Tidak saja Nabi Muhammad Saw. itu secara substansial merupakan makhluk yang pertama kali diejawantahkan oleh Allah Ta’ala dalam wujud cahaya, tapi beliau juga merupakan fokus dari rububiyyah teragung hadiratNya dibandingkan dengan siapa atau apa pun yang lain. Alasannya jelas bahwa tujuan dari seluruh penciptaan itu menggumpal dan murni mengerucut pada seorang nabi terakhir kelahiran Mekkah tersebut. Sementara makhluk-makhluk yang lain tak lebih hanyalah merupakan isyarat tentang adanya tujuan penciptaan yang sebenarnya itu.
Rububiyyah adalah “dimensi” keilahian yang menangani tentang bagaimana Allah Ta’ala mencipta, mengurus, menjaga, dan menumbuhkembangkan makhluk-makhlukNya sesuai dengan karakter dan takaran masing-masing. Makhluk-makhluk yang sesungguhnya secara esensial itu merupakan bayang-bayang hadiratNya sendiri, tak pernah betul-betul terlepas sejenak pun dari pengawasan dan sentuhanNya. Karena itu, Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi (1165-1240) dengan tegas menyatakan bahwa pada segala sesuatu itu ada ayat yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu tunggal adaNya. Artinya adalah bahwa di antara seluruh makhluk itu ada keterhubungan antara yang satu dengan yang lain melalui adanya ketertambatan dari semua itu terhadap hadiratNya.
Nama-nama Allah Ta’ala bukanlah atribut-atribut yang kosong dan arbitrer. Setiap makhluk atau bahkan partikel yang ada di alam semesta ini pastilah memiliki keterkaitan dengan sejumlah nama hadiratNya itu. Ketika nama-nama Allah Ta’ala mau mengejawantahkan diri menjadi segala sesuatu, maka di dalam cakupan ilmu hadiratNya ada rupa substansial bagi segala sesuatu itu. Itulah yang disebut sebagai “al-mahiyyah” dan “al-‘ayn ats-tsabitah” yang bisa diterjemahkan sebagai substansi atau “realitas” yang tetap bagi seluruh makhluk.
Karena itu, dapat dipastikan bahwa nama-nama Allah Ta’ala yang memanifestasi diri menjadi “rupa” substansial bagi segala sesuatu itu sesungguhnya merupakan garansi bahwa pada semua itu senantiasa melekat adanya dimensi hakiki keilahian. Bahkan lebih “ekstrem” lagi dapat diungkapkan bahwa Allah Ta’ala itu tak lain adalah hakikat dari seluruh wujud yang ada. Dari sini kita akan dengan mudah memahami tentang konsepsi wihdatul wujud itu. Yakni, keesaan wujud yang lahiriahnya memantul dengan keanekaragaman warna, rupa, dan bentuk.
Andaikan ada satu makhluk saja yang tidak tersentuh oleh rububiyyah, tentu saja bisa disanggah bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mustahil. Sebab, untuk sampai kepada sebutan makhluk saja, tidak boleh tidak apa pun mesti terlebih dahulu dimunculkan oleh rububiyyah hadiratNya itu. Maka katakan dengan penuh keyakinan dan kekuatan rasa rohani yang sangat menggembirakan bahwa alam semesta ini betul-betul dipenuhi oleh kehadiran Allah Ta’ala. Tataplah apa saja dengan kekuatan mata batin, maka dapat dipastikan bahwa penglihatan kita pasti terantuk hadiratNya semata, bukan apa pun yang lain, sama sekali bukan. “فأينما تولوا فثم وجه الله”, firman Allah Ta’ala dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 115.
Tidak hanya berkaitan dengan rupa substansial semua makhluk yang ada, nama-nama hadiratNya itu juga tidak boleh tidak mesti berkelindan dengan dimensi eksoterik seluruh makhluk. Nama-nama itu juga disebut sebagai أرباب المظاهر atau tuan-tuan bagi seluruh realitas. Akan tetapi secara spiritual, inilah masalahnya: himpunan realitas itu begitu konkret kita pandang dan rasakan. Sementara tuan-tuan dari semua realitas yang tak lain adalah nama-nama Allah Ta’ala itu menjadi sedemikian samar dan tersembunyi bagi kebanyakan manusia. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup menyaksikan dan merasakan beroperasinya nama-nama paling sakral itu.
Untuk menjawab problem di atas, pertama kali kita bisa menarik kesimpulan secara korelatif bahwa mata kepala kita itu hanya sanggup menangkap segala yang empiris. Sedang mata batin mampu menerobos dan menembusnya sehingga bisa menangkap nama-nama Allah Ta’ala yang beroperasi di balik segala sesuatu.
Dan selama hidup kita lebih condong dan tertarik kepada apa pun yang fana dan berubah oleh waktu ketimbang terhadap keagungan dan keindahan hadiratNya yang sempurna dan abadi, tentu kita akan tetap berhadapan dengan tumpukan tirai yang menghalangi kita untuk menyaksikan dan berakrab-ria dengan nama-nama hadiratNya yang sesungguhnya lebih gamblang dibanding dengan segala yang permukaan dan dianggap empiris oleh orang kebanyakan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024