Setiap sore, perempuan tua itu akan duduk di teras menatap senja. Lambat-lambat berkedip. Malas melihat, tapi juga segan memejam. Tidak seorang pun tahu apa yang sebenarnya ia tatap. Mungkin garis kemerahan di ujung langit sana. Mungkin matahari di ufuk barat yang mulai menarik sulur-sulur emasnya. Mungkin juga barisan burung yang siap kembali ke sarang mereka. Apa gerangan yang ia tunggu?
Jangan tanyakan pada perempuan itu apa dan siapa yang ia tunggu. Mustahil kau dapat jawaban. Perempuan itu akan menangis tanpa suara. Napasnya naik turun sesak bukan main. Ia remas kain batik kembang ceplok yang menutupi kaki jenjangnya. Ia remas kuat seolah ada bergumpal kemarahan yang hanya bisa ia lampiaskan pada kain batiknya. Tangannya mengepal, meninju pahanya sendiri. Air matanya deras, tidak akan diseka. Terus mengalir melewati lekukan hidung, bibir, hingga dagu. Lalu ia biarkan mengering ditiup-tiup angin senja. Gilakah perempuan ini?
Paras perempuan ini terlalu ayu untuk disebut gila. Rambutnya beruban tergelung rapi. Kilapnya memancarkan sisa-sisa keanggunan remaja Jawa putri berpuluh tahun silam. Satu-dua butir mutiara Lombok yang menempeli tusuk kondenya, tersembul malu-malu di antara belitan rambut. Keningnya kuning langsat dihiasi puluhan anak rambut yang berebut ingin menampakkan diri. Alisnya, meski sedikit memutih, kujamin tetap bisa mengingatkanmu pada bulan sabit. Biji kelengkeng bulat hitam sempurna seolah merasuk ke matanya, menjadi bola mata yang bergerak pelan ke arah yang ia mau. Dan jika mata itu menatapmu, oh, rasanya, seperti ada aliran nasihat-nasihat bijak tanpa suara yang entah bagaimana bisa, disampaikan hanya lewat tatapan. Bibirnya samar-samar bergincu. Sayang, bibir itu tidak akan tersenyum di senja seperti ini. Matanya juga tidak akan menatapmu bijak. Setiap senja ia membeku.
Ssstt, kata orang-orang, anaknya jadi tumbal Batara Kala!!
***
“Ia duduk di sana.”
Seorang bapak tua menyambutku ramah di depan pagar ketika aku datang. Matanya melirik ke arah perempuan tua berambut gelung, kemudian menoleh ke arahku. Ia mengangguk lalu pergi meninggalkan kami berdua, memberi ruang padaku untuk melakukan apa pun pada istrinya. Ia pasrah. Yang ia yakini, aku bisa membuat perempuan itu bercerita.
Aku sendiri juga menyerah payah terhadap apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku menghadapi kasus yang tak jelas apa jenisnya. Ah, bagaimana aku menceritakannya padamu? Kasus pembunuhan? Tidak. Belum tentu korbannya mati dibunuh. Mungkin saja ia sekarang berada di tempat antah-berantah, di negeri tak terjamah, atau di surga para bedebah. Kasus kejam penyiksaan? Mungkin…, mungkin. Tapi tidak ada bukti tubuh lebam disiksa. Malah sekarang, parahnya, kasus ini sudah berkembang hebat dibumbui isu mistis, “Korban jadi tumbal karena tidak diruwat!”
Waduh… waduh!
Aku biasa menghadapi berbagai macam rupa duka keluarga korban pembunuhan dan penyiksaan. Seperti tidak lagi merasa panik dikejar tuntutan deadline reportase dan diserang rasa kemanusiaan di waktu yang sama. Tapi kali ini, aku panas dingin. Doa terus kurapalkan di ambang pagar, sebelum bapak tua nan bijak itu mempersilakanku masuk. Pikirku, wajar jika perempuan ini nanti mengusirku dengan segunung lahar menggelegak di tenggorokannya. Wajar jika sepersekian detik setelah aku melangkah maju, ia akan melempar guci Tiongkok antik di sampingnya ke arahku, mencakariku, lalu membuangku ke jalanan. Karena aku akan menyentuh sisi paling sensitif dari kehidupannya: masalah ditinggalkan dan meninggalkan.
Sebenarnya salahku juga. Aku menantang badai dengan sengaja datang senja begini, waktu di mana rumah ini jadi tabu untuk ditamui siapa pun. Bukan mau takabur, aku hanya ingin tahu, benarkah kabar yang tersiar bahwa perempuan ini jadi gila? Tapi sungguh, saat ini kulihat, tidak ada gurat-gurat yang mampu membuatnya pantas untuk disebut gila. Anggun sempurna! Wajahnya teduh keibuan. Hanya tatapan matanya kosong menerawang jauh. Jauh…. Jauh sekali tak terukur jarak. Ke surga? Ke tempat antah-berantah? Atau ke negeri tak terjamah?
“Boleh saya bicara?” Aku bicara sehalus mungkin, tersenyum secerah mungkin. Meski perempuan ini tidak sedikit pun melihatku, aku percaya, kata-kata yang diucapkan dengan senyuman dan hati yang tulus akan selalu terdengar berbeda.
Sedetik, dua detik, sepuluh detik, tidak ada respons. Dalam hati aku sudah mengumpat-umpat diriku sendiri. Mati, mati aku! Kalau aku mendekat selangkah lagi dan tidak ada respons, aku lebih baik pulang, batinku.
Belum habis umpatanku, perempuan itu menggeser kursi rotan di sebelahnya lebih dekat padanya, ia betulkan letak bantal sandarannya, ia tepuk-tepuk bantal duduknya, seperti isyarat padaku agar aku duduk di sana. Semua dilakukan tanpa melihatku. Aku tersenyum semringah. Ya, ya! Aku tahu! Ia ingin aku duduk di kursi itu, lebih dekat padanya. Ia membuka diri! Ia menyambutku!
Tergesa kukeluarkan berbagai macam “senjata”. Catatan, bolpoin, recorder, kartu identitasku….
“Harusnya dulu saya tidak keras kepala. Jika dulu anak itu saya ruwat, mungkin tidak begini jadinya.” Suaranya lemah, menyerang tiba-tiba, membuat jemariku gagap sekadar untuk memegang bolpoin.
Aku tidak perlu membuka daftar pertanyaan apa pun. Perempuan ini sudah tahu apa yang ingin kuketahui darinya. Beginikah cara orang mendefinisikan gila sekarang? Pada perempuan keibuan berparas ayu yang mampu mengerti apa yang harus ia jawab tanpa perlu ditanya? Aku bertambah yakin jika perempuan ini tidak gila. Ia hanya sedih. Sangat sedih.
Kuberanikan diri menggenggam tangannya yang keriput di sana-sini.
“Dia anak yang baik. Malaikat-malaikat surga pasti mengelilinginya. Tidak ada satu setan pun yang berani menyentuhnya, Bu.”
“Ya….” Perempuan ini lagi-lagi menjawab lirih, hampir terdengar seperti desahan. Tangan kirinya ditumpangkan ke atas tanganku, balas menggenggam. “Sejak kecil hatinya terhampar luas, ditumbuhi rasa keadilan yang membumbung tinggi….”
Matanya masih saja menerawang jauh. Ia menunggu, sama seperti bayi-bayi burung nun jauh di sana yang menunggu induknya pulang dengan segenap lelah, membawakan seekor cacing untuk dikunyah, di senja yang gerah.
“Nak, dulu…, sewaktu ia kecil, di meja makan kami yang bulat, bertahtakan makanan lezat dan cinta berlipat, ia pernah bertanya, ‘Kenapa kita bisa makan sebegini lezat sedangkan pengemis di jalan tadi harus makan nasi bungkus dari keranjang sampah?’ Umurnya baru menginjak delapan tahun saat itu….”
“Anak sekecil itu,” aku hanya menggumam. Lebih dari separuh suaraku tertelan dalam batin. Aku tidak ingin menghentikan putaran kenangannya.
“Ia satu-satunya permata kami. Lelaki kebanggaan keluarga kami, bahkan hingga sekarang. Ia anak lelaki kami satu-satunya. Karena itu, tetua di keluarga kami begitu cerewet menyuruh kami melakukan ruwat. Tahu kau ruwat, Nak?” Ia menoleh dan tersenyum padaku. Hanya bibirnya. Matanya masih membeku, kosong.
“Baik, baik, kuceritakan kisahnya. Konon, Batara Kala pernah menerima hukuman dari Batara Guru akibat ulahnya membuat onar Kahyangan. Ya…, ya…, Batara Kala. Tak tahu juga kau pasti? Ah, kau, anak muda zaman sekarang, pasti asing dengan istilah wayang.”
Aku tersipu, tertunduk malu.
“Batara Kala, buah perbuatan terlarang antara Batara Guru dan Dewi Uma. Ia dewa yang dikutuk menjadi raksasa karena Batara Guru, ayahnya, terlumat nafsu bersenggama dengan Dewi Uma di atas Lembu Suci Andini. Batara Guru mengusirnya dari kahyangan dan tidak mau mengakuinya sebagai anak. Batara Kala tidak terima. Dengan kekuatan saktinya, ia mengamuk, menghancurkan, meluluhlantakkan kahyangan. Batara Guru kewalahan bukan main. Akhirnya, demi meredam amarah Kala, Batara Guru mengakuinya sebagai anak dan mengizinkannya membuat permintaan. Kala meminta makanan. Tapi tidak mungkin memberi makanan pada raksasa yang nafsu makannya tidak pernah habis. Maka ditentukanlah persyaratan, bahwa Kala, hanya boleh memakan ontang-anting. Ontang-anting, Nak…, anak kami itu. Ia terlahir sebagai anak lelaki tunggal, kami menyebutnya ontang-anting….”
“Dan karena itukah ruwat harus dilakukan? Agar Kala tidak memakannya?”
“Begitulah kabarnya. Segala upacara adat pengusir Kala harus dilakukan. Jika tidak, Kala akan datang. Ia akan memangsa anak kami. Aneh bukan? Kepercayaan itu masih bercokol kuat di hati orang tua kami, bahkan saat bangunan-bangunan yang seolah mencakari langit itu jadi lazim kami temui. ‘Kala akan datang! Dia akan datang! Lindungi anakmu!’ Begitu filosofi orang tua kami yang terus kami bantah dengan keras kepala. Anak kami akan tumbuh sehat, cerdas, dan baik-baik saja, kami yakin!”
Perempuan di sampingku ini sekarang menjelma bak nyai dalang yang menceritakan lakon Batara Kala. Cerita yang cukup menarik, jika saja perempuan ini bisa sedikit menyulut cahaya di matanya.
Aku tidak berani menanyakan apa pun. Aku lebih senang membiarkannya bercerita apa yang ia ingin ceritakan daripada kisah-kisah kelam itu keluar secara terpaksa. Aku takut sikapku akan lebih mengguncang batinnya. Cukup. Cukuplah kesedihan menahun merenggut cahaya di matanya.
“Kami percaya anak kami tidak akan pernah meninggalkan kami. Hingga…, senja menyakitkan itu tiba. Hanya berbekal jas almamater lusuh dan semangat pemuda yang melonjak hebat di batinnya, ia pergi menciumi tangan kaki kami, meminta doa agar pundaknya dikuatkan dan hatinya ditajamkan. Oh, anakku, permata hatiku yang begitu tangguh, hingga Batara Kala pun menginginkannya…. Ia pergi dan tidak pernah pulang, Nak! Tidak sedikit pun kutahu kabarnya! Sehatkah? Sakitkah? Hidupkah? Matikah?!” Suaranya timbul-tenggelam, kesedihan dan air matanya mulai berantakan di hadapanku.
“Harus ke mana aku mencari? Pada pejabat hingga penjahat telah kutanyakan keberadaan anakku. Pada pengacara hingga penghuni penjara telah kumintai pertolongannya. Pada yang berkuasa hingga yang hidup tanpa asa, telah kuadukan nasibku. Pada aktivis hingga jurnalis, telah kugantungkan harapanku. Mereka riuh sehari dalam setahun. Hari-hari lainnya sunyi tanpa setitik pun kejelasan. Aku harus ke mana?! Aku hanya seorang ibu yang ingin tahu keberadaan anaknya. Setidaknya aku ingin berdoa di gundukan tanah tempat ia terkubur jika melihat tulang belulangnya pun tidak dimungkinkan! Oh, anakku…, apa salahnya? Apa?! Ia hanya membela yang kelaparan dan lemah….”
Sampai sini hanya tangisnya yang tersisa. Ia meraung sejadi-jadinya. Ia tinju pahanya sendiri. Ia menangis hingga terbungkuk-bungkuk. Napasnya naik-turun, sesak bukan main. Tangisnya serak. Ia kalap. Ia meronta dari simpul-simpul penderitaan yang selama tujuh belas tahun mengekangnya. Rambutnya terburai. Ia jambaki rambutnya sendiri. Ia berubah jadi lautan yang mengamuk. Tangis dan dendam jadi ombaknya. Api amarah menyala ganas di kedua bola matanya. Kesedihan menahun tertumpah tanpa kendali. Ia remas apa pun di sekitarnya. Ia pukuli, ia jatuhkan, ia hancurkan. Guci kecil Tiongkok di meja tempat kami berbincang, tinggal serpihan.
Oh, tidak. Tidak. Hatinya jauh lebih menyerpih daripada itu.
Atas pengorbanan, keringat, serta doa Ayahanda dan Ibunda, aku menjelma anak panah yang telah melesat jauh dari busurnya. Anak panah ini, Ibu, Ayah, adalah senjata sederhana kaum papa yang akan mengoyak nurani para penguasa lalim. Jika kalian tidak melihatku lagi setelah ini, kumohon jangan cemaskan aku, Ibunda. Jangan menunggu aku, Ayahanda. Aku memang bukan anak yang patuh, tapi inilah caraku membaktikan diri pada kalian. Biar kemakmuran rakyat yang kubela jadi jembatan emas kalian yang mempertemukan kita di firdaus-Nya, kelak. Amin. Aku mencintaimu, Ibu, Ayah.
Surat terakhir anaknya diciuminya berkali-kali.
“Hanya surat dan wangi jas almamater berdebunya yang ia tinggalkan rumah ini….”
Ia berikan kepadaku surat itu dengan tangan gemetar hebat. Perempuan ini tidak lagi menangis. Amuk lautan itu reda dengan cepat, mungkin mati seketika. Ia diam, tidak lagi melawan sakit. Mematung. Matanya kembali kosong menerawang tempat yang jauh. Ia memilih jadi busa yang menyerap semua luka mentah-mentah.
“Mungkin benar, anakku dimakan Batara Kala…,” gumamnya.
Sukoharjo, 13 Mei 2015
Sumber gambar: emangbegitu.com
kadarwati TA
dulu aku mengira saat terjadi gerhana bulan itu bulannya dimakan oleh Batara Kala, hingga besar dan mengerti tentang proses terjadinya gerhana yg sebenarnya. Suka cerpennya, bagus….. 🙂
Alfin Aulia Tama
aseek okti :3