Situ Patenggang
kabut tipis melintas. sepintas-sepintas, gerimis menetas. bayangan air danau, mengayuh perahu ke ujung pulau. namun gerimis terus curah, aku tak sempat menuliskan namamu pada namaku di ujung batu. sebelum pulau direngkuh. hanya dingin bergeming. mungkin mesti kucari lagi getah cinta, bukan dari sekadar tatapan mata. dan danau begitu tenang, namun ingatanku mengerang. kabut menjelma jadi pagar sepanjang situ patenggang.
di situ patenggang, angin merayap penuh diam-diam. gerimis masih abadi. sepintas demi sepintas memeluk jaket, membalut kalut juga sebuah tanya. seperti mata mencari kata. di kedalaman dirimu. di danau itu.
2018
Meja Kantin
– penyair nanang r. supriyatin
kita tak akan menulis puisi di meja kantin ini
hanya dua gelas kopi
dan percakapan biasa
kota telah sibuk
kebisingan mematuki gendang telinga
kata-kata telah berkelahi sepanjang usia
bahkan dalam setiap ucapan
seperti orang-orang di sebelah yang terus bercakap
dan tertawa bersama kekosongan
kekosongan yang dihimpun bekas hujan semalam
barangkali kau akan berkisah tentang hal remeh
tentang rutinitas
dan malam yang tak pernah berhenti di jarum jam
pada bilangan kedua belas
namun selalu ada yang tertinggal
seperti akar kata yang tak kunjung kugali lebih dalam
waktu berpendar mengubur debar
dan kopi tandas
kedua matamu semacam berkata
puisi akan terus berpinak
bahkan ketika penyair bergelut di kantornya
membuka arsip selain sunyi
Menteng, 2018
Layang-Layang
– asykur fadhlun
1.
ia menaikkan layang-layang. menebar riang pada angin. tapi angin padam, ia menudingkan telunjuk mencari arah.
“lihatlah ayah, layang-layangku sekarang tinggi di langit biru,”
hanya keramaian kota yang pecah, hari semakin cerah.
semakin panjang benang, semakin tinggi melayang. sebagian usiaku berpindah pada tubuhnya. ia tak lagi peduli pada masam keringat, juga jerat cahaya terik di wajahnya. sebagi lelaki kecil, ia ingin bermain sepanjang hari dengan layang-layangnya. ia telah tunai mengikatkannya, menarik dan mengulur.
3.
usiaku tumbuh bersamanya. bahkan saat layang-layangnya putus. tak ada tangis di matanya, meski kehilangan merayap diam-diam di relung hatinya.
2018
Variasi Untuk Beberapa Peribahasa
1/
bagaikan embun di daun talas
sesungguhnya dirinya telah kuat. ia akan berjalan sepanjang lorong kota. menghirup cuaca. tapi jangan sebut ia peragu. meskipun langkah kakinya dipenuhi benalu. di daun talas, air akan turun sebab gelombang. dari ngarai ke lembah. memahami dirinya. sesungguhnya, ia adalah cemas mengeras. sebelum perjalanan semakin jauh. terombang-ambing.
2/
gajah di pelupuk mata
engkau melihat dosa, atau mungkin doa yang redup sekunjur tubuh. dan kau cungkili lagi segala salah tanpa lelah. begitu asik kau telanjangi tubuh yang lain. hingga ke akar paling dalam. apa yang kau selami, hanya sebatas riak. namun mulutmu meracau tentang muslihat jahat dari kenangan yang lama.
3/
berakit-rakit ke hulu
muasal cahaya, tak semudah membalik telapak tangan. semua akan tumbuh dengan perlahan. juga bantuan tuhan. setiap keringat terlanjur luruh. berangkat membaca nasib. mungkin dari masa kecilmu yang jauh.
4/
air yang tenang
samadimu adalah perjalanan kedua, setelah hari kelahiran. waktu seperti rebah di punggungmu. memberat. namun engkau akan mengisap jauh ke sedimen tanah. menganyam bekas impian juga pengetahuan di tubuhmu.
5/
sepandai tupai lompat
kau akan kembali jatuh. ke remah tanah. bahkan sebelum akalmu pecah. namun dari tubir dahan mana engkau akan berhutang budi? engkau merebut hari yang jauh. tergesa menjemput setiap inginmu.
2018
- Sajak-Sajak Alexander Robert Nainggolan; Meja Kantin - 8 May 2018
- Membaca Kembali Prosa Kita - 28 April 2016
- Hari yang Lewat Tanpa Ayah; Puisi Alex R. Nainggolan - 3 November 2015