Saya masih ingat potongan adegan di bagian akhir film “47 Ronin” yang saya tonton beberapa waktu lalu. Saya juga ingat beberapa teman bahkan menyebut saya tidak ikut perkembangan industri perfilman, lantaran saya baru menyaksikan lalu berlagak geger mempromosikan film itu pada tahun 2017, empat tahun setelah film itu diproduksi. Betapa tertinggalnya saya ini, kata mereka.
Pria itu bersama 45 orang samurai berlutut rapi di hadapan Shogun yang agung. Berpakaian putih. Siap menghabisi nyawanya sendiri setelah menyelesaikan dendam tuan mereka, Lord Asano, penguasa Provinsi Ako. Pria itu, Kai (diperankan Keanu Reeves) namanya. Di ujung maut yang dijemput dengan kepala tegak ia masih sempat menatap daun-daun sakura yang jatuh. Adakah ia menyesali keputusannya? Ke-45 samurai itu mati dengan penuh kehormatan karena membela tuan dan tanah air mereka. Apakah arti tanah air untuknya? Atau jangan-jangan dia mati untuk sesuatu yang lain, untuk seorang perempuan yang dia cintai, Mika (Kou Shibasaki), putri Lord Asano?
Tak ada yang tahu jawabannya. Yang pasti dua pertanyaan dan beragam pertanyaan lain terus berkecamuk dalam kepala saya hingga adegan berakhir dan nama-nama pemeran serta kru bergerak di layar, tanda film besutan Carl Rinsch itu selesai.
Kai masuk dalam sebuah dunia Jepang kuno ketika kekuasaan dipegang Shogun dan wilayah dipecah dalam beberapa provinsi. Setiap provinsi dikuasai seorang tuan yang dilindungi para samurai yang loyal. Dalam wilayah dan konstruksi sosial politik yang demikian, Kai adalah sebuah pengecualian.
Ia ditemukan sekarat dengan tiga bekas luka di kepalanya. Kemurahan hati Asano-lah yang membuatnya tak jadi dihabisi. Ia dibawa masuk ke dalam kota, meskipun tidak pernah jadi bagian dari kota itu. Ia adalah sebuah paradoks. Berada di dalam tapi tidak pernah benar-benar masuk. Toh setelah cerita dilompatkan oleh semacam “beberapa tahun kemudian” penonton menemukan Kai dewasa tinggal sendiri di sebuah gubuk di luar keramaian. Mungkin hanya Mika dan Asano yang menganggapnya bagian dari Ako.
Tak pernah ada yang tahu bagaimana seseorang memaknai tanah air bagi dirinya sendiri. Kadang tanah air datang sebagai pelengkap dalam lagu-lagu kebangsaan yang dinyanyikan sebagai bagian dari rutinitas. Diputar di sepiker ketika upacara kenegaraan, dengan intro, nada dasar, tanda ketuk, dan penutup yang sama serta seragam.
Kadang tanah air dibangkitkan oleh keinginan-keinginan remeh, saat menonton sepak bola, saat teriak ramai-ramai, “Ganyang!” Ketika orang membutuhkan dukungan untuk agenda dan rencana pribadi. Kenapa saya katakan remeh? Karena setelah peluit tanda pertandingan selesai, kerumunan bubar entah dengan makian karena kalah taruhan atau tawa dan saling mengajak minum bir karena menang. Lalu “tanah air” kembali mengisi ruang yang selama ini ia tempati, halaman diktat-diktat pelajaran dan buku-buku tebal tentang negara yang menumpuk di perpustakaan, kalah pamor dari kumpulan cerita humor dan novel teenlit.
Tak ada yang tahu bagaimana seseorang memaknai tanah air untuk dirinya sendiri.
Setelah kekacauan besar di turnamen antarprovinsi, Asano dititahkan untuk lakukan harakiri, Mika dibawa ke wilayah utara oleh Kira yang licik dan haus darah. Setelah para samurai diturunkan derajatnya jadi ronin, samurai tanpa tuan dan dibiarkan mengembara dengan pesan, “Jangan pernah balaskan dendam!”
Apa makna tanah air sebenarnya?
Yang jelas ia bukan sebuah petak yang dengan mudah berpindah tangan setelah dinamika dan perebutan kekuasaan. Tanah air sebuah entitas yang berbeda. Ketika Oishi, kepala samurai Asano, bangkit untuk melawan dan menuntut keadilan. Kita tahu ia tidak sedang melihat Ako sebagai sebuah teritori dengan batas dan gerbang yang jelas dan tertentu.
“Untuk Ako!” katanya. Saya tak tahu tempat mana yang dimaksud. Apakah sebuah tanah dari masa lalu, sebuah ruang yang ia cita-citakan di masa yang akan datang kemudian atau, sekumpulan rumah dengan begitu banyak janda, petani, anak-anak yatim, dan para lelaki yang telah dirampas senjata dan kebebasannya? Mungkin untuk dia, “Ako” adalah pertautan masa lalu, masa depan dan hari ini. “Ako” adalah kesatuan yang tak bisa dikotakkan dengan mudah dalam rentang waktu dan pembagian masa yang linier.
Dengan kata lain baginya, masa lalu adalah aku yang ada sekarang diterima dengan sadar sebagai warisan dari sebuah komunitas, sungai, dedaunan, hutan, dan lagu yang telah lewat. Masa depan adalah aku dengan segala macam potensi dan kemungkinan yang masih bisa dan masih harus terus diperjuangkan. Masa kini adalah aku dengan segala ikhtiar untuk bergerak dalam proses terus-menerus menuju pemenuhan diri. Dalam proses menuju itu, ia tahu siapa yang mesti diajak lebih dulu. Ia jemput Kai dari tempat perbudakan di pulau Belanda. Ia ambil dan bawa anak laki-laki dengan bekas luka itu kembali.
Sebenarnya Kai bisa menolak. Ia bukan bagian dari sebuah ruang dan tempat tertentu. Ia selalu jadi tamu dan orang asing di mana saja ia berada. Bukankah ia cuma hasil cinta satu malam seorang lelaki Barat dengan perempuan desa. Sang ibu yang mungkin menganggapnya sebagai aib kemudian meninggalkannya di hutan untuk mati. Lalu nasib berbicara lain. Tengu, makhluk mitos penunggu hutan, menyelamatkannya. Tapi ia tak berhenti, ia tinggalkan hutan. Ia pergi mengejar tujuan yang tak sepenuhnya jelas. Ia manusia bebas tanpa kewajiban pada tanah kelahiran, yang memang tak pernah ia kenal.
Tapi ia tak melawan ketika diajak pergi oleh Oishi. Ia masuk dan jadi bagian dalam pertarungan. Entah untuk “Ako” atau untuk “Mika”. Mungkin kedua-duanya. Dan tanah air bukan lagi sekadar tempat orang makan, tidur, cari kerja, kawin, punya anak, dan mati. Tanah air lebih sebagai sebuah pencarian akan sebuah nilai yang makin lama makin dijernihkan. Seperti melihat dari kamera yang pelan-pelan diatur fokusnya, makin terang, makin jelas, meskipun tak sepenuhnya tuntas.
Tanah air dalam pencarian Kai dan 45 Ronin adalah usaha untuk menemukan mana “baik” dan adil” dengan kesadaran bahwa yang baik dan yang adil bukan sesuatu yang hic et nunc, di sini dan kini. Ia sebuah proyek panjang yang tak pernah selesai. Dan proyek itu bisa menyentuh siapa saja (termasuk Kai). Bisa terjadi dan bergerak di mana saja: di pinggir danau di luar kota, di tempat makam leluhur orang asing, di gua punya penyihir yang menjauhi dunia dan keramaian.
Dan mereka berhasil? Saya tak berani jawab. Toh cita-cita menegakkan hak dan martabat ditempuh dengan menggorok leher orang lain. Hasrat untuk menemukan apa yang adil kemudian dicari dengan cara yang menurut hemat saya, tak terlalu adil. Bukankah mereka menyerang ketika musuh sedang tak siap dan terbuai oleh pentas seni? Dan ikhtiar untuk menegakkan kehormatan diselesaikan dengan menenteng kepala tak berdaya sepanjang jalan dalam arakan.
Dalam film ini untuk saya, tak sepenuhnya jelas siapa yang adil dan jadi korban. Bahwa memang kebenaran dan keadilan tak sepenuhnya dapat dimengerti apalagi diberi batasan yang tegas. Keadilan selalu tampil dalam pengertian dan sudut pandang setiap orang. Ia tak bisa lain. Ia harus sesuai dengan pandangan, pengertian, dan kebutuhanku. Selebihnya tak ada.
Berpikirkah Kai dan 45 Ronin yang akan mati itu? Berpikirkah mereka tentang tanah air, sebagai sebuah proyek luhur lintas waktu yang mesti dijalankan dengan sabar. Ia bukan proyek sekali jadi yang dapat dituntaskan buru-buru dalam sepotong masa dan durasi sebuah film. Tanah air adalah sebuah perjalanan dan kata penuh daya yang bisa melegitimasi keburukan apa pun jenisnya, jika tidak dimengerti dengan baik dan bijak.
Gagalkah si penggagas cerita?
Ia tak dapat disalahkan. Sebuah karya seni selalu jadi suara yang menyerukan apa yang sedang bergejolak di zamannya. Sebuah film bisa saja menyampaikan apa yang dirindukan. Apa yang seharusnya ada, tapi alpa. Kadang bukan karena lupa, mungkin karena perubahan zaman dan teknologi kadang meninggalkan pada seseorang, sesuatu yang “bukan dirinya”. Mungkin karena dalam dunia akhir-akhir ini, kebenaran dan kualitas telah didefinisikan oleh iklan, beberapa potong foto dan cuitan di sosmed. Jati diri juga iman seseorang ditegaskan dan dinilai dengan seberapa kencang teriakannya dan seberapa banyak penonton ketika ia sembahyang.
Agaknya ada sesuatu yang mau disampaikan. Sesuatu yang murung: orang-orang mulai kehilangan kesabaran.
Karena itu untuk saya dialog yang paling layak dikenang dari “47 Ronin” adalah percakapan Mika dan Kai di sebuah kamar, sebelum Kai akhirnya mati. Tak ada percakapan soal perang dan kemenangan atau dendam dan penuntasannya. Sebuah percakapan yang berbeda.
Mika : “Dunia ini hanya persiapan untuk hidup yang selanjutnya. Yang bisa kita harapkan adalah kita saling mencintai dan dicintai.”
Kai : “Aku akan mencarimu di seribu dunia dan sepuluh ribu kehidupan sampai aku menemukanmu.”
Mika : “Dan aku akan menunggumu di seluruh kehidupan itu.”
Jujur. Saya tidak akan heran jika setelah adegan itu, setelah keduanya berkata-kata dan berpelukan dalam sekali, mata semua orang yang menonton film ini berair banyak.
Tanah air memang bukan sebuah wilayah dengan batas teritorial dan luas tertentu. Ia bukan usaha cuma sekumpulan orang yang punya pedang, besi, dan senapan, melainkan juga sebuah proyek dalam ruang batin, kerja, serta keringat masing-masing orang. Di sana ada ikhtiar untuk menjadi berarti, untuk mengetuk, dan meningkatkan hidup orang lain. Hanya saja ikhtiar itu bukan pekerjaan yang buru-buru dan harus segera selesai. Ia butuh “seribu dunia dan sepuluh ribu kehidupan” sampai dapat ditemukan, mungkin lebih. Sayangnya tak semua orang bisa sabar menantikannya.
Lamat-lamat saya dengar suara John Lennon di pemutar lagu, “Imagine there’s no country.”
(2017)
- Ronin dan Sebuah Pertanyaan tentang Tanah Air - 23 November 2017
Hosea Tandra
Benar sekali. Dalam membangun tanah air memang butuh waktu yang sangat lama. Bahkan negara-negara maju dan makmur sekalipun. Mereka akan berusaha sampai ke tahap negara ideal menurut mereka
Rizki Mohammad Kalimi
Entah kenapa, saya jatuh cinta pada tulusan ini.