetap berusaha untuk menjaga maksud dan tujuan si penyair di balik puisi tersebut. Kata Siqht Al-Liwa pada bait pertama dijelaskan oleh Ahmad Al-Zauzani dalam bukunya, Syarh Al-Mu’allaqat Al-Sab’i, sebagai padang pasir yang melengkung karena diapit oleh dua bukit bernama Dakhul dan Haumal. Dakhul sendiri merupakan dataran tinggi distrik Bani Kilab di bagian pegunungan selatan dari kawasan Najd. Sedangkan Haumal adalah bukit hitam yang terletak di sebelah barat bukit Dakhul. Kalaupun mau dilacak, tempat-tempat itu diperkirakan berada di arah selatan 500 km dari pusat ibu kota, Riyadh, Arab Saudi.
Dua nama tempat berikutnya adalah Tudhih dan Miqrat. Yang pertama adalah nama padang pasir, sedangkan yang kedua nama oase. Jadi, padang pasir yang melengkung di atas karena diapit oleh dua bukit, juga satu kawasan dengan padang pasir Tudhih dan oase Miqrat. Sehingga sosok sang kekasih dan rumah yang menjadi objek dalam puisi Imru Al-Qais tepat berada di padang pasir dan berpusat di tengah-tengah empat kawasan tersebut.
Kesalahan fatal lain dapat ditemukan dalam beberapa puisi Zuhair bin Abu Sulma. Salah satunya sebagai berikut:
ومن يغترب يحسب عدوا صديقه * ومن لم يكرم نفسه لم يكرم
Barangsiapa mengembara tanpa tujuan
Akan dipenjara oleh musuh yang mengaku kawan (hal. 46)
Saya menerjemhkan sebagai berikut:
Orang yang mengembara, akan mengira lawan sebagai kawan
Orang yang tidak menghargai dirinya, tidak akan dihargai orang lain
Pesan yang ingin disampaikan oleh Zuhair dalam puisi di atas sebenarnya sangat sederhana. Orang yang dalam pengembaraan, biasanya selalu dilanda kebingungan. Kadang ia kesulitan untuk mebedakan mana kawan dan mana pula lawan. Adapun maksud dari menghargai diri sendiri pada bait kedua sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Al-Amin Al-Syanqithi dalam bukunya, Syarh Al-Mu’allaqat Al-‘Asyr wa Akhbar Syu’araiha adalah menjauhi segala perbuatan hina dan nista.
Saya justru menduga, mungkin penerjemah menganggap kata yahsab (ha-si-ba), yang berarti menganggap, mengira, dst. sebagai yahbis (ha-ba-sa) yang berarti memenjarakan, menawan, dst. Sehingga tidak mengherankan jika dalam terjemahan di atas muncul kata dipenjara.
Sebenarnya masih banyak kesalahan-kesalahan fatal serupa dalam puisi-puisi lain. Hanya saja, contoh di atas saya anggap paling sering beredar dan tentunya tidak begitu asing bagi banyak pembaca. Selebihnya, ada baiknya dilemparkan saja kepada para pembaca!
Menakar Kemungkinan Menerjemahkan Puisi Al-Mu’allaqat (Jahili)
Benar bahwa puisi merupakan genre sastra yang paling rumit untuk diterjemahkan. Proses alih bahasa puisi membutuhkan waktu yang sangat panjang. Titik terberat penerjemahan puisi adalah ia menuntut untuk menghadirkan efek puitis sebagaimana teks aslinya. Proses penerjemahan semakin sulit ketika bahasa sumbernya adalah puisi berbahasa Arab, terlebih dari teks klasik yang menggunakan metrum, rima, dan matra yang begitu sangat canggih. Belum lagi, penerjemah sering kali harus berhadapan dengan kejamnya kenyataan di mana ia harus berburu waktu dengan deadline yang sering kali dipatok oleh penerbit secara tidak masuk akal. Penerbit memang bekerja secara rasional, ketika pasar terbuka lebar-lebar, dapat dipastikan idealisme menjadi nomor kesekian.
Lalu, masihkah terbuka kemungkinan untuk menerjemahkan puisi Al-Mu’allaqat?
Sebagai sebuah puisi, tentu Al-Mu’allaqat sangat terbuka untuk diterjemahkan oleh siapa saja. Tetapi persoalannya, siapakah yang mampu mengalihkan pesan, kesan, dan gagasan-gagasan dari gurun pasir 16 abad yang lalu, terutama dalam bingkai tribalisme dan paganisme, dengan tetap mempertahankan metrum, rima, dan matra dalam setiap bait-baitnya hingga mudah dihafalkan dan disenandungkan?
Jauh sebelum persoalan siapa dan bagaimana, persoalan paling mendasar sejatinya adalah bahasa. Bahasa Arab memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Kekayaan bahasa Arab tidak bisa ditandingi oleh bahasa mana pun. Apalagi jika dihadapkan dengan bahasa Indonesia. Sebutlah cinta sebagai diksi yang paling banyak muncul dalam puisi. Konon, dalam film berbahasa Arab, Thaq Al-Hamamah Al-Mafqud yang digarap oleh Nacer Khemir, seorang sutradara kenamaan asal Tunisia, dijelaskan dalam sebuah percakapan, terdapat 60 ungkapan untuk menerangkan situasi dan kondisi para pencinta. Kondisi itu berbanding terbalik dengan diksi cinta dalam bahasa Indonesia yang sangat terbatas. Akibat keterpautan yang begitu sangat jauh, di hadapan bahasa Arab, bahasa Indonesia sama sekali tidak berdaya. Sehingga kerja alih bahasa, benar-benar membutuhkan orang-orang yang mau bekerja lebih keras.
Melihat begitu kompleksnya perihal puisi-puisi Al-Mu’allaqat, maka ada dua pertimbangan yang bisa saya kemukakan di sini sebagai sebuah kemungkinan dilakukan kerja alih bahasa secara maksimal. Pertama, perlu disadari bahwa menerjemahkan Al-Mu’allaqat harus berdasarkan pada teks literal, dengan tetap mengacu dan memahami konteks puisi-puisi tersebut melalui komentar para ahli bahasa klasik.
Kedua, harus disadari pula bahwa terjemahan dalam bentuk apa pun, bahkan meskipun dengan tingkat akurasi yang dapat dipertanggujawabkan secara teks dan konteks, hal itu tidak berarti terjemahan telah sepenuhnya berhasil dan segalanya telah usai. Berbeda dengan puisi Arab modern yang cenderung abai pada penggunaan metrum dan matra, Al-Mu’allaqat justru terlihat lebih sakral karena ia menjadi produk budaya yang lebih sulit “dijamah” lantaran ia memiliki gaya melodi yang khas dan unik. Wallahua’lam….
- Mengenal Faruq Juwaidah, Penyair Cinta dari Mesir - 20 February 2020
- Risiko Menerjemahkan Puisi Jahiliyah! - 21 February 2019
- Sajak-Sajak Cinta Nizar Qabbani; Aku Mencintaimu Di Masa yang Tak Mengenal Apa Itu Cinta - 9 January 2018
Junaidi Khab
Teppak, Kek. Reng rowa codak neroana Chairil Anwar: terjemah bebas.
Anonymous
Haha. Bisa jadi kek 😀
Elyatul Muawanah
Dan saya adalah salah satu korban dari pembelajaran sejarah yang tidak berimbang itu